Aku menenggak sloki ke lima sambil mengamati sekeliling. Para pengunjung bar mulai memenuhi lantai dansa― menari dalam kelompok kecil atau berpasangan di bawah pendar lampu disko yang menyorot tajam. Seorang wanita berambut sampanye beradu pandang denganku dari seberang ruangan. Ia mengangkat sudut bibirnya dan memberiku kedipan menggoda. Secara keseluruhan ia memang sangat cantik dan― sudah pasti seksi. Tetapi, alih-alih menghampirinya, aku malah membuang muka.
Saat itulah kurasakan tepukan keras di bahu. Detik berikutnya, suara nyaring Leo sudah memenuhi pendengaranku.
"Hai, Bro! Kukira kau sudah tidak mau datang ke sini lagi? Kau tidak pernah membalas pesanku sih. Aku sudah menghubungi Pascal juga. Paling sebentar lagi dia sampai."
Leo memilih duduk di sebelahku. Tanpa basa-basi, ia memesan satu pitcher bir andalannya. Wajahnya tampak sumringah seperti biasa, seolah ia adalah pemuda paling bahagia di dunia. Dalam hal itu, aku lumayan iri padanya.
Bir pesanan Leo datang dan ia menyesapnya sedikit sebelum kembali berpaling padaku. Tampaknya ia tidak menyadari bahwa ocehannya barusan belum mendapatkan respon. Biasanya, sikap cuekku tidak akan membuatnya terusik. Tapi kali ini, entah apa yang ia lihat dari ekspresiku, mendadak tatapannya berubah siaga.
"Apakah semuanya baik-baik saja?" Ia bertanya.
Aku menenggak birku lagi, sengaja menghindari pertanyaannya. Dalam hati kutanyakan pada diriku sendiri, apakah semuanya baik-baik saja? Jawabannya mudah, tapi terlalu sulit untuk diucapkan keras-keras.
Menanggapi diamku, Leo menghela napas dan bersikap seolah siap memulai sebuah obrolan panjang. Sayangnya, aku benar-benar sedang tidak mood untuk bercerita, bahkan kepadanya.
"Kau mau membicarakannya?" tawar Leo.
"Tidak." jawabku otomatis.
"Bro, kau tahu aku selalu siap mendengar―"
"Leo, please!" potongku, sambil memberinya tatapan tutup mulut-atau-kutinju-wajahmu.
Syukurlah Leo memahami batasannya dan melakukan apa yang kuminta. Selama beberapa saat, ia kembali menikmati birnya dan membiarkanku tenggelam dalam pikiranku sendiri.
Sebentar saja ingatanku sudah melayang ke tempat lain. Aku mengulang kembali perdebatanku dengan Alice di rooftop tempo hari dan seketika menyadari betapa bodohnya tindakanku karena menyatakan perasaanku dengan cara seperti itu. Jelas saja dia marah. Dan aku pasti benar-benar telah kehilangan akal karena berani menciumnya tanpa peringatan. Tapi, rasa panas karena tamparannya tak ada apa-apanya dibandingkan dengan janji yang harus kutanggung untuk tidak akan pernah mengganggu hidupnya lagi.
Kenapa aku menyetujuinya, padahal jelas-jelas aku tak sanggup? Menjauh darinya adalah hal terakhir yang ingin kulakukan. Andai bisa mengulang waktu, aku bersedia menukar segalanya demi bisa leluasa berada di sisinya lagi, bahkan meskipun hanya untuk mendengarkan segala kekesalannya terhadapku.
Tapi, lagi-lagi aku mengambil tikungan yang salah sehingga kini ia membangun jarak selebar-lebarnya, membuat dirinya semakin jauh dari jangkauanku. Sangat memalukan karena aku tak sanggup menjadi yang pertama mengucapkan selamat tinggal. Sisi naifku masih saja berharap bahwa Alice akan menyerah dan mengakui bahwa ia juga memiliki perasaan terhadapku, seolah penolakan dan ungkapan kebenciannya padaku kemarin belum cukup jelas menggambarkan perasaannya.
"Ah, itu Pascal datang!" seru Leo tiba-tiba.
Aku terbangun dari lamunanku dan mengikuti arah pandangannya. Pascal tampak menyeberangi ruangan dengan langkah lebar-lebar. Dilihat dari ekspresinya, jelas-jelas ada sesuatu yang tidak beres. Dan kebingunganku semakin bertambah ketika Pascal menghambur ke arahku dan mencengkeram kerah kemejaku kuat-kuat.
"Woah, Bro! Ada masalah apa?" Leo sudah turun dari bangkunya dan mencoba memisahkan kami.
Pascal mengabaikannya. Ia memberiku tatapan sedingin es dan berkata, "Aku tidak ingin membuat kekacauan dengan menghajarmu di sini, Eric. Ayo, bicara di luar!" tukasnya dengan ketenangan yang dipaksakan.
"Hei, sebenarnya ada apa?" tuntut Leo.
Tak satu pun dari kami repot-repot menggubrisnya. Mungkin Pascal terlalu marah untuk berbasa-basi, sedangkan aku... aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Tanpa mengatakan apa-apa, aku mengikuti Pascal keluar dari bar― mengabaikan tatapan mencela para pengunjung yang ditujukan kepada kami. Leo mengikuti di belakang dengan ekspresi sama bingungnya denganku. Bagaimanapun, biasanya Pascal adalah yang paling tenang di antara kami. Sikapnya yang bagai tornado barusan tentu saja menimbulkan pertanyaan.
Begitu tiba di luar bar yang lebih sepi, Pascal berbalik dan melontarkan segala kemarahannya padaku.
"Kau mencampakkannya!" Itu bukan pertanyaan. "Sudah berapa kali aku memperingatkanmu, Eric? Silakan permainkan siapa saja, tapi jangan dia! Kau pikir kau ini siapa? Casanova?"
Butuh beberapa saat bagiku untuk mengira-ngira apa yang sedang ia bicarakan. Ketika akhirnya paham, aku nyaris tersenyum miris mendengar kesamaan kata-kata Pascal dengan Alice. Mereka berdua sama-sama mementingkan perasaan Julie. Dalam kasus Alice, aku bisa mengerti alasannya, tapi Pascal...
Aku tertawa kecil saat dua keping puzzle itu menyatu di benakku. "Kau mencintainya." Aku menyimpulkan.
Kemarahan dalam ekspresi Pascal berubah menjadi sesuatu yang lain. Ia mengalihkan pandangannya dariku, tampak malu, seolah aku baru saja membongkar aib terbesarnya. Tapi sudah terlambat. Fakta itu terpampang dengan begitu jelas di wajahnya. Tak terelakkan, seperti matahari yang terbit dari timur.
"Kau tidak tahu apa-apa tentang cinta." tukasnya dingin.
"Tunggu! Pascal mencintai siapa?"
"Percayalah, aku mungkin tahu lebih banyak darimu." ujarku tidak setuju. Aku cukup yakin perasaan Pascal kepada Julie tak sebanding dengan yang kurasakan terhadap Alice selama bertahun-tahun terakhir. Bahkan aku pun tak menyangka bahwa aku bisa mencintai seseorang sebesar itu.
"Apa yang sebenarnya kau rencanakan, Eric? Kenapa kau harus melibatkannya? Apa kau tidak bisa bersaing secara sehat dengan kakakmu?" tuntut Pascal.
"Eric bersaing dengan siapa?"
Seandainya pertanyaan itu keluar dari mulut orang lain, aku pasti sudah menghajarnya. Tapi ini Pascal― seseorang yang dengan bangga kusebut sebagai teman terdekatku selama lebih dari enam tahun. Dan yang membuat situasi ini semakin menyesakkan adalah kenyataan bahwa kata-kata Pascal memang ada benarnya.
Aku tidak bisa bersaing secara sehat dengan Marcel.
"Berhentilah, Eric. Cara ini tidak akan membawamu ke mana-mana. Kau hanya akan merusak persahabatan mereka, bahkan hubungan dengan saudaramu sendiri." Pascal menurunkan intonasinya. Tatapannya berubah prihatin dan mungkin... simpati.
Mendapat tatapan seperti itu, harga diriku serasa jatuh ke titik terendah. Aku jauh lebih suka kalau ia terus memarahiku saja.
"Aku sangat tidak setuju dengan yang kaulakukan terhadap dia, tapi aku juga tidak mau membiarkan pertemanan kita hancur hanya karena masalah perempuan. Jadi..." Pascal menggertakkan gigi, seperti sedang menjaga kesabaran. "Aku ingin kau minta maaf padanya― malam ini juga― atau terpaksa tinjuku yang berbicara."
Dalam kondisi normal, aku pasti sudah tertawa. Tapi ancaman dalam suara Pascal tidak bisa dibilang main-main. Aku bukannya takut berkelahi dengannya, tapi hati nuraniku menentang itu. Tanpa sadar aku telah melukai perasaan Pascal dengan mempermainkan gadis yang selama ini ia sukai, perlukah aku melukai fisiknya juga? Tuhan pasti akan langsung mengirimku ke neraka.
"Baiklah." ujarku, mengalah.
"Halo? Adakah yang mau berbaik hati menjelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?" tuntut Leo.
Aku tersenyum setengah hati dan merangkul Leo. "Pascal yang akan menceritakannya sendiri kepadamu."
***
Vote dan komen kalian sangat berarti, sampai ketemu minggu depan!
All the Love. W
KAMU SEDANG MEMBACA
LITTLE THINGS
RandomHanya berisi penggalan adegan yang tidak saya ceritakan dalam Sweeter than Fiction. If you wanna know more about Eric, Alice & Marcel, please check this out!