They Don't Know About Us

25 8 0
                                    

Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul delapan kurang seperempat, jadi aku bergegas keluar dari kamar dan nyaris berlari menuju mobilku di halaman.

"Tidak secepat itu, Boy!" Suara Mom menghentikanku di ruang tengah. Aku terpaksa berbalik dan mendapati ia sedang memberiku tatapan galak 'khas ibu-ibu' dengan kedua tangan di pinggang.

Sial. Ini akan berlangsung lama.

"Aku sedang terburu-buru, Mom." ujarku, beralasan.

"Pulang jam berapa semalam?" tuntutnya.

Aku nyaris memutar bola mata. "Ayolah, Mom. Usiaku bukan lagi tujuh tahun. Haruskah Mom menginterogasiku setiap kali pulang larut?"

Mom mendelik. "Justru itu masalahnya! Kau sudah bukan anak-anak lagi. Tidak bisakah kau sedikit lebih bertanggung jawab?"

Di tengah-tengah perdebatan itu, Marcel melenggang dengan santai dan bergabung dengan kami. Ia meneliti wajahku sesaat. Ekspresinya sulit ditebak.

"Sudahlah, Mom. Ini masih terlalu pagi. Lagipula, Eric ada ujian pagi ini. Jadi kusarankan Mom mengomelinya nanti saja." kata Marcel menengahi.

Ujian? Ujian apa?

Marcel memberiku tatapan penuh arti dan seketika aku memahami maksudnya. Ia tahu ke mana aku hendak pergi dan ia mencoba membebaskanku dari Mom, bukannya menghalangiku.

"Ujian? Benarkah?" tanya Mom, terdengar sangsi. Tapi, berhubung kata-kata itu keluar dari mulut seorang Marcel, tentu saja Mom mempercayainya. Alih-alih tersinggung, aku justru bersyukur. "Kalau begitu, kenapa tidak sarapan dulu, Eric?"

"Tidak usah, Mom. Aku tidak ingin terlambat masuk ke kelas― bisa-bisa aku tidak diperbolehkan ikut ujian." ujarku, berelaborasi.

Mom kelihatan tidak setuju, tapi memutuskan untuk tidak menahanku lebih lama. "Baiklah. Semoga sukses ujiannya."

Aku tersenyum bersalah. "Trims, Mom. Aku pergi dulu." Aku berpaling kepada Marcel dan ia memberiku anggukan kecil. Tanpa membuang waktu lagi, aku meninggalkan ruangan.

Mengemudi dengan tujuan yang pasti membuat mood baikku perlahan meningkat. Kecepatan dan terpaan angin membebaskanku dari beban mental yang kurasakan sejak pembicaraanku dengan Marcel semalam. Aku menghirup udara pagi hari dalam-dalam, membiarkan kekebebasan itu mengalir ke seluruh pembuluh darahku.

Dalam beberapa menit saja, aku sudah tiba di depan rumah Alice. Aku mengetuk dan menunggu dengan sabar, sebelum akhirnya mendengar langkah kaki menuruni tangga dan Alice membukakan pintu tak lama kemudian.

Ada sebagian kecil dari diriku yang masih belum mempercayai bahwa gadis di hadapanku ini mencintaiku juga. Tapi melihat ke dalam mata hazelnya yang melebar dan bersinar begitu melihatku membuat rasa percaya diriku perlahan membumbung. Dan senyuman yang kini mengembang di wajahnya... Aku bersumpah, gadis ini bisa saja menjadi alasan kematianku.

"Hai." sapanya canggung.

Aku tersenyum tipis. "Kau belum siap?" tanyaku, menyadari bahwa ia masih mengenakan pakaian santai, meskipun wajahnya sudah tampak lebih segar. Aku bahkan bisa mencium wangi bunga-bungaan dari tempatku berdiri.

"Aku... umm, aku memutuskan untuk bolos hari ini." ujarnya tak disangka-sangka.

Senyumanku bertambah lebar. "Ide bagus. Boleh aku masuk?"

"Tunggu," potongnya. "Kau tidak harus ikut membolos bersamaku."

"Memangnya siapa yang mau mendengarkan omong kosong kalau aku bisa menghabiskan waktu di sini bersamamu?" balasku ringan.

LITTLE THINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang