"Ngapain kamu disini?" Kata Elisa pada Steven yang tiba-tiba ada disekolahnya.
"Jemput jodoh aku lah, ngapain lagi" jawab Steven enteng.
"Jangan pernah bilang aku jodoh kamu. Aku memang dijodohkan sama kamu, tapi aku gak pernah bilang kalau aku setuju sama perjodohan itu, jadi aku bukan jodoh kamu"
"Mungkin kamu emang belum setuju, tapi tunggu aja, cepet atau lambat kamu akan jadi jodoh sah aku" kata Steven seraya mendorong Elisa ketembok dan menahan Elisa agar tidak bisa pergi dengan tangannya.
Steven mulai mendekat dan hendak mencium Elisa. Elisa yang sadar itu segera mendoro kuat tubuh Steven dan membiarkannya terbentur pilar penjaga koridor lantai 2.
"Kamu mau kmn?" Teriak Steven yang melihat Elisa menjauh. Elisa tidak membalasnya. Didekat gerbang sekolah, berdiri seorang berkaca mata bulat sudah menunggu Elisa. Jona selalu menjemput Elisa dan mengantar Elisa untuk shooting sebentar dan segera mengatar Elisa ke rumah sakit.
Bucin, itulah sebutan yang pas untuk Jona. Elisa melihat Jona dan segera pergi ke mobil Jona. Baru saja mereka masuk, bahkan Jona belum sempat menyalakan mesin mobilnya, Handphone Elisa sudah berbunyi. Telepon dari rumah sakit yang mengatakan kalau Veron sekarang sedang koma.
Jona langsung menyalakan mobilnya dan membawa Elisa ke rumah sakit. Jona menemani Elisa masuk melihat Veron. Elisa menangis dan beberapa kali Elisa mengguncangan tubuh Veron.
"Pa, aku tau papa pasti biaa dengar Elisa."
"Pa, bangun pa, Elisa gak bisa tanpa papa."
"Mama dan George udah ninggalin Elisa, papa jangan."
"Kalau papa bangun, Elisa siap terima perjodohan yang papa kasih."
Jona sangat terkejut mendengarnya. Akankah hubungannya berakhir sekarang setelah semua perjuangan mereka.
Elisa menangis dipelukan Jona saat melihat Veron tak kunjung sadar. Jona pun memutuskan untuk menginap di rumah sakit bersama dengan Elisa. Jona tak mampu melihat Elisa sedih sendirian.
....
2 minggu berlalu, Veron belum juga sadar. Steven yang semakin membuat Elisa muak dengan tingkahnya yang selalu berusaha untuk membuat Elisa tertarik.
Sore ini, saat Elisa sedang berada di lokasi, Elisa mendapat telepon dari rumah sakit kalau ayahnya sudah sadar.
Elisa langsung bergegas ke rumah sakit yang tentunya ditemani oleh Jona. Saat Elisa dan Jona sampai, tenyata David, Shal, Steven, dan orang tua Steven ada di sana.
Mereka semua menatap Elisa dan Jona. Steven langsung merebut Elisa dari Jona. Dan mengajak Elisa masuk kedalam. Mereka semua masuk ke dalam ruangan, termasuk Jona dengan perasaan tersakitinya.
Disana Jona melihat Elisa dan yang lain sedang tertawa bersama sambil membahas perjodohan tentang Elisa dan Steven. Sesekali Elisa menatap Jona dengan tatapan kecewa akan keputusannya sendiri.
Hari semakin larut, Veron sudah tertidur. Steven dan orang tuanya sudah kembali. Kini tersisa Elisa, Jona, David, dan Shal saja.
"Jona, kamu sudah lihatkan kalau Elisa sudah menyetujui perjodohan ini?" Kata David.
"Iya, om" Jona berusaha tersenyum.
"Jadi untuk apa kamu masih disini?"
"Apakah salah kalau saya ada disini sebagai sahabat dan koko dari Elisa?"
"Elisa sudah tidak membutuhkan mu lagi, lebih baik sekarang juga kamu pergi. Sebelum saya panggil satpam untuk mengusirmu!!!"
"Saya tidak mau pergi, Elisa masih membutuhkan saya. Saya lihat dari tatapannya yang mengatakan pada saya kalau saya tidak boleh pergi"
"Jadi kamu bisa main telepati ya?"
"Kalau om mau pergi, ya silahkan, saya akan tetap disini"
"Beraninya kamu ngusir saya, kamu bukan siapa-siapa disini"
"Saya tidak akan pergi"
Elisa yang berada pelukan Shal saat ini hanya meneteskan air matanya, tanpa mampu melakukan apapun.
"Mas, udah ayo pergi, biarkan mereka berbicara baik-baik terlebih dahulu tentang keputusan Elisa. Toh, Elisa juga sudah setuju, biarkan saja" kata Shal dengan penuh pengertian.
David dan Shal pun segera pergi meninggalkan Jona dan Elisa berdua.
Elisa tak kuasa untuk mengatakan sepatah kata pun. Hatinya sangat terluka. Ia sangat menyesal dengan keputusannya. Demi Veron, Elisa mengorbankan cintanya, mengorbankan hubungannya, dan mengorbankan masa depannya. Walaupun Elisa dan Steven akan dinikahkan setelah Elisa lulus SMA, Elisa tetap merasa tidak ada harapan untuk hidup. Apalagi untuk hidup bersama dengan seseorang yang tidak pernah dia harapkan, tidak pernah dia cintai, dan tidak pernah membuatnya bahagia sedikitpun.
Elisa merasa, keberadaan Steven hanya membawa kesialan. Kesialan yang dulu pernah hilang karena Jona ada disisinya. Kini, sebentar lagi, Jona akan digantikan oleh seseorang yang telah merusak masa depannya.
Elisa hanya terdiam sambil meneteskan air matanya yang terkadang ia seka agar tidak membasahin pipinya. Jona melihat Elisa dari sofa di pojok ruangan, Elisa sedang duduk disamping kasur Veron.
Jona tak tahan melihat Elisa menangis dengan sedih seperti itu. Menurut Jona, Elisa menangis karena dirinya. Karena dirinya tak mampu mengubah keputusan keluarga besar Elisa. Jona datang mendekati Elisa. Jona memeluk Elisa dari belakang. Pelukan hangat itu membuat Elisa merasa nyaman dan enggan melepaskannya.
Jona menggendong tubuh Elisa yang terlihat sangat lemah ke sofa, agar Elisa merasa lebih santai. Jona membiarkan Elisa memeluk dan menyenderkan kepalanya di bahu Jona. Elisa tidak membuka matanya sedikitpun. Ia sangat menikmati bahu Jona, mungkin ini yang terakhir kali baginya untuk merasa pelukan dan bahu Jona. Jona mengecup lembut dahi Elisa, yang menjadi tanda kalau Jona tidak akan meninggalkan Elisa apapun yang terjadi.
-AR-
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bad Luck
Teen Fiction"Pelangi sehabis badai? halah bullshit" gerutu Elisa yang kesal dengan kesialannya. Bukan hanya soal cinta, tetapi keluarga, pertemanan, bahkan sampai sekolahnya. Elisa selalu merasa dia sangat bernasib sial sampai ia bertemu Jona, seseorang yang be...