Alive

24 4 6
                                    

Jika aku memiliki daftar berisi malam-malam terbaik dalam hidup, maka malam ini adalah salah satunya. Bagaimana tidak? Gadis yang paling kuinginkan di dunia berada dalam pelukanku sekarang.

Entah sudah berapa lama aku dan Alice bertahan dalam posisi itu. Sepertinya tak satu pun dari kami berniat memisahkan diri. Sebaliknya, aku mendekapnya semakin erat dan menghirup dalam-dalam aroma manis stroberi dari rambutnya.

Aku tak keberatan seandainya waktu berhenti karena aku belum pernah merasa sehidup ini. Kabut gelap dan segala rasa frustasi yang membayangiku selama berbulan-bulan terakhir mendadak sirna hanya dengan menatap wajahnya. Sangat mengherankan menyadari sebesar itu pengaruh gadis ini terhadapku.

Pikiranku seketika kembali ke bumi ketika kudengar Alice menguap. Tanpa sadar aku tersenyum. Terpaksa aku melepaskan pelukanku demi bisa memandangnya.

"Haruskah aku pulang?" tanyaku.

Aku bisa melihat pergolakan dalam mata Alice yang memerah. Wajahnya terlihat benar-benar letih. Aku tidak bisa menyalahkannya berhubung saat itu sudah pukul satu pagi.

Alice balas menatapku. Bibirnya masih terkatup rapat, seolah sedang berpikir keras. Aku menyukai pemikiran bahwa ia ingin aku tetap di sana, tapi tentu saja aku tak sepenuhnya yakin. Memangnya kapan aku pernah menebak isi pikiran gadis ini dengan benar?

"...atau tidak?" lanjutku, berhubung Alice tetap diam.

Kali ini, gadis itu mendesah. "Kita ada kelas besok pagi." ujarnya dengan nada nyaris kesal.

"Aku tidak keberatan membolos." balasku ringan.

Kukira Alice akan menolak ide itu mentah-mentah, mengingat ia adalah seorang mahasiswa taat aturan. Tapi ia kembali mendesah dan menyandarkan kepalanya ke punggung sofa.

"Biarkan aku berpikir." gumamnya, memejamkan mata.

Aku menghitung selama sepuluh detik penuh dan seketika tersenyum begitu melihat napasnya berubah teratur. Aku tak ingin membangunkannya, tapi aku juga tidak bisa membiarkannya tidur dalam posisi seperti itu. Melihatnya saja sudah membuat leherku terasa pegal.

"Alice?" panggilku pelan, nyaris hanya berupa bisikan.

"Hmm?"

"Kau mau aku menggendongmu sampai ke kamar?"

"Eric!" protesnya lemah.

"Baiklah, mungkin tidak malam ini." lanjutku, masih ingin menggodanya.

Alice mendengus tanpa membuka mata.

"Aku serius, Alice. Kau sebaiknya pindah ke kamar."

Alice diam saja. Irama napasnya kembali teratur, menandakan bahwa gadis itu telah terlelap.

Aku terkekeh pelan. Dengan hati-hati, aku bangkit dari sofa dan bersiap menggendongnya. Alice hanya bergumam tanpa arti ketika aku membawanya ke kamar dan membaringkannya. Kutarik selimut untuk menutupi separuh tubuhnya, sebelum berlutut di sisi tempat tidur.

Tak seperti tempo hari, kali ini bibirnya sedikit terangkat ke atas. Mungkinkah ia sedang bermimpi indah? Apakah aku ada dalam mimpinya? Apakah kebersamaan kami malam ini yang telah membuatnya tidur nyenyak?

Aku menggeleng perlahan sebelum pertanyaan-pertanyaan itu membuatku gila. Pikiran gadis itu mungkin selamanya akan menjadi teka-teki bagiku. Bahkan seandainya ia adalah labirin, aku tak akan keberatan tersesat di dalamnya.

Tak ingin terlalu lama menguji pengendalian diriku, aku memutuskan untuk berdiri. Berharap bahwa tindakanku tidak terlalu melewati batas, aku pun mendaratkan sebuah ciuman di keningnya dan keluar dari ruangan.

***

Aku sengaja memarkir mobilku di halaman, tak ingin repot-repot memasukkannya ke garasi, berhubung aku akan kembali mengendarainya dalam beberapa jam lagi. Pintu depan tidak terkunci― terima kasih kepada Mom yang sudah hafal kebiasaanku. Meskipun begitu, tetap saja aku perlu mengendap-endap supaya tak perlu mendengarkan omelan panjang lebar darinya andai Mom masih terjaga.

Aku langsung menuju kamarku di lantai dua, berharap bisa segera berbaring dan mengembalikan pikiranku ke jalurnya sebelum berhadapan dengan Alice lagi. Tapi rencanaku tidak berjalan semudah itu. Begitu kakiku mencapai puncak tangga, barulah aku menyadari seseorang sedang menungguku di ruang baca.

Marcel bangkit berdiri dan menghela napas. Ia mengembalikan buku ke raknya, lalu berpaling kepadaku. Selama beberapa saat, tak satu pun dari kami bersuara. Setelah entah berapa lama memandangi wajahku, kulihat Marcel tersenyum kecil.

"Aku telah mengambil keputusan yang benar, iya kan?" Marcel mengulurkan selembar kertas.

Aku menerimanya dan seketika merasakan jantungku melewati satu denyutan.

Itu adalah sketsa wajah Alice yang kubuat berbulan-bulan yang lalu― ketika pikiranku sedang berada di luar kendali karena rasa frustasiku terhadapnya. Di mana dan kapan Marcel menemukan sketsa itu?

Alih-alih meminta penjelasan, aku malah menanyakan hal lain yang jauh lebih mengusikku. "Kenapa kau melakukan ini?"

Salah satu alis Marcel terangkat. "Bukankah memang ini yang kau harapkan― aku berpisah dengan Alice?"

"Kau bisa saja mempertahankannya. Kenapa kau mengalah untukku?"

Marcel tertawa hambar. "Aku tidak mengalah untukmu, Eric. Aku tidak sebaik itu."

"Lalu apa maksudmu meninggalkannya?" desakku.

"Memangnya aku punya pilihan?" balas Marcel lugas. Rahangnya mengeras, tapi aku tahu ia sedang berusaha mempertahankan sikap tenangnya. Lagi-lagi, ia menghela napas panjang sebelum kembali memandangku. "Perasaan Alice terhadapmu terlalu besar... dan aku tak sanggup lagi berpura-pura buta."

"Dengar, Marcel, aku―"

"Tidak, Eric." potong Marcel. "Jangan merasa bersalah. Kalau kau ingin melihatnya bahagia, maka kita sama-sama sudah tahu bahwa hanya inilah yang bisa kita lakukan."

Butuh beberapa saat bagiku untuk memahami kata-katanya. Meskipun lega, tak bisa dipungkiri bahwa aku merasa bersalah. Sejak kapan merebut pacar kakakmu menjadi sesuatu yang etis? Tapi sudah terlambat. Aku tak akan sanggup seandainya Marcel memintaku menjauh dari Alice sekarang.

"Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu, Eric." lanjut Marcel, menanggapi diamku. "Apakah kau benar-benar mencintai Alice... ataukah ia hanya salah satu tantangan yang ingin kau takhlukkan?"

Tanganku mengepal erat sebelum aku menyadarinya. Aku menggertakkan gigi kuat-kuat, menahan keinginan untuk melemparkan tinjuku ke wajah Marcel saat itu juga. Berbagai umpatan berlarian di kepalaku, berebut dilontarkan terlebih dahulu.

"Kalau kau khawatir aku akan mempermainkan Alice, kenapa kau tetap melepasnya?" tukasku.

"Aku sama sekali tidak khawatir, Eric. Aku tahu kau tidak akan mempermainkan Alice. Kau terlalu mencintainya." Tak ada keraguan dalam suara Marcel, hanya kegetiran.

Sejenak, aku membiarkan pernyataan Marcel meresap dalam kepalaku. Apakah perasaanku terlihat sejelas itu di mata orang lain? Apakah Alice menyadarinya juga?

"Sudahlah, aku hanya mengetesmu. Sekarang aku sudah mengerti." ujar Marcel. Ia tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak menyentuh matanya. Ia berjalan menuju tangga tanpa menunggu respon dariku. Tapi sebelum ia menuruninya, ia kembali memandangku dan berkata, "Tolong jaga Alice baik-baik. Kau mendapat restu dariku."

***


Jangan lupa vote dan komen! 


All the Love. W

LITTLE THINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang