Chapter 2: Rasa Penasaran Yerresha

565 162 32
                                    

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi nyaring, namun ketika sang ketua kelas memimpin salam dan guru Matematika itu keluar, Jeirka juga dengan cepat segera melesat pergi, disusul Yerresha yang memang sudah menargetkan untuk berbicara dengan pemuda itu sepulang sekolah.

Yerresha menyempatkan diri untuk pamit pada Syahila dan June, sebelum setengah berlari untuk menyamai langkah Jeirka yang hampir sampai pada parkiran sekolah. "Ka........Jeirka." Nafasnya sudah berada diujung kerongkongannya, tersenggal sepenuhnya kala telapak tangannya berhasil meraih lengan dari si pemuda. Lalu ia buru-buru mengatur pernafasannya yang masih berderu cepat disaat si pemuda berbalik dan memberi tatapan tanya.

"Kerkel........ Kapan?" Tanya si perempuan terbata dengan masih mengatur deru nafasnya yang tidak beraturan. Jeirka yang mendengar pertanyaan dari gadis yang menghampirinya ini sedikit memicing heran. "Nanti gue kerjain tugasnya." Balas sang pemuda apa adanya.

Tapi Yerresha malah jadi mengernyit bingung. "Tugas kerkel bukan tugas individu lo sendiri. Kerjain barenglah!" Sahutnya begitu saja, tanpa sadar sedikit menaikan intonasi bicaranya.

Jeirka semakin heran mendengarnya. Tumben? Batinnya bertanya-tanya.

Karena biasanya, kalau masalah kerkel-kerkel begini, anak-anak kaya itu pasti selalu menghampirinya hanya untuk menegaskan secara terang-terangan; kalau mereka akan absen dalam mengerjakan dan secara langsung menyuruh Jeirka untuk mengerjakan tugas tersebut sendirian. Namun dengan tidak tahu dirinya, tetap meminta Jeirka untuk mencantumkan nama mereka dalam anggota kelompoknya.

Pemuda itu menatap balik si perempuan yang masih memberikannya atensi penuh. "Err, lo ngajakin gue kerkel?" Tanyanya memastikan.

Dan anggukan Yerresha yang langsung tertampil sebagai jawaban atas pertanyaannya, malah membuat sebelah alis Jeirka terangkat naik.

"Oke. Kita bicarain besok aja ya. Sekarang gue lagi buru-buru." Tangkis pemuda itu sepihak. Lalu tanpa perlu menunggu respon dari perempuan yang juga ditolongnya saat weekend lalu, Jeirka kembali melesat cepat, menaiki motornya dan berlalu menuju gerbang sekolah.

"Heh tunggu! Gue belum selesai ngomong!" Seru Yerresha tidak terima sembari menatap kesal pada sosok pemuda itu. Kekesalannya sukses memancing tangannya untuk bergerak refleks membuka aplikasi kendaraan online dan memesan grab now seraya melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah. Beberapa detik berikutnya drivernya datang. Tanpa menunggu lebih lama, Yerresha naik lalu memerintahkan driver tersebut untuk mengekori motor Jeirka dari belakang.

Sialnya, ketika berada pada ujung jalan, sebuah kemacetan panjang terpampang nyata di depan matanya. Membuat Yerresha praktis mengumpat kesal. "Sialan. Macet sialan."

"Mbak, sepertinya macetnya cukup parah." Sahut sang driver, seakan Yerresha tidak bisa melihat sendiri tumpukan kendaran yang berbaris panjang di depan kendaraan yang ditumpanginya itu.

Decakan sebal semakin terdengar jelas, keluar dari bibir Yerresha disaat manik gelapnya melihat motor Jeirka semakin melaju jauh, bergerak gesit, dan hanya dalam hitungan detik saja, sudah menghilang dibalik kemacetan.

Ya Yeresha juga yang salah sih. Sudah tahu Jakarta identik dengan sebuah kata macet di setiap sudut jalan. Jelas saja ia akan dengan cepat kehilangan jejak pemuda yang hendak diikutinya, karena dengan pintarnya, perempuan itu malah mengekori sosok Jeirka dari belakang menggunakan mobil.




***

A Golden Ticket For Golden BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang