Sakti malah ketawa lebar setelah nakutin aku, ngeselin. Nggak tahu apa kalau aku dag dig dug mau ketemu maminya. Dia malah rese kayak bibi sama Rini. Pada jahat ih.
"Honey, jangan cemberut gitu. Aku becanda kok, senyumnya mana, Sayangku," rayu Sakti.
"Iya, aku tahu. Hmm." Aku narik bibir, maksa senyum untuk diri sendiri. Perhatian Sakti masih tertuju ke jalan raya. Aku berkali-kali ngatur napas yang nggak teratur. Sampai akhirnya, mobil Sakti berhenti di depan hotel berbintang yang cukup ternama, daerah Jakarta pusat.
"Udah nyampe, ayo turun," ajak Sakti. Aku turun tanpa menunggu Sakti bukain pintu. Dia menghampiriku lalu kutautkan lagi lenganku dengannya. Kami pun masuk ke dalam ballroom hotel, tempat diadakannya acara pertunangan.
Langkah kakiku makin tak seimbang, aku gugup banget. Ketika sampai di dalam ruangan, mataku dibuat takjub dengan dekorasinya cantik dan elegan banget. Ballroom hotel di sulap bak negeri impian. Aku nggak tahu tema apa yang dipakai, yang pasti kesan romantisnya sangat terasa. Kulihat di berbagai sudut ada bunga-bunga mawar warna pink pucat, background, meja kursi juga panggung kecil di bagian tengah dengan warna peach yang senada. Momen romantis diperkuat dengan alunan musik klasik yang mengalun.
"Hon, itu Mami," tunjuk Sakti pada wanita paruh baya yang berbincang dengan beberapa orang di sisi kanan gazebo tengah ruangan. "Ayo, kok malah berhenti?"
"Aku grogi, Sak," jawabku jujur. Kalau sekarang boleh interupsi, aku pengen balik pulang aja.
"Honey nggak apa-apa kok, kan ada aku. Mami nggak akan nanya aneh-aneh, percaya deh. Udah ayo," bujuk Sakti. Dia melepas tautan lengan kami, tangan kanannya beralih menyentuh pinggangku, lalu mendorong pelan agar aku mengikuti langkah kakinya.
Ini namanya pemaksaan, Sak. Aku tersenyum kikuk membalas tatapan Mami Sakti yang menyadari kedatangan kami.
"Malam yang indah, Mi." Sakti memeluk, mencium pipi kanan Maminya. "Kenalin, Mi. Ini Aninda biasa dipanggil, Hani. Han, ini Mamiku," terang Sakti.
Aku mengulurkan tangan pada beliau sebelum berkata, "Saya Hani, Tante." Beliau membalas jabat tanganku sembari tersenyum.
"Sakti beberapa kali cerita tentangmu. Akhirnya saya bisa ketemu langsung dengan yang namanya, Hani," ujar Maminya Sakti.
Kuharap Sakti nggak nyeritain yang aneh-aneh sama tante.
"Iyakah Tante?" tanyaku ragu. Ya ampun aku salah tingkah. Aku harus gimana buat ngilangin canggung ini.
"Mana mungkin tante bohong, dia bilang kamu itu--"
"Come on Mi, jangan ngarang cerita. Aku nggak pernah cerita apa-apa sama Mami, jangan percaya, Han. Mami bohong." Sakti memotong kalimat maminya.
"Kamu pikir, mami ini tukang bohong, anak durhaka kamu ya!" Aku nahan tawa saat lengan Sakti dipukul pelan sama maminya.
"Sakti juga pernah bercerita tentang Tante," sahutku mengalihkan obrolan.
"Oh ya, dia bilang apa sama kamu. Tante dibilang cerewet sama dia ya?" terka Mami Sakti.
"Tidak kok, Tante. Sakti bilang masakan Maminya enak. Sampai ada beberapa menu favorit yang katanya nggak enak kalau bukan masakan Tante," terangku. Aku terkekeh melihat raut muka Sakti pun tatapan matanya yang lucu, semacam kode jangan diceritain, elah.
"Oh ya? dia nggak pernah bilang kalau masakan tante enak. Kalau ditanya enak apa tidak, pasti jawabnya he em, sambil asik makan. Mana pernah Sakti muji masakan Tante," sanggah beliau sebelum memicingkan mata ke Sakti yang garuk-garuk kepala sambil ngelihat ke arah tamu yang mulai ramai. Dia pura-pura nggak nyimak obrolan kami. "Sak, apa susahnya sih bilang masakan mami enak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KLISE
General FictionKlise? apa sih Klise itu? adakah tolok ukur untuk memberi label klise pada kisah seseorang? Sepertinya tidak. Sama seperti dia yang ada di buku ini, selalu menghindari hal-hal yang bersifat mainstream dan Klise, baik dalam kehidupan sehari-hari, ton...