Sebuah Alasan

168 18 10
                                    

Sakti manggil-manggil namaku, tapi aku nggak peduli!

Buat apa kamu nunjukin semua itu sama aku, Sak? Buat apa? aku nggak habis pikir, sumpah! aku nggak paham sama pemikiranmu yang sempit itu.

"Han, Hani! Tunggu!" panggilnya saat mengejar langkahku, tapi aku nggak mau berhenti.

"Minggir, gue mau pulang!" aku nantangin dia yang menghalangi jalan.

"Kamu kenapa sih? Apa yang salah?"

"Lo masih nanya apa yang salah? Ya ampun, Sak. Mikir dong! Awas, gue mau pulang. Lo nggak minggir, gue teriak sekarang juga!"

Ancamanku berhasil, Sakti menggeser badannya dan aku jalan lagi ninggalin dia. Aku nggak noleh kebelakang atau ragu sedikitpun melangkahkan kaki. Aku mangkel dengan sikap Sakti yang susah dibilangin, bebel dan nggak dewasa sama sekali. Hah, ternyata umur emang nggak nentuin kedewasaan seseorang, nggak Sakti, nggak Aldo, dua-duanya sama aja.

Ini sudah jam sebelas malem, saat cewek lain udah bobok cantik di kamar, aku malah baru pulang kerja. Rumahku sama tempat kerja emang nggak begitu jauh, sekitar dua kilometer. Tetapi, dua kilometer di waktu malem kayak gini tetaplah jarak yang sangat tidak aman, aku kan cewek.

Ketika mau lewat depan rental PS sebelah rumah pak RT, aku berhenti sebentar. Bingung mau lanjut lewat sana, atau puter balik lewat portal komplek. Yang artinya aku harus jalan dua atau tiga kali lipat lebih jauh. Sebenernya, aku nggak pernah pulang sendiri, jalan kaki lewat sini. Karena, sering dianter Aldo kalau pulang kerja.

Gimana nih? Lanjut atau putar balik? Kayaknya lanjut aja, aku udah capek segala-galanya, pengen cepet-cepet sampai rumah. Aku maju pelan, nggak mungkin dong tiba-tiba lari nggak jelas karena takut digodain. Jujur, aku trauma digodain sama cowok, soalnya pernah punya pengalaman buruk. Langkah kakiku makin deket sama gerombolan cowok yang nongkrong di depan rental PS plus warung kopi itu. Aku berhenti lagi, tiba-tiba merinding, ngeri. Aku bisa denger jelas suara ketawa mereka dari tempatku berdiri sekarang, jarak kurang dari lima puluh meter. Aduh, apa aku puter balik aja ya?

"Ikut, aku antar sampai rumah!" aku hampir teriak pas tangan kananku tiba-tiba ditarik seseorang, tapi nggak jadi bersuara, setelah kutahu itu Sakti. Aku digeret paksa oleh Sakti menuju mobilnya yang terparkir di bawah pohon mahoni. Aku nurut aja, meski aslinya masih kesel. Di dalam mobil aku diam aja, udah capek hati ngadepin dia.

"Kamu kenapa sih, Han?"

"Pikir aja sendiri!"

"Jangan lebay lah, apa yang kamu permasalahkan? Aku cuma ingin kamu tahu, bukan apa-apa," katanya.

"Apanya yang bukan apa-apa, aku marah! Nggak peka banget sih jadi cowok!" Aku ngomel dalam hati, sorry ya, suaraku masih mahal buat nyahutin omongan Sakti. Nggak ada percakapan lagi karena aku nyuekin dia dengan asik mainin game online.

"Makasih udah nganterin sampai rumah, mending Lo pulang! Hati-hati di jalan, Sak!" usirku secara halus.

"Han, bisa nggak jangan pakai lo gue, apalagi panggil nama doang?"

"Sayangnya nggak bisa, udah pulang sana!" Aku melepas sabuk pengaman, lalu turun dari mobil Sakti. Aku nggak nengok ke belakang dan nggak punya niat lihat muka Sakti yang nyebelin itu.

"Ini jam berapa Han? Kamu darimana saja?" tanya Bibi pas aku ngelewatin dia yang lagi nonton televisi di ruang tamu.

Sial banget sih, baru masuk rumah aja udah ditanyain macem-macem.

"Han, jawab kalau ditanya sama orang tua!" gertak Bibi.

Aku balik badan, nggak jadi menginjak anak tangga pertama.

KLISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang