NAO I'i

538 32 1
                                    

"Orang baik ada di saat perut kenyang dan aman, kau tahu? Ekonomi yang stabil dan hukum yang masih berjalanlah, yang membuat banyak manusia yakin dirinya sangat bermoral dan manusiawi," ujar Paulo Korle, menatap rekannya yang tengah menikmati cerutu dari Kuba yang dibelinya dari liburan beberapa waktu yang lalu.

"Hai Korle, bayangkan jika ekonomi negara ini runtuh, politik dan hukum hancur, dan segalanya serba sulit didapatkan. Terutama makanan. Itu akan menjadi penelitian yang bagus mengenai batasan kemanusiaan itu sendiri. Orang-orang bisa merasa yakin bahwa dia adalah manusia yang bermoral, bertuhan, humanis sejati, aktivis yang membela kebenaran, dan segala jenis keyakinan aneh lainnya. Oh, mereka bisa percaya diri seperti itu karena mereka nyaris tak pernah hidup serba kekurangan. Belum ada satu pun pengalaman yang mengajari mereka apakah harus mementingkan tetangga atau diri sendiri dulu. Aku yakin Korle, kebanyakan manusia akan membuang seluruh keyakinan mereka, baik itu Tuhan dan sebagainya, saat mereka harus memilih mati kehausan atau memberikan segelas air untuk orang lain. Hanya sedikit yang bisa melakukannya. Aku meyakini itu. Tidakkah kita sudah sering melihatnya di medan perang, heh?"

Laki-laki bernama Paulo Korle itu hanya mengangguk. Berdecak. Kedua matanya memandang ke kejauhan. Mulut dan hidungnya mengeluarkan asap cerutu yang mengepul. Ada sesuatu yang berusaha dipanggilnya dari masa lalunya yang jauh. Sebuah masa, di mana dia masih meyakini kemanusiaan.

"Banyak orang baik di dunia ini," balas Korle sambil menghisap cerutunya. "Yah, itulah yang mereka yakini. Jumlah orang semacam itu terlalu banyak. Ratusan juta atau malah, miliaran? Tapi di tengah miliaran orang baik itu, tanah Palestina tetap menderita. Hal yang konyol bukan? Hampir semua orang memuja Tuhan dan kemanusiaan. Tapi membiarkan kekejaman dan kekejian selama hampir seratus tahun lamanya. Yah, perang di Palestina telah mengajariku banyak hal. Begitu juga banyak kawanku yang bertugas di sana. Kami akhirnya yakin, selama tanah itu masih terus seperti sekarang ini. Kami tak yakin Tuhan dan kemanusiaan itu ada. Kecuali hanya kepura-puraan yang diyakini bersama untuk bertahan hidup. Dan aku sepakat denganmu, hampir semua orang pada dasarnya lebih mementingkan kehidupannya sendiri. Jadi apa itu kebaikan? Hahaha, kau sudah tahu jawabannya Huck. Itu hanyalah bullshit. Orang yang hidup seperti kita, yah, ah, kita hidup demi negara kita dan telah membunuh begitu banyaknya manusia, agar semua orang merasa tenang dan damai. Dan mereka, dari tangan berlumur darah ini, berkoar-koar mengenai kebaikan, moralitas, dan bahkan Tuhan?"

"Ya, ya, aku tahu itu," suara Huck Loris terdengar berat dan besar. "Selama negara ada, semua masyarakat yang ada di dalamnya hidup dari membunuh dan memeras orang lain tanpa henti. Hah, ya, mereka tak melakukannya. Para tentara, politisi, pengusaha, presiden, dan para diplomatlah yang melakukannya. Kebanggaan macam apa, yang diagungkan orang, membicarakan Tuhan dan kemanusiaan, di saat terus memeras masyarakat dari negara lain yang lemah untuk kemakmuran negara dan masyarakat sendiri? Oh Korle, melihat pendeta dan politisi berkotbah setiap hari membuat aku benar-benar hampir mati. Itulah sebabnya aku memiliki ide untuk menguji batas kemanusiaan seseorang. Ide ini menarik. Setidaknya kita bisa bersenang-senang sedikit, bukan?"

Paulo Korle menatap mata Huck Loris sekilas dan segera beralih ke perbukitan hijau yang ada di sebelah utara. Suara pesawat terbang yang melintas dari atas sana terdengar begitu jelas. Dia mengeluarkan sebuah buku kecil dari jaketnya. Menyerahkannya ke Huck Loris.

"Oh, Licet. Buku kecil yang mempesona. Dari mana kau mendapatkan ini?" Loris bertanya pada kawannya yang kembali sibuk dengan cerutunya.

"Saat masih kuliah. Bisa dibilang, aku tergila-gila dengan laki-laki itu. Dia luar biasa. Aku membawa buku itu ke mana pun aku pergi. Tapi, yah," mengangkat bahu. "Saat aku memasuki militer, aku berusaha menyingkirkan buku itu dari pikiranku. Tapi perang terakhir membuatku begitu kacau. Cerita akhirnya, yah, kau tahu sendiri bagaimana."

"Kemanusiaan tak akan pernah menjadi manusiawi selama manusia ada. Begitulah yang Licet tulis. Aku ingat betul kalimat itu. Ada di buku itu. Kau bisa mencarinya sendiri. Dan semua orang pada dasarnya pembunuh dengan caranya masing-masing."

Huck Loris mengelus buku itu perlahan. Membuka halamannya. Mencari halaman-halaman yang memuat kalimat-kalimat yang disukainya. "Oh ini dia. Dengarkan ini. Jika setiap manusia mengakui sisi buruknya masing-masing dan mengakui kegagalan atas keyakinan yang mereka pegang. Maka, umat manusia mungkin akan lebih cepat memusnahkan dirinya sendiri. Tapi sayangnya itu tidak terjadi. Berpura-pura adalah cara bertahan hidup. Dan hampir semua manusia begitu memuja kehidupan itu sendiri."

"Hmm, ya itu benar," balas Paulo Korle singkat.

Mereka berdua tengah memperbincangkan banyak hal. Termasuk angan-angan Huck Loris yang ingin melihat sampai sejauh mana batas kemanusiaan yang ada di dalam setiap diri seorang manusia.

"Proyek yang bagus. Apa tadinya namanya? " tanya Korle memastikan.

"Batas manusiawi. Itu akan jadi proyek yang menarik. Kami akan memulainya beberapa waktu nanti. Ada beberapa orang penting yang mau ikut dalam proyek ini. Beberapa di antaranya, kau mengenalnya. Aku ingin kau ikut. Ini akan menjadi sangat penting Korle. Bagaimana menurutmu?"

"Hmm, akan aku pikirkan. Sejujurnya aku sedang menikmati suasa semacam ini lebih lama. Tapi itu sungguh proyek yang menarik. Batas manusiawi. Sangat mengusik."

"Akan aku berikan satu tempat untukmu di mana kau bebas berekspresi. Yah, aku yakin kau akan menyukainya."

"Yah, lihat saja nanti."

Seekor belalang terbang di depan mereka dan hinggap di atas daun pisang yang tampak hijau dan subur. Perbukitan yang mulai berkabut. Bau hutan yang memanggil. Suara air yang bergemuruh dan tiba-tiba menjadi lebih jelas. Sinar matahari yang hangat. Suasana damai dan nyaman, yang membuat kedua laki-laki itu terlena.

"Akan sangat menyenangkan jika dunia terus seperti ini. Sayangnya, ini hanya berlaku sementara," celetuk Huck Loris yang tengah memandangi ladang yang begitu indah bak seni. Paulo Korle hanya mengangguk. Kembali menyalakan cerutu barunya. Mengembuskan asap lewat mulutnya yang segera saja dibawa pergi oleh angin.

"Mungkin aku harus segera berhenti melakukan ini," ujar Korle memandangi cerutu yang ada di jemarinya.

Huck Loris menoleh. Tersenyum. "Itu akan lebih baik."

"Mungkin," jawab Korle pendek. "Mungkin."

DUNIA YANG BENAR-BENAR ANEHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang