Langit masih gelap tapi ayam sudah berkokok. Riuh bunyi piring dicuci dari dapur, menganggu telinga gue. Dan itu cukup memaksa gue buat buka mata. Buka mata aja.
Gue, Ge. Masih dikamar. Masih berteman mesra sama kasur dan selimut yang hangatnya ga ketulungan. Mau tahu posisi gue? Kaya bungkusan lemper. Ketutup rapet sebadan-badan sama selimut.
Mendadak sadar kalau kampus gue jauh. Rumah dan kampus itu ujung ke ujung. Rumah gue di selatan Bandung, kampus di utara Bandung. Ogah-ogahan gue bangun. Tanpa belas kasihan, gue lempar selimut ke mana aja. Masih pagi aja otak gue udah ngaco.
"Gue mandi gak, ya?" batin gue.
Setelah berpikir panjang, keputusan gue saat ini adalah gue harus mandi. Dengan pertimbangan gue MASIH harus jadi mahasiswi normal di semester dua ini, walaupun dalam beberapa bulan ke depan gue udah jadi kakak tingkat.
Keluar dari kamar, tempat yang gue tuju pertama kali tentu aja dapur. Lihat mama gue, seorang dosen yang beda kampus sama gue, lagi bebenah di dapur. Gue buka tudung saji yang ditutup hiasan kain berwarna pink buluk di meja makan. Buluk karena debu, bukan karena warnanya jenis pink buluk.
Dalam hati gw mikir, ini mama gue mau jaga makanan dari kotoran makanya ditutup kain tudung sajinya, tapi kenapa malah pakai kain yang buluk. Sambil geleng-geleng kepala, gue buka tudung saji, terlihatlah dengan cantiknya seonggok pisang goreng sisa kemarin sore.
Mama yang lagi asyik dengan lapnya menengok ke arah gue yang lagi makan pisang dengan nikmat. Pelan tapi nusuk, ucapan mama bikin gue sukses manyun.
"Gapapa sih kamu mau makan dulu baru mandi. Tapi mama jadi tahu kalau kamu bukan cewe tulen."
"Astaga, ma. Biar sekalian sisa makanan yang nempel disikat pas lagi mandi. Hemat air," kata gue sambil manyun.
"Mama masih punya banyak uang buat bayar air," balas mama.
"Yaaaaa, ibu dosen. Tapi terlanjur, makanannya udah masuk mulut. Mandi dulu, maa," teriak gue sambil lari masuk ke kamar mandi.
Mandi gak pakai lama. Lima menit asal belek mata udah gak kelihatan, muka udah dicuci, badan udah di sabun, cukup buat gue. Masuk kamar, ganti baju. Baju yang gue pakai seperti biasa, kaos oblong ukuran besar punya adik laki-laki gue yang usianya beda cuma setahun doang. Bawahan celana jeans warna hitam, sepatu kets putih merek abal-abal. Tas ransel jaman SMA. Gelang tali di kiri kanan pergelangan tangan, kalung tali hitam dengan bandul jangkar hitam.
"Oke sip! Siap berangkat." Gue keluar kamar dengan semua perlengkapan tempur. Mama ada di ruang tengah, menyiapkan keperluan mengajar.
"Mama, berangkat ya!" kata gue pamit. Mama mengangguk sambil menepuk pundak gue. Selepas mendapat "tepukan" manis dari mama, gue keluar menghampiri papa yang lagi manasin mobil. Pamit ke papa, gue langsung jalan kencang ke depan komplek. Sampai depan komplek, nunggu angkutan umum yang gak pakai lama datangnya.
Satu jam berlalu. Setelah ganti angkutan umum di terminal selanjutnya dan menempuh lagi jarak panjang dengan waktu satu jam. Total dua jam perjalanan yang penuh dengan cerita molor, desak-desakan, ibu-ibu yang buang kulit jeruk sembarangan, bapak-bapak yang bau ketiaknya ya ampun, sukseslah gue sampai di kampus tercinta. Untungnya kuliah pertama gue pukul 9. Sekarang pukul 8, masih ada waktu berleha-leha.
Gue masuk ke gedung di ujung kampus yang luasnya berhektar-hektar. Gedung fenomenal yang namanya terinspirasi dari gedung terkenal di amerika karena bentuknya yang bersegi sekian itu.
Gedungnya gedung tua, plafonnya juga udah mulai keropos. Bahkan bukan keropos lagi, alas plafonnya menjuntai dan melambai-lambai kayak yang bilang, "Hai, bentar lagi aku jatuh loh!"Kerennya lagi, kelas di gedung ini becek, karena plafon bocor. Jendelanya gak ada kacanya. Gak perlu AC, angin langsung masuk kencang. Alas plafon yang melambai sudah pasti tertiup. Imbasnya ya debu-debu dari plafon ya rontok kebawah. Kebayang lagi kuliah, angin bertiup terus rambut kena rontokan debu. Wwuuuhh... Berasa turun salju.
Jelek-jelek gini gedung fenomenal ini jadi icon buat fakultas gue. Gedung ini jadi kost-kostan dan tempat kuliah. Gak heran tiap gue ke toilet, selalu ada bekas sachet sabun atau sachet shampoo. Dipakai siapa? Bukan penjaga kampus, tapi mahasiswa. Dan rata-rata pengguna gedung ini, bisa dibilang bukan orang normal menurut semua mahasiswa mahasiswi disini. Buat gue? Ini tempat paling nyaman. Nyaman juga buat gue yang ngecengin seorang makhluk yang selalu duduk di selasar gedung dengan rokok di tangannya.
Kebetulan gue kuliah di lantai 3. Naik tangga reot gedung ini waswas. Pegangan kayunya lapuk. Gedung ini memang penuh petualangan. Seru. Bahkan dari tangganya ada udah seru.
"Ge!" teriak satu suara dari belakang.
"Eh, elu, Ki," kata gue menjawab suara yang memanggil gue.
Kiya, sobat gue, cewek berkerudung tapi gak kelihatan cewek-ceweknya. Gue dan dia satu cetakan tapi beda bapak, beda ibu.
"Udah dateng aja, lu. Eh, jangan pake gue elu ngomongnya, ntar lu dinyinyirin."
"Hahaha. Ya gimana? Gue dari SD udah gue elu. Terus gue harus manggil lu teteh gitu?"
"Hahaha, gak gitu juga. Udah ngerjain tugas lu?" tanya Kiya. Kebetulan dia satu kelas sama gue. Maklum jurusan gue sistemnya kayak anak sekolah. Satu kelas mata kuliahnya sama dan gak bisa ambil mata kuliah lain diluar yang ditetapkan, kecuali ya kalau apes harus ngulang.
"Ada tugas emang?"
"Ada woi! Hari ini tugasnya terjemahan sama baca!"
"Gila! Gue aja belum bisa baca, udah pake terjemahan segala. Lu udah?"
"Belom. Lah gue mau nyontek yang lain juga."
"Kalo baca satu-satu apa barengan?"
"Satu-satu!"
"Haiisshh! Gue harus nulis huruf latinnya dulu nih. Mampus gue kalo gak bisa!"
Gue langsung lari ke kelas bareng Kiya. Ada beberapa mahasiswi teladan yang udah duduk manis di kelas. Mereka lagi belajar baca atau pamer atau apa, gue gak tahu. Yang gue tahu, gue harus ambil posisi duduk di belakang biar aman.
Gue dan Kiya buru-buru mengubah teks, ke huruf latin biar gampang dibaca. Gak lama, mahasiswa mahasiswi lain akhirnya datang. Tapi gue juga belum selesai dengan tugas gue. Rasanya dag dig dug ngebayangin kalau gue ga bisa baca.
Gue lihat lagi jam dinding di dekat meja dosen. Masih setengah 9. Oke gue masih punya waktu. Sementara Kiya sudah leha-leha. Tugas Kiya sudah beres. Tiba-tiba pintu diketuk, suara derap langkah yang berat mendekati. Kontan! Gue menganga.
Damn! Dosen datang!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kampus Sweet Kampus
RandomHari-hari kuliah kaya drama FTV? Nope! Ini ga berlaku buat gue dan dia. Kami hanya mahasiswi salah jurusan di kampus ternama di Bandung. Tidak dengan baju modis, tapi bukan berarti menolak. Tidak juga dengan Make-up. Oke dengan kaos oblong, jeans be...