Ngeselin banget si Om Sakti. Dia bikin aku lupa senyum Kak Aldo yang tadi masih kuinget jelas, sekarang udah kabur. Ah, Kak Aldo. Aku mau banget kok jadi sekretaris komunitas. Tunggu aja ya kak, nanti aku chat kalau udah nemu kata yang perfect buat say yes.
Setelah pesenanku jadi, aku buru-buru pulang. Lucunya, pas nyampe rumah, bibi sama Rini nggak ada. Kata anak kos di lantai bawah, mereka pergi kondangan. Lah, kalau mau pergi, ngapain tadi nyuruh aku beli surabi. Kutaruh aja pesenan bibi di dapur, lalu aku naik ke lantai dua. Aku capek seharian nggak tidur siang, pengen mandi terus istirahat sebentar.
"Han, kamu lagi apa?" panggil Rini setelah mengetuk pintu kamarku.
"Masuk aja Rin, nggak dikunci kok!" jawabku yang malas bangkit dari kursi.
"Nulis? Ini kamu mau surabinya nggak?" tanya Rini.
Dia masuk ke kamar lalu duduk di kursi sudut kamarku. Agak jauh dari meja kerja yang kutempati sekarang. Kamarku emang nggak cukup luas, tapi ada beberapa perabot yang bikin aku betah berlama-lama di kamar ketimbang turun ke bawah ngobrol sama anak-anak kos. Aku punya meja kerja kecil buat nulis atau sekadar iseng main sosmed. Ada sofa sudut di dekat jendela mengarah keluar. Aku bisa nikmatin langit sore yang cantik dari spot ini. Di dekat pintu ada tivi juga audio yang nggak pernah sepi kalau aku lagi di rumah. Biarpun bikin telinga anak-anak kos risi sama musik yang kudengerin, aku nggak peduli. Bibi juga udah capek ngomelin aku, aku nya nggak mau gubris. Aku abailah, yang penting di sini, aku nggak sekedar numpang. Walaupun rumah bibiku sendiri, aku juga bayar kos sama kayak penghuni lain. Satu prinsip yang kupegang, aku nggak mau merasa hutang budi sama orang lain. Lama-lama mereka juga diem sendiri, nggak lagi komplain sama kebiasaan ku nyalain audio dengan volume tinggi. Aku tuh maniak musik, nggak bisa sehari aja berhenti dengerin, sekalipun itu lagi baca atau ngetik. Learning music udah jadi habit. Aku nganggepnya kebutuhan kedua setelah nulis.
"Han? Diajak ngomong malah diem aja?"
"Iya, apa Rin?" jawabku. Aku kurang nyimak omongan Rini. Soalnya lagi baca puisi punya Om Sakti. Ternyata, tulisan dia nggak sembarangan, mengalir dan feel-nya dapet. Nggak nyangka, masih ada cowok puitis kayak gitu, kukira udah punah.
Setahuku, rata-rata cowok sekarang mah jago modus doang, kemampuan otaknya meragukan. Itu yang kesimpulan dari temen-temen cowok yang kukenal, mereka nggak akan nyambung kalau diajak ngobrol soal sastra, zonk.
"Kamu baca apa sih?" tanya Rini, dia melongok ke laptop yang kupantengin dari tadi. Kucomot sedikit surabi yang ada di tangannya, "karya siapa?"
"Om Sakti."
"Om siapa?"
"Om Sakti. Sejak kapan kamu tulalit sih Rin? Perlu dibawa ke THT tuh!" ejekku.
"Sejak aku denger ada Om-om nulis puisi di Wattpad. Fenomena apa ini?" cerca Rini.
Aku ketawa.
"Coba baca deh! Mulai dari ini nih!" pintaku. Ku-scroll layar dari awal sampai bab tiga. Rini diem aja. Dia baca sambil makan. Tiba-tiba Rini naruh piringnya di meja bulat pasangan sofa sudut, jalan ke arah meja rias lalu diangkatnya kursi rias, dia pakai untuk duduk di sebelahku.
"Apa nama akun WPnya tadi, siapa namanya? Om ... Sakti? Bener?" tanya Rini.
"Iya, kamu suka tukisan dia juga?" terkaku.
"Lah, kok juga? Emang yang lainnya siapa? Dih, hayoo ngaku. Kamu suka sama dia ya?"
