03. Austin dan Javier

18 14 10
                                    

Barang-barang mahal milik Austin sudah diambil oleh pamannya sendiri. Austin hanya bisa termenung melihat barangnya menjadi milik pamannya. Tidak ada yang harus dia lakukan.

"Gue bakal jual nih barang ya. Ngerti nggak sih, hidup kita melarat bos!" Pamannya, Andrew mengatakan hal sekasar itu kepada keponakannya sendiri.

"Itu barang pemberian dari kakak lo sendiri, ayah gue. Dan lo tega jual itu semua?" Austin membuka mulut.

"Gue gak peduli! Gue butuh uang, lo mau mati?" Andrew menatap dengan penuh kebencian ke Austin. Cowok berumur 16 tahun itu hanya bisa diam tanpa melawan. Dia hanya menumpang di rumah pamannya, semua biaya makanan dan sekolah, Andrew yang menanggung. Dirinya merasa tidak enak jika melawan pamannya itu.

"Terserah lo. Gue mau ke kamar," kata Austin.

Austin membuka pintu dan masuk ke dalam kamarnya yang bisa dibilang cukup nyaman walaupun sederhana. Kamar yang menyimpan banyak rahasia di dalamnya. Ada satu buku harian yang berisi tentang kehidupan dan curahan hati Austin. Dirinya cukup tersiksa apabila sudah ada di rumah. Andrew tak kenal lelah untuk menyuruh Austin melakukan sesuatu. Oleh karenanya, Austin meluapkan seluruh emosi dan jiwanya di sekolah.

Ting!

Dentingan ponsel milik Austin membuyarkan lamunannya. Dia mengecek ponselnya, ada sebuah pesan masuk.

'Cepat lakukan, atau semua akan terlambat'

Entah apa makna tersirat dari pesan itu, yang jelas tubuh Austin langsung membeku dan merinding.

—✨—

Pagi-pagi sekali, Austin sudah ada di sekolah. Dia ingin menguak maksud pesan kemarin. Sudah 5 kali dia mendapat SMS seperti itu. 2 minggu yang lalu, sang pengirim pesan memberitahu bahwa 'jawaban' atas pesan itu ada di sekolah.

Hal ini membuat Austin merasa kepo dan takut juga. Pasalnya, ia tidak mengerti siapa yang mengirim pesan itu, dan dia juga tidak tahu apa maksud dari pesan itu. Tapi, feeling Austin mengatakan bahwa pengirim pesan itu memiliki niat yang baik. Untuk meluruskan ke jalan yang benar.

"Aduh!" Tanpa sadar, Austin menabrak seseorang. Raut wajahnya yang semula merasa bersalah langsung berubah menjadi sinis saat mengetahui yang ditabrak adalah Luna.

"Lo lagi lo lagi! Bisa nggak sih jangan ganggu gue?" Austin menunjuk ke muka Luna.

"Gue gak ganggu lo! Gue mau ngerjain PR. Minggir!" Luna menyenggol lengan Austin dan kemudian berlalu begitu saja.

"Dih cantik cantik males," gumam Austin sambil mendecak.

Austin melanjutkan perjalanannya menuju ke kelas. Setelah meletakkan tas di dalam kelas, barulah ia akan mencari jawaban atas pertanyaan dari pesan itu. Tapi, dirinya masih belum tau akan mencari di bagian mana.

"Gue harus cari kemana?" gumam Austin setelah meletakkan tas. Sungguh, pengirim pesan tidak memberitahu secara rinci tentang jawaban atas pesan itu. Dia hanya mengatakan di sekolah, tetapi detail tempatnya? Austin tidak tahu. Lalu bagaimana ia akan mencari petunjuk?

Ting!

Sebuah pesan masuk. Austin membacanya.

'Daerah tersembunyi di SMA Alaska' begitu katanya. Austin mengernyit kebingungan. Dahinya membentuk kerutan layaknya lansia.

"Daerah tersembunyi? Dimana coba," gumam Austin semakin penasaran. Tiba-tiba, dia teringat tentang sebuah ruangan misterius, yang selalu dikunci oleh sekolah. Di dekat UKS. Ruangannya hampir tidak kelihatan, karena di cat dengan warna yang sama seperti tembok. Austin tahu ruangan itu karena dia dulu pernah jatuh menabrak pintu itu dan akhirnya dia tahu bahwa itu adalah sebuah ruangan.

Hidup Austin tidak seindah yang kalian kira. Disaat mereka bersenang-senang, cowok itu harus menerima umpatan dan kekasaran Andrew. Disaat mereka mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya, Austin sudah tidak punya orang tua.

Kasihan.

Memang, hidup tidak selalu sempurna. Selalu ada masalah dan cobaan. Tapi, hendaknya kita selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki dan hadapi. Dan, kita juga harus sabar. Sabar adalah kunci utama kesuksesan dalam hidup.

Austin kadang merasa kasihan dan miris terhadap hidupnya sendiri. Sudah tidak ada orang tua, hidupnya menumpang dengan pamannya, selalu disiksa, dan kondisi ekonominya memburuk. Satu-satunya penyemangat Austin adalah sekolah. Disana dia bisa
mendapat teman yang banyak, dan disana juga dia bisa melupakan semua masalah-masalah yang ada di rumah.

"Lo ngapain?" Austin yang hendak membuka pintu ruangan itu tiba-tiba bertemu dengan Javier yang ada di sana juga.

"Gue mau masuk," jawab Javier dingin.

"Emang bisa? Ini kan, dikunci," kata Austin.

Javier dan Austin dulu pernah satu kelas saat mereka kelas 10. Mereka tidak begitu akrab saat kelas 10. Dan, Javier di pindahkan ke kelas unggulan pada waktu itu karena nilai raportnya diatas rata-rata. Melampaui batas. Setelah itu, mereka sudah tidak pernah berbicara dan bertegur sapa. Dan, setelah sekian lama tidak berbicara, akhirnya mereka membuka suara.

"Emang iya? Gue nggak tau," kata Javier sambil mencoba membuka pintu tersebut.

"Apa tujuan lo masuk ke dalam sini?" Austin menahan tangan Javier agar tidak membuka pintu itu. Javier menatap Austin tajam.

"Lepasin gue." Suara Javier mendadak lebih kalem, tapi terdengar menyeramkan. Dan Austin tidak sadar akan perubahan suara Javier.

"Gue mau tanya dulu," kata Austin.

"Lo sendiri, kenapa?" tanya Javier balik. Austin tidak bisa menjawab pertanyaan Javier. Tenggorokannya tercekat dan dia kemudian melepas tangan Javier sambil mengalihkan pandangannya.

"Gue-" Ingin rasanya Austin mengatakan semua ini ke Javier, tapi Javier bukan orang yang tepat untuk dia ceritakan. Karena mereka berdua tidak akrab dan dekat.

"Dapet pesan aneh?" Austin terkejut. Apakah Javier bisa telepati? Austin jadi takut.

"Kok lo tau?" tanya Austin bingung.

"Karena gue juga dapet," kata Javier.

"Sumpah?" Austin terkejut. Javier mengangguk.

"Gue nggak tahu apa artinya, tapi kayaknya, ini menyangkut bokap gue," kata Javier.

"Bokap lo? Kok gue juga harus ikut campur sih?" Austin semakin dibuat bingung dengan hal ini. Javier mengedikkan bahu tanda tidak tahu.

"Gue nggak tahu. Tapi, lebih baik lo kerjain aja misi lo itu. Sebelum terlambat," kata Javier.

"Bentar deh, Jav. Gimana mau ngerjain misi kalau pintunya masih ke kunci? Please deh bang." Austin mendengus kesal.

"Usaha lah mas. Setiap masalah punya jalan keluarnya masing-masing," jawab Javier.

"Asalkan kita berusaha," lanjutnya. Austin menghela nafas pelan.

"Terus? Mau lo apain?" Austin bertanya ke Javier.

"Dobrak aja. Nggak ada cara lain kan?" jawab Javier. Austin mengangguk paham.

Bel masuk berbunyi. Mereka berdua baru saja ingin mendobrak pintunya, tapi sepertinya dewi fortuna tidak memihak kepada mereka.

Kriing...kringg

"Shit" umpat Austin kesal.

to be continued...

maaf banget ini dikit soalnya emang sengaja aku bikin segini, karena emang rencananya aku mau bikin segini aja biar readers aku nggak kebingungan nantinya. btw ada yang bisa nebak hubungan antara Austin dan Javier?🧞‍♂️

wkwkkw udah deh segini aja. sampai bertemu di part selanjutnya dan jangan lupa tinggalkan vote dan comment🌚🌚

salam,
maelkshake👯‍♀️

RevealedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang