"Aku belum pernah hujan-hujanan sesering jika aku sedang bersamamu, Alice." komentar Eric setelah kami tiba di bawah atap halamanku.
Kami baru saja berlari sejauh dua blok dari kedai kopi yang baru saja kami datangi. Berhubung jaraknya dekat, tentu saja aku lebih memilih jalan kaki. Apalagi langit tampak cerah ketika kami pergi satu jam sebelumnya. Siapa yang bisa menebak bahwa hujan akan datang tanpa peringatan, tepat ketika kami sedang dalam perjalanan pulang? Yang jelas bukan aku.
Mendengar sindiran dalam suara Eric, aku memutar bola mata. "Jangan cerewet! Aku juga basah kuyup."
"Aku bisa melihatnya." balas Eric dengan nada menggoda.
Aku berbalik untuk menatapnya dan mendapati mata liarnya sedang memandangi penampilanku. Hujan yang baru saja mengguyur kami berdua telah membuat kaus putih yang kukenakan menempel erat di tubuhku. Dan sialnya, kini ia tampak tembus pandang.
"Jaga pandanganmu, Eric Lawson!" protesku.
Aku buru-buru berbalik dan kembali berkonsentrasi membuka pintu rumah. Setelah pintu terbuka, aku segera menghambur ke dalam dan mencari handuk. Aku berhasil menemukan beberapa di lemari teratas ruang cuci. Kubungkus diriku sendiri dengan salah satunya sebelum memberikan handuk lain kepada Eric yang masih menunggu di ruang tengah.
"Aku mau mandi di kamar mandi atas. Kau bisa memakai kamar mandi yang di bawah." ujarku.
"Kenapa aku tidak boleh mandi denganmu saja supaya tidak buang-buang air?" godanya.
"Sekali lagi aku mendengar kata-kata seperti itu, aku bersumpah akan...aku akan..." Pikiranku sibuk mencari-cari ancaman yang bisa membuat gentar seorang Eric Lawson, sementara cowok itu menaikkan salah satu alisnya― memberiku tatapan menantang. Karena tak menemukan kata-kata yang tepat, akhirnya aku menghela napas. "Terserah."
Kudengar Eric tertawa. Aku mengabaikannya dan segera naik ke kamarku di lantai dua.
Aku menghabiskan hampir dua puluh menit berikutnya untuk berendam di bawah air hangat dan membiarkan aromaterapi memberikan efeknya terhadapku. Jika saja aku tidak ingat bahwa Eric sedang menungguku, aku mungkin akan menghabiskan waktu seharian di dalam bathtub ini. Sudah lama sekali aku tidak memanjakan diri.
"Babe, kau sudah selesai?" Kudengar Eric berseru.
Kuanggap itu sebagai tanda untuk mengakhiri momen relaksasiku. Maka aku segera bangkit dan berganti pakaian. Aku memilih kaus polos dan legging, berhubung kami tidak memiliki rencana untuk keluar malam ini, lalu mengambil selimut dari kamarku untuk kubawa ke bawah. Bagaimanapun, hujan masih meninggalkan jejak dinginnya terhadapku.
Di ruang tengah, kulihat Eric sedang berbaring di sofa dengan televisi menyala. Ia sudah tampak segar sehabis mandi. Tangannya sibuk mengganti-ganti channel TV.
Aku menyusup di sampingnya dan menyelubungi tubuh kami dengan selimut yang kubawa. Lengan Eric otomatis mendekapku erat di dadanya. Bisa dibilang ini adalah posisi paling nyaman bagiku untuk tidur, tapi saat itu baru pukul tujuh malam.
"Apakah ada tontonan yang bagus?" gumamku.
"Kau adalah tontonan yang bagus."
"Aku sedang tidak mood untuk menghiburmu, Eric. Silakan cari hiburan lain." balasku setengah hati.
"Sayangnya, satu-satunya hiburanku adalah kau dan kecerobohanmu, Alice."
"Aku tidak ceroboh." sergahku.
"Ya. Kau ceroboh, keras kepala, dan sering membuatku gila, tapi aku tetap menyukainya karena tidak ada gadis lain yang sepertimu."
"Apakah kau sedang menggangguku sekaligus memujiku dalam satu kalimat?"
"Itu bukan pujian."
Aku mengangkat wajah, berniat memberinya tatapan galak. Tapi sebelum aku sempat melakukannya, Eric menunduk dan mendaratkan sebuah ciuman di bibirku.
Aku cepat-cepat menarik wajah. "Usaha yang bagus."
"Hmph." ujarnya dengan muka cemberut.
Eric berhenti mengganti channel dan membiarkan tayangan rom-com mengisi keheningan singkat di antara kami, karena sesaat kemudian aku baru teringat untuk memberitahunya sesuatu.
"Eric?"
"Hmm?" gumamnya.
"Aku berencana pulang ke Seattle minggu depan untuk merayakan Thanksgiving."
"Tentu. Aku akan mengantarmu." balasnya ringan.
"Mm, tapi Mom ingin aku mengajakmu." tambahku. Sebelum Eric sempat merespon, aku buru-buru melanjutkan. "Kalau kau tidak punya rencana lain sih. Bibi Clara dan Paman Charles masih di New York kan? Dan apakah Marcel sudah kembali dari Roma?"
"Ya, mereka semua tidak ada di rumah."
"Apakah kau sudah ada agenda untuk pekan depan?"
"Entahlah." gumamnya datar. "Siapa saja yang akan ada di sana?"
"Kudengar saudara-saudara Mom akan datang." Karena itulah aku juga tidak terlalu antusias. Terlalu banyak orang artinya terlalu banyak basa-basi, senyum palsu dan pencitraan. Seandainya punya pilihan lain, aku pasti tak akan melibatkan Eric dalam hal ini.
"Jadi?" tanyaku hati-hati.
Aku tidak perlu menoleh untuk memastikan, tapi dari cara Eric mengusap punggungku, aku tahu ia sedang berpikir keras. Dan aku bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya. Bagaimanapun, bersosialiasi dengan orang-orang baru bukanlah favoritnya― seperti halnya datang ke pesta-pesta berkelas bukan hal favorit bagiku.
Tapi, terlepas dari rentetan protes yang selalu kulontarkan, aku tak akan berakhir dengan membuatnya kecewa. Dengan kata lain, aku selalu mencoba mengimbanginya. Bukan berarti aku ingin memaksanya kali ini.
"Well, kurasa tidak ada salahnya aku datang." ujar Eric kemudian.
"Mom akan senang mendengarnya."
"Apakah kau senang?"
"Tentu saja aku senang. Aku tidak sabar memperkenalkanmu dengan para sepupuku. Cewek-cewek itu pasti akan membuatmu betah." ujarku sarkastis.
Eric tertawa kecil. "Ingatkan aku untuk tidak membuatmu cemburu selama di sana."
"Kata 'cemburu' tidak ada di dalam kamusku, Eric."
"Kita lihat saja nanti."
***
Writer's block is the worst! 😭 Hope you guys enjoy this part <3
All the Love. W
KAMU SEDANG MEMBACA
LITTLE THINGS
RandomHanya berisi penggalan adegan yang tidak saya ceritakan dalam Sweeter than Fiction. If you wanna know more about Eric, Alice & Marcel, please check this out!