Prologue

1.4K 180 26
                                    

Teriknya sinar matahari menjelang siang yang begitu menyengat kulit, tidak menghalangi semangat seorang pemuda yang sejak pagi sudah hilir-mudik di salah satu pasar induk tradisional di daerah ibu kota.

Tubuhnya kokoh, sigap membopong karung demi karung yang diturunkan dari truk besar untuk didistribusikan pada penjual-penjual yang telah memesan isi karung-karung itu untuk diperdagangkan kembali di pasar induk tersebut.

"Jaka! Beberapa menit lagi ada truk sama mobil pick up yang bakal dateng, bawa beras dan kembang kol. Punggung lo masih kuat nggak?"

Yang dipanggil menoleh sejenak, menumpu beban karung yang berisi cabai merah itu pada punggungnya. "Masih bang!" Serunya dengan semangat penuh. Kemudian ia kembali berjalan mengantarkan karung tersebut pada salah satu penjual yang sedang menata-nata sayurannya agar menarik pembeli datang.

"Ini karung terakhir milik ibu, kan?" Tanya pemuda itu sopan sembari meletakkan karung tersebut pada lantai kotor yang telah dialasi beberapa kardus bekas.

"Iya nak Jeka, terimakasih ya. Ini ada sedikit buat kamu," Jawab ibu penjual seraya menyodorkan beberapa uang pada pemuda itu. Tapi si pemuda malah menggoyangkan kedua tangannya sambil berujar tegas. "Tidak perlu repot-repot bu, Jeirka sudah mendapat bayaran dari mandor untuk jasa pengangkutan ini."

"Eh tidak apa-apa nak, terima saja. Lumayan kan buat nambah uang jajan sekolah kamu."

Tapi pemuda itu tetap dengan pendiriannya, ia tersenyum canggung sembari berucap buru-buru, "Jeirka keluar lagi ya bu, sebentar lagi ada truk sama pick-up yang dateng." Lalu segera berbalik dan berlari pergi sebelum si penjual kembali memanggilnya.

"Heh Jakanda, dicariin dari tadi juga, Sini!"

Kedatangannya di area luar pasar induk langsung disambut oleh seorang pemuda yang kira-kira seumuran dengannya. Jakaーatau Jekaーatau Jakanda itu menoleh datar lalu berdecak pelan. "Lama-lama gue ngoleksi nama juga dah." Keluhnya seketika dengan banyaknya nama yang diberikan untuknya. Kemudian ia memicing dengan raut yang dikesal-kesalkan, "Nama gue Je-ir-kan-da, kalau kepanjangan lo bisa manggil gue Jeirka aja, Aming!" Serunya keras-keras dengan mengeja setiap penggalan kata dari namanya. Lalu sedetik kemudian ia kembali menguasai raut wajahnya dengan cepat. "Kenapa nyariin gue?"

Amingーbegitu Jeirka memanggilnya ikut bersungut kesal, "Nama gue juga bukan Aming, nyet," balasnya tidak terima. Tapi kemudian ia dengan cepat menyudahi percakapan kekanakan mereka. "Itu coba lo lihat dipojokan, ada cewek kayak seumuran kita. Nangis daritadi kejer banget, Jir. Kayak bocah aja." Beritahunya sambil menunjuk-nunjuk seorang perempuan bertubuh mungil yang terduduk dekat keranjang sayur dengan posisi menangkupkan kepala pada kedua lututnya yang diangkat. Bahunya bergetar, suara tangisnya pun terdengar cukup nyaring dan membuat beberapa pengunjung pasar meliriknya dengan pandangan terganggu.

"Nggak lo samperin?" Tanya Jeirka, sambil melirik Aming yang memberikan tatapan aneh padanya.

"Ya ngapain juga?" Jawab pemuda itu dengan pertanyaan lain. "Kalau itu modus gimana? Lo tahu nggak sih kalau modus penipuan sekarang udah banyak banget. Dan yang kayak gitu tuh patut diwaspadai."

Jeirka kembali memusatkan fokusnya pada gadis yang masih bertahan dengan posisinya itu. "Tapi pakaiannya bagus Ming, bukan gembel. Kalau dia beneran butuh pertolongan gimana?" Tanyanya gamang.

"Ya justru itu Jeir, jaman sekarang jadi gembel udah nggak bisa narik simpati lagi. Makanya mereka berlagak seperti anak hilang yang membutuhkan pertolongan. Modus penipuan begitu lagi marak banget akhir-akhir ini. Temen gue aja dua hari lalu sempet kena."

Tapi Jeirka tidak juga setuju dengan pendapat sepihak itu. Kedua manik gelapnya hanya difokuskan pada perempuan itu. "Ming, kasihan tahu Ming, kelihatannya dia bener butuh pertolongan dan bukan penipu."

A Golden Ticket For Golden BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang