Di sebuah rumah sederhana, -tidak kecil, juga tidak besar, namun cukup untuk ditinggali sepasang kekasih- berdiri dua orang disana dengan jarak tidak begitu dekat.
Suasana sedang serius. Kedua orang tersebut sebenarnya sangat ingin saling menyapa dengan nada riang, lalu berbagi pelukan yang hangat satu sama lain. Namun sepertinya tidak bisa, sesuatu yang besar sedang terjadi saat ini.
"Woojin -ah, aku hamil."
Hyeongseob berujar pelan. Menunggu reaksi yang akan diberikan kekasihnya, Park Woojin.
Pria itu menyunggingkan senyuman tipis. Senyum yang tak terbaca. Woojin merasa frustasi dan pasrah secara bersamaan. Jelas dia tau anak siapa itu.
"Kau tahu betul, kan? Aku selalu menggunakan pengaman setiap kali kita melakukannya."
Woojin menjawab tanpa mau menatap ke arah Hyeongseob. Ia tahu jika sedikit saja ia melirik Hyeongseob, ia tak yakin dapat menahan dirinya lebih lama lagi.
Hyeongseob mengangguk, Woojin tahu itu. Matanya cukup tajam untuk menangkap tiap gerak-gerik Hyeongseob, walau tak menatapnya langsung.
"Kau tak ingin menggugurkannya?"
Pertanyaan Woojin membuat Hyeongseob malah ingin menangis saat ini juga.
"Sejak awal aku sudah berniat ingin menggugurkan kandungan ini. Tapi tidak bisa, mereka melarangku."
Woojin mendengus gusar. Kemudian menarik senyuman miring dari wajah tegasnya.
"Gugurkan saja kandungan itu, Hyeongseob. Setelah itu pergilah ke Busan, temui keluargaku. Kau akan aman disana."
"Dan membiarkanmu kembali mendekam di penjara?!? TIDAK!"
Nada suara Hyeongseob meninggi, suaranya terdengar bergetar. Mendengar itu Woojin merasa buruk.
"Lebih baik aku mendekam di penjara seumur hidup, daripada melihatmu bersama orang lain."
Woojin mengucapkan kalimatnya dengan penuh penekanan. Membuat Hyeongseob merasa takut mendengarnya.
"Kau tak boleh seperti itu, Woojin. Aku ingin kau bahagia. Setidaknya walau tanpa aku, aku ingin kau kembali mengejar mimpimu, dan membuat bangga keluargamu."
"Kau adalah satu-satunya mimpi yang ingin ku kejar, ingin ku raih, dan ingin ku bahagiakan, Hyeongseob.."
Woojin tak tahan lagi, dia menatap tajam kedua mata Hyeongseob. Menunjukkan bahwa dia benar-benar serius akan ucapannya.
Sungguh Woojin merasa sakit, melihat wajah seseorang yang dicintainya tengah menahan tangis saat ini. Jelas terlihat air mata yang menumpuk di ujung mata indah Hyeongseob. Dalam hati ia merutuki, 'Kenapa kau membuatnya menangis, dasar keparat!'
"Aku hanya ingin melihatmu menjadi sosok Woojin yang sebelumnya. Woojin yang gagah, Woojin yang mempesona dengan seragamnya, Woojin yang terlihat tampan dengan wajah yang kusam. Aku ingin kau kembali berlari sama seperti dulu. Bukannya berdiam diri dan tak melakukan apapun."
Woojin bergeming. Mereka hanya saling menatap dalam satu sama lain. Memandang dengan penuh kesesakan. Keduanya sama-sama menderita saat ini.
"Kumohon Woojin, mengertilah keputusan ku.."
Air mata lalu meluncur dengan bebas dari mata indah Hyeongseob. Hyeongseob tak sanggup membendungnya lebih lama lagi.
Woojin menyesal, benar-benar menyesal. Tadinya ia berpikir semua tindakannya benar. Tak ada penyesalan sama sekali.
Namun saat ini, dia sungguh menyesal. Ia tak seharusnya ceroboh, tak seharusnya bertindak bodoh. Melupakan siapa dia dan siapa lawannya. Dan mengesampingkan dampak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kini tak ada lagi yang dapat ia lakukan. Menyesal pun percuma. Semuanya telah terjadi. Dan semua ini karena kesalahannya.
"Hyeongseob -ah,"
Woojin bergerak mendekat. Kedua tangannya meraih pundak sempit Hyeongseob. Lelaki manis itu masih menangis. Hatinya terasa sakit melihat sang kekasih sedih.
"Aku tak ingin, dan tak akan pernah melepaskanmu."
Hyeongseob mengusap kasar air mata yang sialnya tak mau berhenti mengalir. Dengan penuh keyakinan ia menatap Woojin lekat-lekat.
"Kau harus.. Tak apa melepaskanku. Suatu hari nanti kau akan dapatkan penggantiku. Dan saat kita bertemu lagi, aku akan melihatmu tersenyum bahagia dengan kekasihmu yang baru.."
"..dan tentu saja, dengan seragam kebanggaan yang melekat di tubuhmu--"
Detik itu juga Woojin tak dapat menahan diri lagi.
Dengan cepat bibir tebalnya meraup bibir tipis Hyeongseob. Gerakannya begitu tak terkendali. Woojin melahap bibir Hyeongseob dengan rakus.
Namun walau begitu, Hyeongseob tahu, Woojin tidak bermaksud menyakitinya. Hyeongseob pun tak menolak, ia bahkan melakukan hal sama.
Dalam hatinya berpikir, ini mungkin akan menjadi ciuman terakhir bagi keduanya. Biarkan lah hari ini mereka saling meluapkan keinginan mereka. Sebelum keduanya benar-benar berpisah, dan menempuh kehidupan mereka masing-masing.
Without You
KAMU SEDANG MEMBACA
Without You ;; JinSeob
Short StoryKeduanya saling mencintai, namun tak dapat bersatu ;; [short story, fast update] Remake dari Chinese film, Sweet Sixteen. Hasil remake beda jauh sama film aslinya.