Ge : Kuncen Gedung Segi

72 3 0
                                    

Gedung segi.
Gedung ini berdiri di ujung atas kampus. Sangat strategis karena dekat dengan pintu gerbang atas kampus.

Dari gedung ini, bukan tidak mungkin kita bisa lihat area kampus. Walau area barat kampus sampai ke belakang dan stadion kampus, tidak sepenuhnya kelihatan.

Bangunan segi berbentuk seperti angka 8 ini masih berdiri kokoh. Walau simpang siur bangunan segi bakal dirobohkan mulai, siapa sangka bangunan yang atapnya sudah bolong, keramik lantai pecah dan lepas, tangga pecah dan pegangan kayunya lapuk, masih banyak peminat. Langit-langit setiap kelasnya sudah bolong sampai terlihat rangkanya. Kamar mandi yang kadang bau pesingnya menyebar kemana-mana. Bahkan pintunya juga berlubang. Tapi jangan salah, kamar mandi seperti itu penuh dengan karya penyair dan sastrawan muda.

Lantai satu adalah ruang dosen dan perpustakaan beberapa jurusan. Juga ruang himpunan dari beberapa jurusan, kamar mandi dan mushola. Lantai dua adalah ruang kelas untuk kelas bahasa. Lantai tiga juga dipakai untuk kelas bahasa terutama untuk jurusan gue. Lantai dua dan tiga masing-masing terdiri dari 6 kelas, 2 ruang himpunan dan kamar mandi. Kalau kamu bayangin angka delapan, posisi kelas itu diujung sudut bulatan angka delapan. Sementara ruang himpunan diapit di antara kelas di utara dan selatan.

Gue, Ge.
Masih berkeliaran di gedung segi. Gue bukan kuncen, tapi gue penikmat bangunan ini. Orang-orang diluar fakultas kami mungkin tidak mengerti betapa eksotisnya bangunan ini. Solidaritasnya terutama.

Sudah sore. Lembayung juga mulai muncul, tanda-tanda matahari dalam perjalanan menuju tenggelam. Sekitar pukul setengah empat, sore itu. Perkuliahan banyak yang sudah selesai. Tapi gedung segi tidak pernah sepi pengunjung.

Gue baru selesai kuliah di lantai tiga. Gue masih asyik nempelin pantat gue di kursi ruang kelas gue di bagian utara, yang bersebelahan dengan ruang himpunan seni rupa. Mereka bilang sih sekre atau studio mereka. Barengan sama Kiya yang masih sibuk dengan telepon genggamnya.

"Mau balik gak lu, Ki?"

"Gak tahu. Gue sih lagi gak ada kegiatan apa-apa. Lu mau balik?"

"Gak kayanya, lagi males gue pulang."

"Nongkrong?"

"Ayo!"

"Dimana?"

"Selasar. Hehehe."

"Hahaha. Posisi enak udah. Ngelihatin motor aja ye kita disitu."

"Gak apa-apa lah. Mata juga seger," kata gue sambil berdiri ke arah jendela yang gak ada kacanya. Gue lihat ke bawah, ke selasar gedung segi. "Tuh ada si anak jurusan inggris. Yang katanya model itu."

"Lu doyan juga sama yang kaya gitu?"

"Wuih, man! Kalau cuma buat nyuci mata aja sih gak apa-apa. Gue juga tahu diri kali, masa iya cowok putih kayak gitu mau gue ambil. Nanti cewek-cewek jurusannya berisik. Lagian kayak dia mau sama gue aja. Lu lihat sini tuh cowok," kata gue sambil memanggil Kiya. Kiya bangkit dari duduknya.

"Mana sih?"

"Itu tuh! Duduk di selasar sama cewek-cewek itu," kata gue sambil menunjuk ke cowok yang jadi obrolan kita berdua. Saking hebohnya, gue dan Kiya gak sadar kalau di jendela studio seni, ada cowok gondrong lagi duduk sambil merokok di jendela, kakinya menginjak atap lantai dua.

Sadar dilihatin sama cowok gondrong itu, gue menyenggol badan Kiya. Kiya akhirnya juga sadar.

"Hehehe. Maaf ya, kang," kata gue sambil senyum lalu keluar dari ruang kelas. Kiya mengikuti gue dari belakang.

"Gue kira gak ada orang di sebelah."

"Ya, gue kira juga gitu. Orang pintu studio ditutup tadi. Ternyata dia malah di atap."

Kampus Sweet KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang