"Lo punya Brandy?" tanyaku pada barista yang berkelakar dengan salah satu wanita penjaja malam.
"Tumben, biasanya lo minta cider kek bencong," cercanya. Barista sialan.
"Lo nantangin gue!"
Kutarik kerah kaos karyawan Tata yang kurang ajar.
"Kalem Bos, kalem. Bisa lepas baju gue dulu nggak?" pintanya.
Aku dorong dia sebelum melepas cengkeraman tangan. Beberapa orang yang duduk di kursi bar melihatku dengan tatapan aneh, peduli setan dengan mereka.
"Ini yang lo minta." Sebotol minuman beralkohol yang kupesan terhidang di meja.
Kutenggak brandy, langsung dari botolnya. Kepalaku pening gara-gara memikirkan Hani. Gadis itu membuatku hilang akal, kacau.
Tidak perlu waktu setengah jam untuk menghabiskan sebotol kecil Brandy, yang ukurannya tidak sebanding dengan harga.
"Nih, gue mau pulang." Kusodorkan kartu kredit untuk membayar.
"Al, mau kemana sih? Temenin gue aja yuk. Gue mau sama lo malem ini," rengek Tata. Tiba- tiba dia memelukku dari belakang, masih dengan kondisi mabok berat.
"Gue mau balik Ta," tolakku sambil berusaha menjauhkan dia, yang menyandarkan berat tubuhnya di punggungku.
Ketika aku bangkit, tak kuduga badan Tata limbung. Dia terhuyung-huyung tidak seimbang.
"Ta, lo nggak apa-apakan?" pekikku cemas. Kutangkap tubuhnya yang hampir ambruk.
"Gue nggak apa-apa asal ada lo," rengeknya lagi.
Aku menopang tubuhnya lalu kutuntun keluar klub. Beberapa menit saja bertahan di keramaian, Tata akan meracau dan bikin malu. Dia punya kebiasaan buruk kalau sedang mabuk, suka marah, ngamuk, omongannya tidak difilter, ngawur.
"Ayo Ta, gue antar pulang."
Kurangkul dia kuat-kuat agar tidak roboh. Tata sadar, kalau tidak bisa mengendalikan diri saat mabuk. Tapi apa, berkali-kali diberitahu, masih saja begini. Terulang dan terulang lagi.
"Gue nggak mau pulang, bawa gue pergi, Al. Bawa gue," pintanya.
"Bokap lo bakal marah besar, Ta. Gue juga yang kena imbasnya," sanggahku.
Sudah sering terjadi, tiap Tata ada masalah, papinya menginterogasiku. Terkadang, aku tidak tahu ada masalah apa dan kenapa, tapi orang tua Tata selalu mengarahkan bidikannya padaku.
"Gue sendiri pusing, Ta," gumamku menahan nyeri.
Kepalaku berdenyut, mulai terasa pening berat, pandangan pun agak buram. Sebentar- sebentar aku mengerjap memulihkan penglihatan yang tidak fokus.
"Gue anter pakai mobil gue, mobil lo biar di sini." Kududukan Tata di kursi penumpang depan.
"Al ...!" pekik Tata sambil menahan pintu yang mau kututup.
"KAMPRET! Sialan lo Ta!"
"Sorry, gue nggak sengaja," katanya enteng.
Tata bilang tidak sengaja lalu meringis padaku, sebelum rebahan di jok penumpang dengan mata terpejam. Kalau bukan Tata, sudah kulempar ke pinggir jalan perempuan yang berani ngasih jackpot kayak gini, persetan misal cantik sekalipun. Menjijikan.
Terpaksa aku harus ganti pakaian dulu sebelum mengantar Tata pulang. Kalau aku nekat ke rumahnya dengan kemeja kotor begini. Bisa-bisa aku diborgol oleh papinya, dikira aku yang mengajak anak gadisnya minum-minum Kulirik perempuan tomboy yang suka minum-minum di sampingku. Dia tertidur pulas setelah sukses membuat kemeja yang baru kubeli menanggung dosa dari aksi mabuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KLISE
General FictionKlise? apa sih Klise itu? adakah tolok ukur untuk memberi label klise pada kisah seseorang? Sepertinya tidak. Sama seperti dia yang ada di buku ini, selalu menghindari hal-hal yang bersifat mainstream dan Klise, baik dalam kehidupan sehari-hari, ton...