"Em, ini ...." Tuhan tolong aku. Aku harus jawab apa sekarang?
"Ada masalah?" tanya Aldo lagi.
"Enggak kok." Aku menggeleng lalu senyum sama Aldo. "Udah ya, aku lagi sibuk," kataku sambil cepet-cepet nutup telpon.
Semoga aja Sakti nggak denger suara Aldo. "Udah kok, ngga ada masalah apa-apa," tegasku meyakinkan Aldo.
"Siapa yang nelpon? Ekspresi kamu jadi nggak enak gitu?" selidik Aldo. Pertanyaannya jelas, kalau dia nggak percaya sama apa yang aku bilang.
"Itu tadi Sakti, dia nanya-nanya soal event yang kemarin. Minat katanya, pengen ikut mungkin?" jawabku sembari mengedikkan bahu. Aku jalan lebih dulu keluar gedung. Sedangkan Aldo ngelanjutin obrolannya yang tertunda dengan pihak kampus. Kami sepakat, gedung ini sesuai dengan apa yang kami butuhkan.
"Hani, bisa kita lanjutin obrolan yang tadi?" tanya Aldo, ketika aku dan dia sampai di lahan parkir kampus. Karena aku emang ngajak pulang, capek, pengen istirahat sebentar sebelum berangkat kerja jam tiga sore nanti.
"Yang mana, Al?" tanyaku. Urusan yang mana coba? Sewa gedung udah beres ini.
"Soal Sakti."
"Kenapa emangnya?" tanyaku yang nggak paham.
"Aku ngerasa aneh aja, kenapa dia juga pengen ikut event? Setahuku dia nggak publish cerita atau cerpen. Cuma beberapa prosa dan puisi--"
"Maksud kamu?" potongku.
"Emang dia punya naskah? Aku nggak yakin kalau dia bisa nulis novel," ucap Aldo seraya mengedikkan bahu, "ini, kamu beneran mau pulang atau kita cari makan siang dulu?"
"Aku nggak paham arah omongan kamu," sergahku seraya menepis tangannya yang mau masangin helm di kepalaku. Aldo menautkan alis setelah aku menolak sikap manisnya.
"Apa yang nggak kamu pahami, Han?"
"Emangnya, kenapa kalau Sakti juga pengen ikut, itu event bebas kan? Lagipula, di-share ke komunitas. Jadi, siapapun boleh ikut?" sanggahku.
Aku nggak suka pernyataan Aldo yang seolah meremehkan Sakti.
"Iya, emang bebas buat siapa aja. Tapi, kelihatan siapa yang lebih unggul di sini, secara personal antara aku sama Sakti. Sekalipun aku nggak menang, paling nggak aku bisa masuk 10 besar lah," ucapnya sesumbar.
"Kamu nggak kenal siapa Sakti," bantahku.
Kenapa banyak yang menilai Sakti cuma dari luarnya aja? Aku nggak terima kalau ada yang ngejelekin Sakti. Mereka nggak tahu Sakti seperti apa? Dia itu beda, tidak seperti yang mereka lihat. Sekarang, apapun yang dilakukan Sakti kesannya percuma. Sikap baik yang ditunjukkan pada semua orang nggak merubah penilaian mereka tentang Sakti yang dulu. Padahal, ada alasan kenapa Sakti bersikap kasar dan tidak ramah pada anggota lain.
Kemarin aku udah ngasih saran sama Sakti, kalau dia jangan terlalu cepat merubah sikap. Perubahan itu ditunjukkan pelan-pelan, bukannya mendadak seperti yang dia lakukan. Hasilnya apa coba? Malah Sakti, dikira cari namalah, pansoslah.
"Kamu kenal dia sejauh apa? Kalian dekat, atau jangan-jangan punya hubungan ...."
"Iya, aku kenal dia. Kenapa?"
"Deket? Kamu tahu kan, Han. Aku tuh--"
"Iya, aku tahu. Nggak usah dibahas." Aku pergi, jalan keluar area kampus ngejauh dari Aldo. Hatiku panas denger Aldo ngeremehin Sakti kayak tadi. Aku nggak suka. Aku lari kecil biar nggak kekejar sama Aldo. Kalau dipikir, persis kayak kejadian tadi malem, dicegah pergi lalu dikejar sama cowok nyebelin. Beda subyek tapi konteksnya sama, pertengkaran. Juga sama-sama menjengkelkan.
Pas sampai di luar pager kampus, kebetulan ada angkot lewat. Aku berhentiin dan langsung naik ke dalam. Bodo amat sama Aldo. Dia natap dari jauh angkot yang kunaiki.
Heran aku, kenapa semua cowok itu nyebelin, ngerasa paling bener dengan logikanya. Padahal, apa yang dia pikirin juga bisa salah, malah kadang gegabah. Yang satu susah dibilangin, yang satu menganggap dirinya paling benar.
