Bunyi gesekan sepatu yang bergema kecil dengan ubin keramik benar-benar terkalahkan oleh bisingnya percakapan murid perempuan yang memenuhi koridor sekolah. Mereka saling bergosip ria dengan kegiatan yang begitu menganggu, karena seringkali pekikan kencang tidak bisa dihindarkan sambil menunjukkan sesuatu di ponselnya masing-masing dengan gestur yang sangat dilebih-lebihkan.
Kondisi seperti itu merupakan pemandangan yang selalu Jeirka lihat setiap pagi, disaat kakinya hendak melangkah masuk menuju kelas yang letaknya berada paling ujung, dekat ruang guru.
Kelas unggulan yang berisi murid-murid terpilih.
Dengan gesit Jeirka menyalip beberapa orang di depannya. Sesekali mencuri dengar mengenai gosip yang diutarakan oleh para murid tersebut, yang herannya setiap pagi selalu saja memiliki topik yang berbeda. Entah apapun itu, segala hal bisa dijadikan sebagai bahan gosip bagi para perempuan yang gemar sekali memperbincangkan orang lain seperti mereka.
"Gue denger hari ini ada anak baru."
"Katanya anak Gubernur DKI!"
"Serius?! Anak Pak Gubernur yang seumuran sama kita bukannya tinggal putri terakhirnya ya?"
Jeirka menggidik tidak perduli pada topik yang dibicarakan. Kakinya terus melangkah, siap memasuki kelas sebelum seseorang tiba-tiba saja merangkulnya.
"Jeirkaa my lovee, lo udah bikin PR dari Pak Agus kan?"
Yang ditanya menengok, berdecak jelas lalu menjatuhkan tangan itu pada bahunya. "Gue masih normal ya." Desisnya tidak terima. Kemudian ia kembali mengendalikan raut wajahnya. "Biarin gue duduk dulu napa June." Keluhnya kesal sembari melangkah masuk, duduk dan meletakkan ransel pada mejanya.
Tangannya lalu membuka zipper ransel, mengambil salah satu buku tulis yang dengan cepat diterima langsung oleh pemuda tinggi di sampingnya itu. Pemuda yang sempat menahannya tadi di pintu kelas.
"Bukannya hari minggu jadwal lo Les Kimia ya? Kok bisa belum ngerjain?" Tanya Jeirka disela-sela memperhatikan pemuda disampingnya itu menyalin isi PR-nya.
"Mabal gue. Kabur sama pacar." Jawab acuh June sembari tetap fokus pada kegiatan menyalinnya.
"Gila." Umpat Jeirka seketika. Pemuda itu heran, sudah bagus si June ini punya kesempatan untuk mengikuti Les. Dengan segala fasilitas yang serba ada. Guru yang terkenal, terpercaya, dan juga tergolong guru elit dengan harga fantastis yang pastinya dibayarkan dengan mudah oleh kedua orangtua si pemuda. Tapi semua itu, malah dibuang percuma begitu saja oleh teman sebangkunya itu.
Terkadang Jeirka mengirikan suatu hal seperti ini. Dia, yang setiap hari harus bekerja paruh waktu untuk menyambung hidup saja tetap memikirkan pendidikan diatas segala-galanya, menyempatkan diri untuk belajar dan mengerjakan tugas di sela-sela kerjanya bahkan di sela-sela tidurnya.
Tapi June dan beberapa anak orang kaya yang menjadi teman sekelasnya itu, malah menyia-nyiakan fasilitas pendidikan tersebut. Mereka punya banyak waktu luang yang menurut Jeirka malah digunakan dengan hal-hal yang tak berguna, seperti bermain dan terus bermain. Hingga melupakan kewajiban mereka sebagai seorang pelajar.
Bukannya mengeluh, karena Jeirka sudah begitu muak dengan keluhannya yang selalu berakhir sia-sia. Tapi Jeirka juga tetap pemuda berumur 17 tahun yang terkadang gemar mengandai-andaikan diri untuk bisa berada pada posisi mereka, posisi anak-anak kaya itu.
"Jeirka udah dateng belom?" Teriak seseorang dari daun pintu.
Sesaat setelah kedua maniknya mengenali Jeirka terduduk di kursinya, orang itu langsung memekik gembira disertai dengan kakinya yang melangkah gesit menghampiri meja pemuda yang dicarinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Golden Ticket For Golden Boy
FanfictionKalau kalian berpikir kehidupan yang begitu kompleks ini hanya diisi oleh orang-orang yang; berkecukupan, kaya, punya segudang talenta dan sempurna; bisa jadi pikiran kalian telah terditraksi oleh beberapa perspektif yang membuat organ otak hanya me...