Aku menautkan alis ketika tidak menemukan Tata di ruang tengah. Kucari dia ke dapur tapi nihil, nggak ada juga. Aku semakin heran kala mendapati pintu sedikit terbuka, padahal aku yakin barusan menguncinya. Siapa yang membuka pintu?
"Hai, Al ... lo udahan mandinya?" pekik Tata mengagetkanku, sialan emang perempuan satu ini. Dia nyelonong masuk saat aku memegang pegangan pintu berniat menguncinya lagi.
"Lo darimana?" tanyaku sembari menutup pintu. Tata masuk lebih dulu, berjalan lurus ke dapur membawa kantong kertas ukuran sedang. Kuikuti langkahnya, namun aku berhenti lantas bersandar di tembok setengah badan, yang berfungsi sebagai sekat pembatas dengan ruang tengah. Sekat seperti tembok tersebut dibuat melebar pada bagian atas, untuk menggantikan peran meja makan.
"Gue turun nyari makanan. Lo nggak laper?" tanyanya sembari menyiapkan sesuatu di piring.
Indra penciumanku menghirup aroma burger dan ayam goreng cepat saji. Aku mendekat padanya yang berdiri di sebelah rak piring. "Makan dulu gih, lo suka sayap ayam kan," katanya seraya menyodorkan seporsi sarapan berat yang dia beli.
"Lo, udah mandi?" tanyaku saat mengambil alih piring dari tangannya. Tata senyum, lalu membuka bungkusan yang lain. "Ta, lo nggak apa-apakan?" tanyaku curiga.
"Emang gue kenapa, Al? Udah makan yuk, gue laper banget. Semalem isi perut keluar semua," katanya sebelum tergelak ringan.
"Ya kali lo salah minum obat, tiba-tiba jadi perhatian gini," ejekku sebelum memasukkan suapan pertama ke mulut.
"Nggak usah geer, gue keroncongan tahu nggak. Gue ke dapur nggak ada apa-apa, kulkas isinya cuma buah sama air. Gue bingung mau makan apa, mie instan aja nggak ada. Parah lo, Al. Apartemen bagus gini tapi nggak ada makanan yang bisa dimasak, bisa pingsan kalau kelaperan malem-malem," omelnya panjang lebar.
Aku berdehem menanggapi ocehan Tata, kulihat dia mengamati seisi apartemenku. Nggak tahu apa yang dia pikirin sekarang? Bodo amat, yang penting makan dulu.
"Udah gitu, tadi gue lihat lo masih ngorok. Kayaknya pules, jadi nggak enak mau bangunin. Ya udah deh, gue ambil kunci apartemen di laci biasa, terus cari makan di luar," terang Tata lagi.
"Dasar jorok, beli makanan tapi nggak mandi dulu," cercaku. Kutelan suapan terakhir lalu minum sebelum berdiri ke wastafel untuk mencuci tangan juga piring kotorku sendiri.
"Gue udah mandi, Al. Makanya jangan molor mulu. Coba kalau lo tadi udah bangun."
"Apa hubungannya sama gue?" tanyaku di sela suara gemericik air keran.
"Ya, kan bisa mandi bareng." Dia tergelak sendiri, sedangkan aku geleng-geleng mendengar candaan garingnya. "Biar lo percaya kalau gue udah mandi," lanjutnya.
"Nggak lucu, Ta. Lo mau kopi apa enggak? Sepet mata gue," tanyaku ketika berjalan mendekati mesin kopi.
"Mau lah, sama kayak lo. Favorit lo masih moccalatte kan?"
"Masih."
"Gue sampai lupa kapan terakhir kali kita ngopi bareng, Al. Lo jarang nemuin gue akhir-akhir ini," ucap Tata lirih.
Aku berbalik badan melihatnya yang belum selesai makan. "Lo tahu kan gue sibuk ngurus toko. Soalnya karyawan yang gue percaya resign dan gue belum nemuin lagi yang jujur kayak dia. Harusnya lo yang sempetin main ke toko lah," usulku sebelum lanjut meracik kopi sendiri.
"Gue males, terakhir kali ke sana. Lo lagi makan siang sama Hani di foodcourt. Lo lupa sama gue sejak ada Hani. Lo cinta banget sama dia?" protes Tata. Dia berdiri di belakangku sambil mencuci piringnya.
Aku tidak menjawab pertanyaan Tata, sebab teringat Hani yang semalam masih marah padaku. Sampai aku susah tidur karena memikirkan pesan terakhir yang dia tuliskan. "Lo egois dan ambisisus, Al."
"Ta, menurut ko, gue ini ambisius dan egois?" tanyaku sembari memberikan secangkir kopi moccalatte pada Tata yang sedang mengelap tangan.
"Kenapa nanya gitu?" sahutnya saat nerima cangkir yang kusodorkan padanya. Tata berjalan ke meja makan lagi, duduk di sana sambil buka-buka majalah otomotif yang kubeli minggu lalu.
"Cuma nanya aja," dalihku. Kuhirup aroma kopi yang menguar sebelum menyesapnya pelan. Aku pun ikut duduk bareng Tata, pura-pura tak ingin tahu jawaban yang bakal keluar dari mulutnya.
"Ada yang bilang lo egois apa? jangan-jangan si Hani?" terka Tata dengan sorot mata tajam mengarah padaku. Sedangkan aku menyibukkan diri berkutat dengan ponsel, mengecek promosi tentang gathering yang bakal diadakan dalam waktu dekat.
"Nggak ada sangkut pautnya sama dia," jawabku asal. Namun dalam hati aku berucap, "Siapa lagi kalau bukan Hani, satu-satunya perempuan yang bikin aku nggak waras. Cinta yang harus kudapatkan, gimanapun caranya."
"Lo nggak bisa bohong sama gue," sergah Tata.
"Gue nggak bohong," sangkalku.
"Tapi mata lo nggak bisa bohong. Lo sering ngelamunin dia, iya kan? Jujur aja kenapa, Al. Sama gue ini. Makin lo sembunyiin, sikap lo makin kelihatan aneh tahu nggak," sanggah Tata sebelum meminum kopinya lagi.
"Lo cemburu, Ta?"
"Gue? Cemburu?" cecar Tata yang nunjuk wajahnya sendiri sambil tertawa.
"Nggak usah muna, semalem lo bilang sendiri sama gue," selaku.
"Gue bilang apa?" tanya dia dengan polosnya.
"Forget it!" aku lupa kalau dia mabuk, mana mungkin ingat apa yang dikatakan semalam. Percuma juga berdebat dengan Tata tentang perasaannya, hanya akan mengulang pertengkaran yang sering terjadi.
"Jawab Al, semalem gue bilang apa?" rengek Tata. Dia memukul lenganku beberapa kali. "Al, jangan diem aja ih," bujuknya lagi.
"Lupakan!"
"Al, jawab kenapa sih? Bikin gue penasaran aja, gue laporin Papi nih. Kalau lo ngajak gue nginep di sini," ancamnya.
"Enak aja, lo sendiri yang nggak mau pulang. Malah molor di ruang tengah, jangan fitnah gue. Nggak lucu kalau urusannya sama Bokap lo," larangku. Masalahnya jadi ribet kalau sampai papinya tahu Tata menginap di sini.
"Dih, takut ya?" cercanya.
"Gimana nggak takut. Bokap Lo killer gitu, abis lah gue."
Nggak adil kalau dikit-dikit mengancam seperti itu, Ta. Itu yang tidak kusuka darimu. Kamu terlalu manja dan mau menang sendiri. Bahkan, setelah bertahun-tahun kita saling mengenal, kamu masih seperti ini, tidak berubah menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu dan usia.
"Cerita aja apa susahnya sih, Al," pintanya nggak bisa ditolak, selalu memaksa. Ditambah muka cemberut dan sorot mata memelas yang menyebalkan, menurutku.
"Lo semalem bilang masih suka sama gue, udah puas!" gertakku jengkel. Aku bangkit dari kursi, berlalu meninggalkan Tata yang termangu.
"Gue nggak mungkin bilang gitu, Al!" sangkalnya setengah berteriak. Diakui atau tidak, nyatanya dia mengatakan itu semalam. Aku mendengar langkahnya berjalan mengikutiku ke ruang tengah. "Mending lo pulang, Ta!"
"Lo ngusir gue?!"
"Iya, sekarang pulang."
~~~~~
Akhirnya bisa update juga cerita ini, huee huee
Emak lagi banyak kerjaan di duta soalnya.Happy reading aja ya
Salam
Yuke Neza
KAMU SEDANG MEMBACA
KLISE
Genel KurguKlise? apa sih Klise itu? adakah tolok ukur untuk memberi label klise pada kisah seseorang? Sepertinya tidak. Sama seperti dia yang ada di buku ini, selalu menghindari hal-hal yang bersifat mainstream dan Klise, baik dalam kehidupan sehari-hari, ton...