Percakapan Pertama

26 3 0
                                    

"Mau nggak?" tanya Kak Aldo.

Mau apa enggak ya? Aku jadi bingung. Kalau mau, ini kesempatanku buat kenal Kakak Ketua lebih dekat. Jadi sekretaris dia, kemana-mana ngikut dia. Siapa yang nggak mau? Pasti mau banget. Tetapi, kalau nanti aku nggak bisa ngehandle dan recover gimana? Kan, malu. Udah dipercaya, takut ngecewain, soalnya aku belum bisa apa-apa di dunia tulis menulis.

"Jadi, nggak mau nih?"

Ya ampun, Kak Aldo. Kok kesannya maksa gitu. Tahu nggak sih, aku tuh bimbang, "Nggak harus jawab sekarang kan, Kak?" jawabku cari aman.

"Oh, nggak apa-apa. Aku kasih waktu tiga hari. Soalnya, posisi itu butuh kontribusi segera. Kutunggu jawaban kamu. Chat via business contact ya? Sampai jumpa," ucap Aldo sebelum berlalu.

Aku terduduk lemas. Sedang benakku masih diambang batas, antara percaya nggak percaya.

Pandanganku nggak beralih dari Kak Aldo yang naik ke atas panggung kecil di depan sana. Aku menyimak seksama materi diskusi yang dia paparkan. Ketua komunitas penulis Wattpad,  Alfredo Julian. Banyak anggota cewek yang kagum sama dia, nggak bisa dipungkiri kalau aku salah satunya.

Acara pertemuan komunitas selesai sore hari, sekitar jam tiga atau empat. Banyak hal dibahas juga keluhan anggota yang ditampung untuk dicarikan solusi, apalagi udah pada dengar kabar soal event menulis novel. Ramailah yang ikut, ingin minta koreksi, kritik juga saran. Aku pun ingin punya buku terbit juga kayak Kakak-kakak senior yang udah kece. Punya karya dalam bentuk fisik apalagi kalau bisa tembus penerbit mayor. Wah itu pasti prestisius banget.

"Aninda?" panggil seseorang ketika aku beberes kertas di meja, laptop pun masih nyala.

Aku menoleh ke samping kanan, melihat siapa yang manggil namaku, "Iya Kak, ada apa?"

Aku nggak bisa nahan senyum pas lihat wajah Kak Aldo. Dia menarik satu kursi lalu duduk di sampingku, "Belum pulang?"

"Hehehe ngetik ini, tinggal dikit. Sekalian, biar idenya nggak kabur." Kak Aldo, jangan lihatin aku kayak gitu dong, salah tingkah akunya.

"Udah sore nih, mau balik bareng nggak?" tanya Kak Aldo. Ngobrol sama dia bikin ideku kabur tak tahu rimbanya. Aku nunduk, nggak tahu mau ngetik apa, bingung.

"Ya udah kalau kamu masih sibuk. Aku duluan ya?" ucapnya. Dia berdiri, menyilangkan tas laptop yang sebelumnya dia taruh di meja, "Sampai jumpa, Aninda."

"Iya, Kak," jawabku kikuk. Hati-hati di jalan. Pengen bilang gitu tapi suaraku nggak keluar. Aku grogi parah.

Pulangnya dari acara pertemuan, aku nggak berhenti senyum sendiri. Nggak pas jalan kaki, lalu naik angkot sampai turun dari angkot lagi. Ya ampun, siapa yang bakal nolak jadi sekretaris Kak Aldo, nggak akan ada. Misal nih ya, aku nolak tawaran jadi sekretaris, pasti anggota cewek lain rebutan posisi itu. Aku tadi minta waktu biar kesannya nggak gampangan aja sih.

Aku kasih tahu, cowok itu nggak suka cewek gampangan, yang gampang luluh digombalin, langsung bilang iya kalau ditawarin sesuatu, diajak jalan atau dibeliin barang. Cewek kayak gitu ujung-ujungnya bakal dimainin doang. Lagian ya, jadi cewek harus punya harga diri tinggi dong. Um sok tahu banget ya aku? Intinya gitu deh, jadi cewek itu jangan gampang say yes.

Tiba-tiba hapeku dering sekali, ada pesan masuk, kuintip pop up-nya. Udah kelihatan siapa yang ngirim, bibi ngingetin aku biar nggak lupa beli surabi. Padahal, aku nggak pernah lupa kalau bibi pesen apa-apa, ini aja aku udah berdiri di depan warungnya.

"Mbak, aku pesen tiga porsi dibungkus ya, kayak biasa!" teriakku sebelum duduk di kursi plastik. Mataku asik lihatin foto-foto Kak Aldo di Instagramnya. Aku mikir, enaknya bilang gimana pas nerima tawaran darinya. Kalimat yang pas, tepat juga anggun, nggak kelihatan kalau aku excited banget.

KLISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang