"Han, boleh bibi masuk?" panggil bibi sambil mengetuk pintu kamarku. Ritmenya makin kenceng, sebab aku nggak segera buka pintu.
Ya ampun Bi, do'aku jadi nggak khusyuk. Padahal, sekarang aku lagi butuh petunjuk dan pencerahan.
"Han, kamu oke kan? Hani, jawab atau buka pintunya dong!" teriak Rini nggak sabaran, persis kayak Mamanya. Terpaksa kusudahi waktu bermanja-manja dan curhat sama Allah. Aku bangkit lalu membuka pintu kamar tanpa melepas mukena yang kupakai.
"Kamu baru Magrib?" cecar Rini. Aku diam, cuma ngangguk sebagai jawaban. Kutinggalin mereka yang masih berdiri di depan kamarku dengan pikirannya masing-masing.
"Han, kamu nggak apa-apa kan? Kamu sakit atau nggak enak badan?" tapi bibi. Beliau mendekatiku yang lagi ngerapihin tempat sholat, lalu menyentuh dahi juga leherku.
"Aku nggak apa-apa, Bi," jawabku.
"Kenapa kamu diem gitu, bibi jadi khawatir," kata bibi kemudian.
"Entahlah." Mendadak aku ragu. Keraguan ini menakutkan, seakan berbisik lalu menertawakan aku yang ingin tetap memperjuangkan.
"Han, kamu nggak siap atau nggak yakin sama Sakti?" cecar Rini yang tiba-tiba meluk aku dari belakang.
Air mataku jatuh dengan mudahnya, nangis. Aku nggak punya jawaban untuk pertanyaan itu, Rin. Aku pun mempertanyakan pada hati dan pikiranku, tapi nggak ada yang pasti. Ambigu.
"Han, kamu bener-bener bikin bibi khawatir, cerita ada apa?" pinta bibi seraya menggenggam telapak tanganku. Beliau udah kayak Ibu kedua untukku. Apalagi di Jakarta, aku tidak punya siapa-siapa selain bibi dan Rini.
Aku senyum padanya sembari ngelapas tangan Rini yang meluk aku, "Ada yang bisa bantuin aku make up? Kalian tahu kan, aku nggak bisa apa-apa," kelakarku garing. Kuusap air mataku, kuulas senyum pada mereka berdua. Aku nggak mau nambah beban pikiran banyak orang.
Aku membuka lemari tempat kotak hadiah dari Sakti waktu itu, masih terbungkus rapi. Empat hari lalu kado itu kuterima, tapi belum kuintip apa isinya. Sampai aku dipaksa pakai sebelum tahu apa barangnya. Aku, bibi dan Rini duduk melingkar di karpet, ekspresi wajah mereka lebih antusias daripada aku.
"Ya ampun," pekik Rini sembari menutup mulut saat kotaknya kubuka, "ini bagus banget, Han. Kalau kamu nggak mau, biar aku yang pakai," candanya cengengesan.
"Rin, jangan malu-maluin. Mulut kamu itu ada remnya nggak sih?" gertak bibi sambil noyor kepala anaknya.
Kukeluarkan dua gaun yang dibeliin Sakti, harus kuakui kalau seleranya nggak buruk. Satu gaun malam warna hitam dengan potongan lengan gantung minimalis, sedikit terbuka di bagian bahu kalau dikenakan, panjangnya kira-kira selutut, ada lipatan pemanis di satu sisi bagian pinggang ke bawah.
"Rin, taruh nggak! Mau kulempar pakai remot tivi," ancam bibi.
Rini asik senyam-senyum nggak jelas di depan kaca, sambil nempelin gaun yang dia rebut dariku ke badannya.
"Megang doang ini, Ma. Hani aja nggak marah kok. Iya kan, Han?" kilah Rini.
"Bagus yang mana, Bi?" tanyaku minta pendapat. Kusodorkan pilihan yang lain pada bibi, gamis syar'i warna biru denim bermotif daun dan bunga kecil, lengkap dengan hijab polos beraksen renda di bagian pinggir, warnanya pun senada. Nggak cuma itu, di dalam kotak juga ada clutch bag, gelang dan sepasang anting yang serasi,
"Kamu sendiri mau pakai yang mana? Pilih yang kamu suka saja," usul bibi.
Aku suka semua, tapi harus pilih salah satu, berhijab atau tidak.
"Bi, kenapa banyak banget gini," keluhku sembari berkerut kening.
"Lah, mana bibi tahu Han, protesnya sama Sakti. Bukan Bibi," sanggah Bibi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KLISE
General FictionKlise? apa sih Klise itu? adakah tolok ukur untuk memberi label klise pada kisah seseorang? Sepertinya tidak. Sama seperti dia yang ada di buku ini, selalu menghindari hal-hal yang bersifat mainstream dan Klise, baik dalam kehidupan sehari-hari, ton...