Warning! This chapter consists make out scene (18+)!
***Taksi yang kami tumpangi berhenti tepat di depan halaman rumahku. Aku menelan kegelisahan yang kutahan selama penerbangan, kemudian berpaling kepada Eric.
"Siap?"
Ia tersenyum enteng. "Jelas lebih siap daripada kau."
Ia tidak sepenuhnya salah.
Aku membuka pintu taksi dan memaksa kakiku melangkah keluar. "Here we go."
Lima, empat, tiga, dua, sa...
"ITU MEREKA!"
"Shit!" umpatku tanpa sadar.
Kulihat Mom baru saja meletakkan kardus berisi entah apa yang ia bawa dan mengikuti Bibi Maggie yang sekarang sedang setengah berlari menyeberangi halaman menuju ke arahku. Di belakang mereka, sepupu-sepupu yang hanya pernah kutemui setiap siklus bulan biru tampak bergerombol, serempak memandang ke arah kami dengan tatapan penasaran.
Aku sudah tahu kehebohan semacam ini akan terjadi sejak aku memberitahu Mom bahwa Eric akan pulang bersamaku, tapi tetap saja aku tidak siap. Kuyakin ini akan menjadi drama keluarga yang berkepanjangan. Meskipun begitu, aku tetap memasang senyum terbaik ketika Bibi Maggie menarikku ke pelukannya.
"Miele! Kau sudah tumbuh besar rupanya...dan sangat cantik!" pujinya dengan aksen Italia sambil mencium kedua pipiku.
Well, Bibi Maggie adalah kakak Mom yang pindah ke Florence bersama suaminya sejak lima belas tahun yang lalu, tapi masih sering mengunjungi Amerika setiap beberapa tahun sekali. Terakhir aku bertemu dengannya saat usiaku dua belas.
Ia melepaskan pelukannya dariku dan berpaling kepada Eric. "Dan kau pasti Eric! Rosie sudah bercerita banyak tentangmu."
Eric tersenyum sopan, lalu mengedip pada Mom yang kini bergabung dengan kami. "Kuharap hanya tentang yang baik-baik."
"Jangan khawatir, Boy. Aku orangnya objektif." balas Mom, memelukku dan Eric secara bergantian.
"Kau benar, Rosie. Tapi, saat kau bilang kalau pacar Alice tampan, yang ada di pikiranku tidaklah setampan ini."
"Jangan meragukan penilaianku, Maggie. Oh, sudahlah! Ayo kita ngobrol di dalam. Mereka pasti lelah."
"Noah! Riley! Vieni qui! Bantu Alice membawa barang-barangnya ke atas." seru Bibi Maggie pada dua cowok yang baru saja muncul dari gudang, membawa perlengkapan barbecue. "Taruh saja benda itu di sana. Kalian bisa mengurusnya nanti."
"Alice?" tanya Noah. Saat itu juga, tatapannya bertemu denganku. Meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, aku bisa melihat ekspresi mengenali di wajahnya. Seketika ia tersenyum lebar dan berlari ke arahku.
"Dio mio! Lama sekali tidak bertemu denganmu, Al!" Noah memelukku erat sekali dengan lengannya yang kini berotot. Tiga tahun menjadi personal trainer di Indonesia pasti menjadi salah satu penyebabnya.
"Ya, Noah. Aku nyaris tidak mengenalimu. Kupikir Mom sengaja mengundang seorang peselancar sebagai bintang tamu." balasku.
"Well, Bali memang surganya peselancar sih. Kapan-kapan kau harus mencobanya juga, California Girl."
"Hei, hei. Tolong bawakan barang-barangnya, Boys. Jangan menahan mereka terlalu lama." ujar Bibi Maggie.
"Certo, Mamma." balas Noah. Seolah baru menyadari keberadaannya, Noah berpaling kepada Eric. "Oh, hai, Bro."
"Eric, ini sepupuku, Noah. Dan Noah, ini Eric. Dia... umm..."
"Pacarmu?"
"Ya." Eric menjawab untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
LITTLE THINGS
RandomHanya berisi penggalan adegan yang tidak saya ceritakan dalam Sweeter than Fiction. If you wanna know more about Eric, Alice & Marcel, please check this out!