Yang tambah bikin badmood, aku harus jalan kaki masuk gang sekitar 500 meter masuk gang komplek, karena angkot cuma berhenti di jalan raya. Panasnya siang hari jam setengah satu bikin kepalaku pusing.
"Itu Hani sudah pulang," seru Bibi waktu aku masuk pager rumah.
"Han?" ucap Aldo dengan senyum bodoh, kayak nggak terjadi apa-apa barusan. Ya Tuhan, aku males ngadepin dia. Seseorang tolong bawa aku pergi dari sini, aku mau kabur tapi nggak bisa.
"Bibi tinggal ya, kalian bisa ngobrol berdua."
Aku terbengong lihat sikap bibi yang masuk ke rumah gitu aja. Kenapa dia nggak marah atau semacamnya. Padahal, aku dan Aldo pulang sendiri-sendiri. Kenapa bibi nggak nanya-nanya, ini dan itu?
"Han ...." Aldo narik tanganku, tapi aku menepisnya. "Hani, tolong jangan marah. Kenapa kamu marah padaku. Aku salah apa?"
Terus aja ngerasa nggak bersalah. Selama kamu nggak bisa berubah, aku bakal terus marah sama kamu. Aku dongkol tahu, pengen ngomel tapi udah males. Mending aku diem.
"Han, jawab pertanyaanku!" pinta Aldo. Dia menarik pundakku agar menghadapnya. Lalu, dia menengadahkanku yang menunduk. "Kamu suka sama Sakti? Tolong jawab!"
Pandangan mataku terkunci, aku dan Aldo sama-sama diam. Bisa kulihat sorot matanya yang mengharap aku menjawab "tidak". Aku tahu Aldo menyukaiku, meski dia tak mengungkapkannya langsung. Semua yang dia berikan selama ini, perhatian juga sikap baik yang cuma untukku. Tak mungkin dia bersikap begitu baik tanpa ada rasa.
"Aku nggak tahu, Al," jawabku.
Aku membuang muka, ngalihin pandangan ke arah lain. Lalu, duduk di kursi teras, kuminum jus buah yang ada di meja yang sudah ada waktu aku datang.
Aldo pun ikut duduk sebelum bilang, "Aku udah tahu jawabannya, meski kamu nggak mau jawab. Asal kamu tahu, Han. Aku bakal buktiin sama kamu. Kalau aku jauh lebih baik dari dia."
"Al, udah cukup. Ini bukan kompetisi, dan aku bukan barang yang bisa kamu perebutkan. Aku bebas memilih," sergahku. Sikapmu ini yang dari dulu aku nggak suka, Al. Kamu tuh selalu berambisi untuk mendapatkan sesuatu, bahkan cinta seseorang.
"Aku tahu kamu bebas milih. Kupastikan kamu salah pilih karena menyukai dia, bukan aku," tandasnya.
"Aku nggak milih siapapun. Puas!" bentakku marah.
"Nggak. Kamu harus milih aku. Aku heran, apa yang kamu lihat dari dia? Aku bisa ngasih kamu semuanya, Han. Kurang apa aku dibandingin dia?"
"Stop it! Kamu nggak berhak ngatur aku, Al. Nggak berhak sama sekali. Aku nggak pernah minta apapun dari kamu. Kalau kamu memberikan semuanya dengan pamrih, aku harus membalas perasaan kamu. Aku bakal balikin semuanya. Apa kamu menganggap aku tawanan cinta yang bisa kamu beli? Egois!" bentakku. Aku marah, ini udah pelecehan verbal. Nggak bisa dibiarkan, aku nggak terima.
"Bukan gitu maksudku, Han. Aku nggak bermaksud nyakitin hati kamu. Plis jangan nangis."
Aku memukul tangannya yang mau megang pipiku. Aku nangis.
"Han, maafin aku. Aku minta maaf."
"Pergi! Aku bilang pergi!" ucapku lirih. Aldo beranjak dari kursi, mengusap kepalaku sekali sebelum benar-benar pergi dari hadapanku.
Aku nggak tahu rasa ini untuk siapa? Kalian berdua melukaiku.
~~~~~
Pagiiii Selamat membaca semuanya
Uhukkk dua hari nggak update KLISE ya, hehee lagi sibuk banget aku tuh.
Kalau nggak sibuk, pasti update.
Love you all.
Yuke Neza
KAMU SEDANG MEMBACA
KLISE
General FictionKlise? apa sih Klise itu? adakah tolok ukur untuk memberi label klise pada kisah seseorang? Sepertinya tidak. Sama seperti dia yang ada di buku ini, selalu menghindari hal-hal yang bersifat mainstream dan Klise, baik dalam kehidupan sehari-hari, ton...