"Aku tidak percaya ending-nya akan begitu― kupikir mereka akan berakhir bahagia― maksudku, dari awal mereka jelas-jelas saling mencintai, kenapa malah berpisah? Padahal chemistry aktor dan aktrisnya sudah bagus sekali― aku benar-benar tidak menduga kalau akan ada plot twist―"
Julie terus berceloteh sejak kami melangkah keluar dari teater satu, tempat kami baru saja menonton film romance pilihannya. Aku tidak menemukan keinginan untuk menanggapi berhubung pikiranku sedang berada di tempat lain. Selalu di tempat yang sama.
"Eric?" panggil Julie.
"Hmm?"
"Kau mendengarkanku?"
Aku menahan keinginan untuk mendesah keras-keras, kemudian berpaling kepadanya. "Ya." dustaku.
Julie tampak tidak percaya. Terbentuk kerutan dalam di keningnya. "Apakah ada yang salah?"
Ya. Aku menjawab dalam hati.
Setiap detik yang kuhabiskan dengannya adalah sebuah kesalahan. Bukan apa-apa, Julie gadis yang baik― meskipun seringkali berlebihan. Aku nyaris bisa membaca isi pikirannya sejak kali pertama aku melihat ia merona di hadapanku. Tapi, perasaanya bukanlah sesuatu yang ingin kubalas. Terutama karena hatiku sudah lama dimiliki oleh sahabatnya.
Dan sekarang aku masih bertahan dalam permainan kejam ini, yang nantinya hanya akan melukai Julie. Seharusnya aku berhenti― bukan, seharusnya aku tidak perlu berpura-pura menyukainya. Sekarang sudah terlambat. Bagaimanapun akhirnya nanti, Julie akan tetap menjadi korban.
"Eric?" ulang Julie. Ia menatapku frustasi. Keriangan paska menonton film tadi sudah tak berbekas di wajahnya.
"Maaf, aku...sedang tidak enak badan." ujarku, lagi-lagi berdusta.
Mata Julie melebar. Ia menghentikan langkah dan menyentuh keningku dengan punggung tangannya.
"Benarkah?"
Meskipun tahu bahwa tubuhku bersuhu normal, aku terkejut mendapati nada khawatir Julie yang tidak dibuat-buat. Perasaan bersalah itu meningkat dua kali lipat.
Kuturunkan tangannya dari keningku. "Sudahlah. Kuantar kau pulang."
Julie tidak mengatakan apa-apa lagi dan kami memasuki mobilku dalam diam. Keheningan itu berlangsung cukup lama, sehingga aku merasa perlu menyalakan stereo demi mengurangi aura ketegangan yang terasa pekat di udara. Alunan musik soft rock menggema dalam ruangan sempit ini, namun aku tahu tak seorang pun dari kami benar-benar menikmatinya.
Aku menghentikan mobil di depan apartemen Julie sepuluh menit kemudian. Belum sempat aku mengucapkan sepatah kata pun, Julie sudah lebih dulu mengulurkan tangan untuk mematikan stereo, kemudian menatapku skeptis.
"Katakan, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Maksudnya?" tanyaku, pura-pura bodoh.
Julie mendengus seperti sedang menjaga kesabaran. "Kau menghilang selama berhari-hari, lalu sekarang kau tiba-tiba bersikap aneh seperti ini. Ada apa, Eric?"
Aku mengutuk dalam hati. Apa yang seharusnya kukatakan?
Semakin Julie bertanya, semakin aku akan terus membohonginya. Jika diurutkan ke belakang, aku seolah bisa melihat besarnya kekacauan yang kutimbulkan akibat rencana bodoh ini. Melanjutkan sandiwara ini sama sekali tidak akan memperbaiki keadaaan.
Maka, aku menghela napas panjang, bersiap menghadapi apapun konsekuensi dari keputusanku selanjutnya.
"Maafkan aku, Julie." Aku memulai. "Aku... tidak bisa bersamamu lagi."
Ekspresi Julie nyaris tidak menunjukkan perubahan berarti, kecuali bibirnya yang terkatup rapat dan rahangnya yang mengeras, seolah pikirannya belum mampu menyerap kata-kataku. Kubiarkan pemahaman itu meresapinya sementara aku mempersiapkan mentalku sendiri.
Aku tahu ini bukanlah cara yang terbaik untuk mengakhiri sebuah hubungan. Tapi mempertahankannya sedetik lebih lama lagi sama saja dengan melakukan kejahatan. Ini bukan pertama kalinya aku meninggalkan― mencampakkan seorang gadis, jadi otakku sudah bisa mengira-ngira reaksi mereka.
Anehnya, aku tidak melihat sorot kemarahan di mata Julie. Hanya ada kekecewaan, yang perlahan berubah menjadi tuduhan. Alih-alih bertanya kenapa, ia malah melontarkan pertanyaan yang membuat perutku terpilin tidak nyaman.
"Siapa?"
"Aku tidak―"
"Jawab saja, Eric. Siapa gadis itu?" tuntutnya.
Aku ingin mengelak. Aku ingin memberi jawaban yang terdengar bertanggung jawab agar tidak semakin melukainya. Akan tetapi, sudut terdalam hatiku tak kuasa lagi menyembunyikannya. Perasaan itu membuncah bagai sampanye yang dibuka tutupnya. Meledak, meluap, membanjiri pembuluh darahku. Haus akan pengakuan.
Kemudian aku menyerah. Bibirku nyaris tidak bergerak ketika aku berkata, "Alice."
Julie menggertakkan gigi kuat-kuat. Matanya terpaku ke depan, enggan menatapku. "Sejak kapan?" tanyanya parau.
Kuputuskan jujur adalah jalan terbaik. "Bertahun-tahun yang lalu. Jauh sebelum aku bertemu denganmu."
Hening.
Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Julie. Untuk sesaat, kukira ia akan marah, mengumpat, atau mungkin menamparku. Tetapi, ia tidak melakukannya.
Tanpa mengatakan apapun. Ia melepas seatbelt, membuka pintu, kemudian membantingnya. Ia melangkah ke arah apartemen dengan cepat, tak sekali pun menoleh ke belakang. Dan kepura-puraanku resmi berakhir.
***
Aku berkendara tak tentu arah. Mood-ku kacau balau, tapi aku sedang tidak berselera untuk nongkrong dengan Leo dan Pascal atau sekedar mampir ke bar, seperti yang normalnya kulakukan.
Pikiranku berusaha meredam namanya sejak berjam-jam― bahkan berbulan-bulan yang lalu. Sia-sia saja, karena aku tetap bisa melihat wajahnya di mana pun, seolah ia membayangiku seperti hantu. Tapi aku tidak keberatan, karena aku memang sangat ingin melihatnya lagi. Keinginan itu begitu kuat, hingga semakin hari rasanya semakin menyiksa.
Seolah memiliki gaya gravitasi, tanpa sadar aku sudah tiba di depan rumah Alice. Aku tidak memarkirkan mobilku di depan halamannya― bisa saja ia melihatku. Meskipun begitu, selama beberapa saat aku tetap di sana, mengamati jendela kamarnya. Persis seperti seorang penguntit.
Dari sini, aku bisa melihat bahwa lampu kamar Alice masih menyala. Saat itu pukul dua pagi, sehingga aku penasaran apa yang sedang ia lakukan. Apakah ia sudah tidur? Apakah ia bermimpi indah? Apa saja yang dilakukannya seharian ini? Apa reaksinya jika ia melihatku sekarang?
Aku tertawa kecil. Otakku pasti sudah kehilangan kewarasannya. Itu bukan sepenuhnya salahku, karena daya tarik gadis itu seperti candu. Mustahil aku sanggup menolaknya.
Selama ini, aku sibuk mempermainkan dan mematahkan hati. Dalam imajinasi terliarku pun, aku tak pernah menyangka bahwa aku akan benar-benar jatuh cinta. Sialnya, perasaan itu kujatuhkan pada seseorang yang sudah dimiliki orang lain. Dan dari sekian juta orang di dunia, kenapa orang itu harus kakakku sendiri?
Jangan kira aku tidak mencoba mencegahnya. Aku tidaklah sebrengsek itu. Tapi, siapa yang tahu bahwa perasaan ini ternyata jauh lebih kuat dari pengendalian diriku?
Kini, aku tidak menginginkan gadis lain jika itu bukan dia. Aku tidak akan menampiknya lagi. Demi dia, aku rela melewati batas. Aku rela membuang-buang waktu. Aku rela kehilangan akal sehatku. Karena jatuh cinta padanya adalah suatu kebodohan, tapi tidak akan pernah kusesali.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak 😊✌🏻
All the love. W
KAMU SEDANG MEMBACA
LITTLE THINGS
RandomHanya berisi penggalan adegan yang tidak saya ceritakan dalam Sweeter than Fiction. If you wanna know more about Eric, Alice & Marcel, please check this out!