"Pertanyaan yang nggak penting untuk dijawab." Aku cuekin pertanyaan Rini, kututup aplikasi lalu buka word, mending ngetik bab baru yang belum kutulis satu katapun. Gini kok mau ikut event, tulisan sendiri aja nggak kelar-kelar. Inspirasinya lagi nggak suka deket-deket sama aku. Jadi, ya gitu deh aku kena writer block, udah dua mingguan ini nggak update. Beta readers udah pada berisik banget. Aku sampai bisukan notifnya, kalau lagi mood kubales, kalau enggak ya cuma kubaca aja.
"Serius aku, Han. Itu siapa yang kamu panggil Om tapi tulisannya kece parah. Orangnya ganteng nggak, keren mana sama Kak Aldo yang sering kamu ceritain itu?"
"Plis deh, jangan dibandingin sama Kak Aldo," gumamku sembari ngetik dengan lancarnya. Kayak nggak mikir, otak kalau lagi encer ya gini, sambil ngerumpi nggak penting juga bisa dapet ide.
Thanks Rin, mulut receh kamu itu ada manfaatnya juga. Aku senyum sendiri lihat word yang kuketik makin banyak, scene tak terduga muncul diantara twist yang udah direncanakan. Aku menyeriangi kecil, kebayang komen para beta yang berisiknya ngalahin emak-emak rumpi. Mereka pasti kesel kalau ceritanya nggak sesuai sama ekspektasi. Kadang ketawa geli aku, yang nulis cerita siapa yang protes siapa, malah kadang request biar ini begini, abis ini harus begitu. Pengen rasanya kuteriakin pakai toa Masjid "Ini cerita gue, bodo amat sama lo-lo pada!"
"Jadi, gantengan Aldo? Atau lebih ganteng dari Aldo? Kalimat kamu ambigu tahu nggak sih!" bantah Rini.
Aku menegakkan punggung sembari mengembuskan napas panjang sekali, punggungku pegel lebih pegel lagi denger ocehannya Rini, "Bukan masalah siapa yang lebih ganteng, aku lihat cowok bukan dari fisiknya kok. Jangan pikir logikaku secetek itu," sanggahku.
"Iya, aku paham. Tapi kan itu juga penting meskipun bukan prioritas, syukur-syukur kalau dapet yang ganteng kayak oppa-oppa korea," sanggah Rini. Dia itu fangirl, segala macam tentang K-pop tahu semua. Udah kayak kesihir si Rini, sama budaya sendiri nggak tertarik mempelajari, tapi belajar dan pengen tahu all about south korea.
"Menurutku lumayan lah, aku baru kenal juga. Jadi, nggak bisa nilai banyak-banyak. Belum tahu juga karakter dia kayak apa."
Jariku berhenti ngetik, ini kenapa aku jadi inget sama dia ya? Aneh banget. Lupakan-lupakan. Ayo fokus nulis lagi, mumpung ada ide.
"Aku mau mandi ah, udah sore banget," kata Rini sebelum berlari keluar kamar.
Dasar bocah, ini kursi nggak dikembaliin ke tempat semula, piring juga ditinggal gitu aja.
Tiba-tiba ada satu notif nongol di pojok laptop yang mencuri perhatianku. Dua pesan dari messenger. Aku mengernyit, tumben ada pesan di sana. Sebab aku jarang banget atau hampir nggak pernah kirim chat lewat aplikasi itu. Cepet-cepet kutekan open karena penasaran,
Mikhael Saktiawan
"Haii ...."
"Kamu lagi apa?"
Aku nahan napas pas baca nama akun Facebook yang mengirim pesan. Demi apa? Itu Om Sakti. Aku mesti jawab apa ini? Rasanya aneh, mau bales gimana coba. Udah terlanjur kubaca dan kelihatan online lagi. Bales apa enggak ya? Bales enggak bales enggak.
"Aninda?"
Aduh, dia ngirim pesan lagi gegara aku nggak bales-bales. Mending kubales aja deh, daripada dikira sombong, anggep aja udah kenal.
Kuketik balasan,
"Haii OM."*emo meringis
Dia typing
"Boleh ngobrol?"
Pengen kubalas, bukannya ini udah ngobrol? Kesannya jahat nggak sih?
~~~~
Yang nulis lagi nggak pengen buat author note, cuma selamat membaca aja hihiiiii
Enjoy your weekend.
salam
Yuke Neza
KAMU SEDANG MEMBACA
KLISE
General FictionKlise? apa sih Klise itu? adakah tolok ukur untuk memberi label klise pada kisah seseorang? Sepertinya tidak. Sama seperti dia yang ada di buku ini, selalu menghindari hal-hal yang bersifat mainstream dan Klise, baik dalam kehidupan sehari-hari, ton...