Runa
"Dia pacar aku" Akhirnya akupun memberanikan diri untuk memberitahu Eve akan hal ini. Jujur saja menurutku ini adalah hal yang sangat sulit kulakukan. Aku sudah lama sebenarnya ingin memberitahu Eve. Namun aku takut jika kenyataannya nanti akan memburuk. Aku tak ingin jika memberitahu hal ini persahabatanku dengan Eve malah tidak bisa seperti dulu lagi. Eve sudah ku anggap sebagai adik kecilku. Adik manisku. Dan sepertinya aku tidak bisa merahasiakan ini kepadanya lebih jauh lagi.
Setelah mengatakan itu lidahku terasa pedih dan kelu. Tak ada kata-kata yang sanggup aku keluarkan. Sepertinya Eve sedikit mengerti, karena itu ia mulai melanjutkan percakapan ini dengan pelan-pelan.
"Wah, selamat ya Ru. Kapan jadiannya? Kok gak bilang-bilang aku sih jahat bener" Aku melihat Eve memberikan sebuah senyuman. Namun yang aku rasa lebih seperti sebuah sayatan pisau. "Sudah beberapa bulan yang lalu Eve, sorry aku baru bilang"
"Oh, yaudahlah gak papa kali. Terus kenapa dia disini sekarang?"
"Itu ibunya, ayah Rena udah gak ada. Jadi Rena lagi terpukul banget sekarang ngurus ibunya sendiri. Maaf kalo akhir-akhir ini aku suka ngilang. Soalnya aku selalu bantuin Rena kesana kemari" Aku memang jahat banget selama ini gak ngomong ke kamu Eve. Hmmmm..
"Oh, jadi kamu suka ninggalin aku, bikin aku nunggu pulang sekolah, lupa kerja kelompok gara-gara ini. Yah seandainya kamu ngomong kan aku bakal bantuin kamu Ru"
"Iya-iya, emang salah aku. Jadi kamu mau maafin aku gak?"
Aku melihat keadaan mata Eve yang sangat berbeda jauh dengan apa yang aku dengar dari mulutnya.
"Iya aku maafin dong, masa sahabatku punya pacar malah dimarahin. Langgeng ya Ru" Ucap Eve sambil menyenggol bahuku.
"Kalo gitu aku boleh dikenalin secara resmi gak nih sama si Rena? Udah jauh-jauh gini masa gak sekalian kita jengukin sih Ru" Eve pun menarik tanganku memasuki ruangan itu. Namun tidak lama dari itu iya tersentak kaget dan segera melepaskan tanganku. Lalu ia pun terlihat seperti biasa kembali.
Eve memberi salam. Renapun berbalik dan terlihat kaget saat mengetahui bahwa aku dan Eve ada disini. Aku sudah memberi tahu Rena bahwa aku akan mulai mencoba untuk memberitahukan semuanya kepada Eve hari ini. Namun sepertinya ia tidak menyangka bahwa aku akan membawa Eve ke sini. "Eh Eve" ujar Rena.
"Hai Ren, gimana ibumu? Udah mendingan belum? Maaf ya baru dapet jengukin sekarang. Kalian sih jahat bener gak ngasi tau aku kalo udah jadian. Hehehe tapi gak papa kok" Sapa Eve.
"Iya Eve, maaf ya gak ngasi tau kamu waktu itu. Iya ibuku udah lumayan sekarang. Apalagi kalo tau dijengukin pasti makin cepet sembuh"
"Bagus deh kalo gitu. Tapi aku minta maaf ya Ren gak bisa lama-lama aku ada urusan. Oh iya Ru, aku lupa ngasih tau. Tadi Mama mesen untuk cepet pulang. Gak papa kan?"
Eh? Aku yakin banget ini cuma alasan Eve. Entah kenapa tapi aku ngerti kenapa Eve begini. Bukan salah dia kalo dia emang gak mau lama-lama disini. Ini salah aku. Ya salah aku.
"Iyakah? Okedeh kalo gitu. Ren, aku tinggal dulu ya. Habis anter Eve aku balik lagi kesini" Ujarku.
"Loh kalian gak pada masuk sekolah?" Tanyanya
"Hehehe, kami bolos Ren" Jawab Eve sambil memasang muka cengengesan yang seperti dipaksakan.
"Kami pergi ya Ren" Ujarku lalu pergi meninggalkan Rena dan Ibunya. Saat aku menutup pintu, aku melirik Rena untuk memberikan senyumanku untuk menyiratkan bahwa semua baik-baik saja. Aku yakin, Rena pasti juga merasa tidak enak dengan Eve. Saat aku berbalik, Eve ternyata sudah melangkah jauh dariku. Ia mempercepat langkahnya saat aku mulai menyamainya.
***
Sudah hampir sampai ke perumahan tapi Eve sama sekali belum memberiku sepatah katapun. Aku mengerti kalau dia diam seperti ini. Namun hatiku semakin tak tenang. Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus mendiamkannya saja atau memulai sebuah percakapan seperti yang biasa kulakukan dengannya? Tidak mungkin. Aku tau hatinya sedang tidak enak dan tidak mungkin aku malah membuat sebuah lelucon.
"Hm.. Ru" Aku kaget. Tiba-tiba saja Eve mulai berbicara.
"Aku ngerti kenapa kamu gak mau ngomong sama aku sampai selama ini. Aku juga ngerti kalo kamu mungkin bakal susah untuk anter jemput aku terus"
"Eve, aku kan gak bil..." Kata-kataku tak digubrisnya.
"Jadi tenang aja. Aku pasti bakal minta izin ke mama untuk ngebiarin aku mulai kemana-mana pakai motor. Dan, aku mungkin beberapa hari ini butuh untuk sendiri. Aku gak marah kok, bener. Cuma tolong ngertiin aku ya Ru"
Mobilku mulai berhenti tepat sebelum aku mulai mempersiapkan kata-kata untuk menjawab Eve. Eve membuka pintu mobil dan mulai memasuki rumah tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Akhirnya aku memutuskan untuk berbalik menuju rumah sakit.
***
Dari kejauhan aku sudah bisa mengenali seseorang yang menungguiku. Rena memang selalu begitu jika tau aku akan datang. Akupun melambaikan tangan dari jendela dan memberinya kode untuk menunggu aku memakirkan mobil terlebih dahulu.
Saat aku melihatnya dari jauh Rena sedang membelakangiku. Rena adalah anak IPS 2 yang kukenal sejak semester pertama sekolah menengah atas. Ia saat itu tak sengaja menginjak tali sepatuku yang terlepas saat bersimpangan dengannya dilorong. Akibatnya aku langsung jatuh tersungkur dan ia pun meminta maaf kepadaku setiap saat aku bertemu dengannya. Hal itu memang tidak berlangsung lama. Namun, setelah kejadian itu aku mulai tertarik memperhatikannya bahkan dari kejauhan seperti saat ini. Aku suka dengan caranya berdiri. Ia berdiri seperti pohon yang diterjang oleh musim yang selalu berganti seperti hampir tumbang. Namun siapapun yang melihatnya pasti akan tahu bahwa dia akan selalu bisa menghadapi segala terjangan itu.
Entah mengapa, sejak awal semester tiga aku mulai terlihat dekat dengannya karena ekskul musik yang kuikuti. Awalnya aku juga tak mengira bahwa ia dapat memainkan alat musik. Ia memainkan piano. Itu yang membuatku semakin tertarik akan keberadaan dirinya. Aku suka menyisihkan waktu istirahatku disekolah dengan memperhatikannya bercengkrama dengan teman-temannya. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh Eve yang notabene orangnya selalu asyik dengan keadaan dirinya sendiri.
Kini aku sudah berada tepat dibelakang Rena.
"Na?" Aku memanggilnya Na. Begitu juga dengannya. Ia selalu memanggilku dengan sebutan Na. Rena pun berbalik "Hmm.. Gimana Na? Eve marah ya sama aku?" Aku melihat matanya benar-benar bersalah. Sejujurnya Rena adalah orang yang sangat pengertian tentang segala hal yang ada disekelilingnya. Ia sangat tau bahwa aku dengan Eve adalah orang yang sangat dekat. Bagaimana tidak, orang yang tak terlalu kenal denganku pun pasti tau akan hal itu. Karena memang selama ini aku selalu bersama Eve. Kemanapun itu dan dimanapun itu. Tentu saja hal ini tidak termasuk kamar mandi dan kamar tidur.
"Engga kok, dia ngertiin aku. Cuma dia bilang kalo dia butuh waktu untuk sendiri dulu" Ucapku dengan senyuman untuk meyakinkannya agar tidak perlu khawatir tentang hubunganku dengan Eve. "Jadi gimana ibumu? Kata dokter kemarin udah mulai baikan?".
Ia tersenyum. " Iya, kata Dokter Arya ibuk bisa diajak jalan-jalan sekitar halaman rumah sakit pakai kursi roda. Hm.. itu berarti bagus kan na?" Tanyanya kepadaku.
"iyah... berarti besok sore aku kesini juga yah, nemenin ibu sama kamu jalan-jalan. Gimana?" Ujarku.
"Okedeh, makasi ya Na" ujarnya sambil menyuingkan senyuman itu. Senyuman polos yang selalu membuat hatiku berdegup kencang. Akupun memegang tangannya dan mulai masuk kedalam rumah sakit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Friend, Love and I
Romans[Ongoing] Cinta itu sulit saat dirimu ditemukan di kedua titik yang bersamaan.