K'A

599 41 1
                                    

Dia mencatat nama-nama, lebih dari lima ribu nama. Daftar nama yang bagi siapa pun begitulah sangat panjang dan setebal lebih dari seratus halaman. Dia baca ulang nama-nama itu, membayangkan sosok pemilik nama-nama itu, dan apa saja yang masih tersisa dari mereka.

Mendaftar latar belakang dan semua yang seseorang miliki. Lalu seseorang lagi. Dan seseorang lagi. Hingga daftar itu menjadi begitu panjangnya dan luar biasa tebal. Menumpuk dan semakin menumpuk tiap harinya.

Setelah lebih dari tiga bulan, dia akhirnya menyelesaikan daftar yang baginya sendiri, begitulah mengesankan. Berisi berbagai riwayat kehidupan dari masing-masing orang, keluarga, dan dunia mereka masing-masing.

Menurutnya itu adalah daftar penting yang semua orang harus tahu. Jadi, dia mengirimkan daftar nama beserta sejarah singkat masing-masing kehidupan nama-nama itu ke berbagai penerbit, media massa, dan lingkungan akademisi. Dia berharap, nama-nama itu akan dikenang, dan direnungkan atau bahkan bisa memberi dorongan masyarakat untuk bisa saling mengerti dan memahami.

Setelah lebih dari tiga bulan menunggu. Berbagai pihak penerbit sangat tak tertarik dengan daftar nama yang bagi mereka sangat tak penting itu. Tebal dan tak penting. Para pembaca jelas sangat tak menginginkannya. Jadi, dia ditolak.

Sebenarnya, berbagai media massa dari televisi, koran, dan sebagainya sudah lebih dulu menolak secara mentah-mentah apa yang dirinya sodorkan. Terlebih, bagi seorang yang tak terkenal dan bukan siapa-siapa seperti dirinya, jadi jelas, pihak penerbit dan media massa menolaknya tanpa harus merasa kasihan. Itu juga berlaku di kalangan para akademisi dan universitas ternama. Daftar nama yang dirinya sodorkan dianggap sebagai sampah.

Karena jengkel dengan apa yang dirinya anggap penting diabaikan begitu saja. Dia mulai memberikan salinan nama-nama itu ke berbagai tokoh politik, presiden, menteri, ilmuwan, pejabat, pebisnis, sastrawan, penyair, jurnalis, sampai mahasiswa dan anak-anak sekolah. Tapi, begitu sangat sedikitnya nama-nama itu ditanggapi. Sialnya, beberapa orang malah ingin memanfaatkan daftar yang dia buat untuk alasan politik dan pencitraan semata. Jelas, dia menolak tawaran yang baginya sangat merendahkan itu.

Setelah beberapa bulan berlalu tanpa adanya kemajuan sama sekali. Dia berpikir, lebih baik dirinya langsung bertanya kepada semua orang yang ditemuinya. Itulah adalah jawaban terbaik dari apa yang akan dilakukannya ke depannya. Jika yang terakhir ini juga gagal.

Dia mendekati para mahasiswa, membawa daftar itu, dan menyodorkannya ke depan mata mereka. Menyuruh para mahasiswa itu membacanya. Dan menanyakan hal-hal yang dirinya anggap perlu untuk ditanyakan.

"Apa ada nama ini yang kamu tahu?"

"Tidak. Aku tak kenal orang-orang ini," balas si mahasiswa dengan perasaan malas dan ingin sekali pergi dari situasi yang sekarang ini tak membuatnya nyaman.

Dia adalah mahasiswa yang kedua puluh tiga ribu yang mengatakan hal semacam itu.

Selain mahasiswa, dia juga pergi ke berbagai macam tokoh dan orang penting di seluruh Indonesia. Jawaban yang didapatnya nyaris sama. TIDAK dan TIDAK.

Pada malah hari yang dingin dan hujan jatuh rintik-rintik. Dia menatap daftar nama yang ada di tangannya. Mengusapnya. Lalu membacanya perlahan.

Air mata perlahan-lahan menetes di kedua matanya. Meluncur ke pipi dan menuruni dagu. Membahasi seprai dan pakaian yang dirinya kenakan. Dia mengusap pipinya sambil berjalan terburu-buru ke arah meja kerjanya. Membawa daftar nama itu dan meletakkannya di dekat tumpukan buku dari penulis yang dirinya sukai.

Itu hanyalah daftar nama berbagai orang dengan sedikit latar belakang, kurang dari setengah lembar halaman saja bagi tiap orang yang ada di dalam daftar nama itu. Sedangkan riwayat dari nama-nama itu, begitu memenuhi ruangannya, bertumpuk-tumpuk, sampai seluruh rumahnya nyaris penuh dengan masing-masing riwayat dari seseorang.

Dia berpikir, gelisah, dan mencoret-coret buku catatannya;

Setelah melakukan penelitian hampir dua tahun lamanya. Aku bisa memastikan, bahwa semua orang dari daftar nama yang aku catat dan tulis, begitu tak berarti bagi hampir semua orang yang aku temui. Kecuali bagi orang-orang terdekat yang tahu-menahu nama-nama yang aku catat. Sudah hampir dua tahun lamanya semenjak gempa hebat menghancurkan kehidupan jutaan orang dan membunuh ribuan manusia di pulau itu. Tapi kini, setelah gegap gempita bantuan sosial dan segala kepedulian sosial yang terburu-buru pada waktu itu. Pada kenyataannya, nyaris tak ada seorang pun yang mengingatnya. Bahkan presiden negara ini pun bahkan tak tahu apa-apa perihal nama-nama yang aku tunjukkan padanya. Dalam artian kasarnya, semua korban gempa saat itu, begitulah tak penting dan mudah dilupakan. Bahkan tak perlu diingat bahkan hanya sekedar namanya. Aku sudah berkeliling ke berbagai orang dan hasilnya kosong. Apakah ini percuma saja? Pada kenyataannya hampir semua orang menganggap gempa itu tak penting. Bahkan teman-temanku sendiri nyaris tak peduli. Padahal mereka adalah para pejabat dan orang penting. Sebagian besarnya malah aktivis. Dan yang mengerikan, banyak orang menganggap gempa itu tak pernah ada. Bahkan saat dulu disiarkan di televisi, radio, dan internet, orang-orang tetap seperti biasa, mengabaikan gempa besar itu, keluarga yang hancur dan orang-orang yang mati. Orang-orang hidup seperti biasanya. Tak peduli. Mencari uang, makan, bersenang-senang dan sibuk dengan urusannya sendiri. Apakah ini kemanusiaan itu? Entahlah. Memang benar waktu itu aku sedikit pesimis dengan bagaimana orang-orang bersikap. Tapi kini, setelah dua tahun aku melakukan penelitian ini, aku semakin yakin bahwa gempa yang membunuh ribuan orang itu benar-benar tak penting. Tak ada satu pun orang yang aku temui tahu siapa orang-orang yang ada di dalam daftar namaku. Sangat menyedihkan. Tapi inilah kenyataannya. Kenyataan menyedihkan yang tak mau diakui. Jadi, aku menyimpulkan...

Keesokan harinya, dia menelpon beberapa teman senimannya. Meminta bantuan untuk melakukan apa yang semalaman dia pikirkan. Setelah melakukan persiapan selama dua Minggu. Kini dirinya siap untuk kesimpulan terakhir.

Dia dan teman-temannya menyewa tembok di sebuah sudut di pusat kota yang ramai dan dipenuhi oleh ribuan orang setiap harinya. Tembok itu begitu panjang dan lebar sehingga sangat cocok bagi apa yang dia rencanakan. Jadi sekarang ini, dia sedang memasang mural yang begitu besar, terentang sampai nyaris seratusan meter. Berisikan nama-nama-nama orang yang terdapat di dalam daftar nama itu.

Orang-orang menoleh, tertarik, dan bahkan berfoto-foto. Sebagiannya penasaran dengan maksud dari nama-nama yang begitu banyaknya. Sebagian besarnya lainnya mengambil gambar dirinya dan keluarga atau kekasihnya untuk diabadikan. Sebagai sebentuk hiburan yang menyenangkan atau sesuatu yang bagi mereka terlihat keren dan layak untuk dipamerkan.

Dia mengamati tingkah laku orang-orang sebelum akhirnya memberikan sentuhan terakhir dari nama-nama yang begitu memanjang itu.

Sebuah judul besar berwarna hitam dan merah di atas barisan panjang nama-nama berwarna hitam putih.

NAMA-NAMA YANG TAK PENTING BAGI KEMANUSIAAN.

Judul yang begitu besar. Sangat mencolok. Terentang beberapa puluh meter dan begitu sangat jelas saat dilihat dari kejauhan.

Setelah menyelesaikan semua itu. Dia memandangi apa yang sudah selesai dia kerjakan. Membaca nama-nama orang yang sudah mati dari gempa yang begitu dahsyat dan meluluhlantakan pulau yang tiba-tiba saja berkabung dalam satu malam. Nama-nama yang terlupakan begitu mudahnya dan begitu sangat tak penting bagi masyakarat secara keseluruhan.

Ah, dia mendongak ke atas langit dan bergumam, "Manusia sudah terbiaa dengan jutaan orang mati setiap harinya. Harusnya aku tak perlu melakukan hal semacam ini. Tapi ya sudahlah."

Dia menutup mata. Bersiul. Lalu berjalan meninggalkan tempat itu.

DUNIA YANG BENAR-BENAR ANEHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang