Author : Nyctoscphile
Genre : Bromance, Angst (not sure lol) || Rating : T || Length : 742 words
Disclaimer :
This story is only written by Nyctoscphile on Wattpad. Any publication outside this site is illegal. So, please report to me if you find one.
All of character are belong to God, and their family.
Based on prompt :
"Menurutmu, akan lebih baik kalau salju turun dari langit, malam ini atau besok pagi?"
Featuring :
DAY6's Kim Wonpil, Yoon Dowoon.
©20180930 Nyctoscphile
Enjoy!
***
Aku hanya seorang diri di sini, di dalam kamar ini. Mencoba menerka-nerka, kapan, kiranya pergantian musim akan tiba. Aku juga mendapati diriku perlahan mengukir senyum pada akhirnya, saat retina telah menguasai seluruh jarak pandang, membuatnya jatuh menitik sosok bersurai hitam legam yang satu-satunya hadir di sana tanpa persetujuan.
Yoon Dowoon.
Aku melihat dia dengan jelas di sudut ruang, sedang menekuk lututnya rapat-rapat dengan dada, berusaha menghindari semilir dingin yang menyapa area.
Sepenuhnya dia terdiam, namun senyum setipis lembaran kertas yang rapuh tidak pernah kulihat meninggalkan lekuk wajah. Begitu rapuh, aku tahu, sampai hati membawa kedua bibir dia bergetar di antara rasa takut dan perjuangan yang sama sekali belum terlihat akhirnya.
Aku melangkah mendekati dia perlahan, menggamit erat-erat ujung kausku sendiri seolah-olah hanya ini satu-satunya kekuatan yang masih aku punya. Melangkah ragu-ragu mempertemukan raga dengan sangat hati-hati, takut-takut kalau dia akan begitu saja beranjak pergi karena menyadari kehadiranku.
"Menurutmu ...."
Aku menelisik wajahnya lewat sedikit jarak, tepat ketika aku kembali berpijak dalam diam, aku dapati dia bergumam dengan intonasi nada yang amat kecil. Separuh lemah, separuh tidak berdaya, memaksa vokal sempit untuk menjalankan tugas seperti seharusnya.
Sebilah tangannya terlihat terangkat naik dengan gugup, mengusap permukaan sekat kaca yang membatasi dia dengan dunia luar. Permukaan yang berembun, permukaan yang tegas, permukaan yang menyadarkan dia, juga aku, bahwa dunia nyata yang didamba seutuhnya telah terisolasi dengan mutlak.
"Menurutmu, akan lebih baik kalau salju turun dari langit, malam ini atau besok pagi?"
Dia melanjutkan, dengan lugas dan berani.
Seakan dia tidak pernah merasakan nyeri yang menghujam jiwa setelah berkalimat sedemikian rupa. Lalu dia hanya meninggalkan diam setelahnya, menyisakan ruang kosong tanpa kutipan suara apapun. Sepenuhnya menuntut satu-satunya penonton di sana untuk menjawab.
Maka aku menjawab.
"Aku ... memilih pagi."
Dia menggeleng pelan, tidak tahu apa maksudnya.
Ukiran senyum itu masih bertangguh di sana, terasa getir, pun ketika menyadari jika sepasang bolamata tanpa harapan milik dia sudah membentuk barikade kaca-kaca bening dan tipis, yang siap runtuh kapanpun, detik berapapun tanpa dia minta.
"Aku memilih malam ini, lebih baik malam ini.
Apa alasanmu memilih besok pagi?"
Pertanyaan itu mudah, menembus rungu dengan sangat baik. Namun aku tahu, aku masihlah seseorang yang payah walau hanya sekadar menemukan jawaban.
Dia menghela napas, mengistirahatkan puncak kepalanya yang dirasa lemah pada dinding dingin yang setia menemani. Jemarinya masih bermain-main acak di hadapan sekat kaca itu, menulis kata-kata tidak jelas, mungkin menungguku untuk menjawab.
Maka aku menjawab.
"Karena ... aku ingin waktu terasa lebih lama, memberi ruang untuk kau dan aku."
Dia menggeleng pelan, lagi.
Tanpa memberitahuku apa maksudnya.
Sekarang giliranku yang menghela napas, menyiapkan diri dengan sebenar-benarnya sebelum pada akhirnya, seutas pertanyaan biasa menjadi sejuta kali lebih menyakitkan dibanding dengan pertanyaan-pertanyaan lain.
"Apa alasanmu memilih malam ini?"
Dia terdiam, tingkat kepayahannya dalam menjawab sama buruknya denganku. Dia tampak berpikir, sampai garis senyumnya tanpa disadari perlahan memudar seiring terkikisnya lingkaran waktu yang menunggu.
Tetapi tidak lama, dia memejamkan matanya, yang membuat tetes basah jatuh dari sudut matanya dengan terpaksa. Dia mencoba terlihat damai dalam diam.
"Karena ... aku ingin melihat salju itu lebih cepat."
Yang aku rasakan setelahnya adalah beku, dingin, retorik tubuh seakan enggan untuk kembali berfungsi seperti seharusnya. Netra terpaku lurus, masih bersedia memandang sudut ruang.
"Agar aku, bisa melihatnya bersamamu."
Detik demi detik, cahaya hangat nan samar yang menyelinap masuk lewat belakang sekat kaca itu memeluk tubuhnya dengan senang hati, bersamaan dengan kedua acuan tungkai milikku yang melemah.
Seperti mati rasa, membuatku tidak bisa lagi menopang apa-apa. Biarlah dataran dingin yang kupijak ini menanggung semuanya.
"Bersamamu, Kim."
Napasku tidak terasa berputar di dalam rongga, membiarkan udara kering mencekik segalanya, membiarkan pertahanan terakhir yang tidak kupersiapkan hancur begitu saja. Luruh menjadi basah yang dinamakan dengan air mata.
Sebilah tanganku terangkat naik, berusaha menggapai bayang milik dia yang tidak lagi terlihat jelas, memburam bersama dengan tetes demi tetes air mataku yang membawa bayang-bayang sosok itu semakin erat di dalam rengkuhan cahaya.
"Kim Wonpil."
Lantas hening membawanya pergi.
Menyisakan ruang kosong, seperti semula. Seperti sedia kala. Seperti saat dia kembali datang dalam bentuk bayang yang sama, untuk hari ini, untuk hari esok, untuk hari-hari yang akan datang. Dia akan datang lagi, dengan ruang kosong yang aku benci, dengan raung tangisan yang berakhir menjatuhkan kesemua diri ini tanpa pengampunan.
Juga lagi-lagi, dengan kurang ajarnya dia akan meninggalkan diri sendirian di sini. Meninggalkan diri yang tidak pernah bisa sedikitpun melupakan geraknya, meninggalkan diri yang membenci fakta bahwa sampai detik ini, aku tidak akan siap untuk menerima realita barang tentang kepergiannya.
Dan tidak akan pernah siap.
- Fin -
A.N : Aaaaaaaaaaaa aku nulis apasih huhu
Yang jelas itu teh ceritanya Yoon Dowoon sudah tidak ada, dan yang selalu Kim Wonpil lihat itu adalah bayangannya Dowoon yang dulu, pas dia masih hidup. Sudah, gitu doang.
Pusing? Ngga. Saya mah nangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salju
FanfictionSetiap cerita ditulis dengan penuh makna oleh staf dan pelanggan Flow de Mémoire Café. ©FDM 20181011 . Selamat hari jadi ke-900. Selamat menikmati karya kami. . Tertanda, Flow de Mémoire Café. Because every moment is precious.