Heja: Senyum Pembawa Pesan

104 18 4
                                    

Bandung.
22 Maret 2019

Aku tiba bersama semesta...

Matahari pagi ini sungguh sangat bersahabat. Sinar hangatnya serasa sedang merangkulku saat aku sendiri berdiam diatas batu atau lebih tepatnya basecamp bagiku. Aku hampir tiap minggu mendatangi batu ini, batu yang berada dilereng sebuah gunung yang cukup sulit untuk mencampai puncaknya. Dengan latar pedesaan yang tertata, sungai yang jernih mengalir deras bagaikan harmoni dengan sunyinya hutan yang lebat disini.

Aku sangat bahagia berdiam diri lama-lama ditempat ini, bernyanyi bersama mengikuti cuitan burung yang tebang bebas sesuka hati, bersenandung dengan semilir angin yang membuat diriku nyaman seperti berada dirumah. Banyak orang lain yang bertanya "untuk apa kamu cape-cape baik gunung terus ?" aku tidak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan itu, aku hanya membalasnya dengan senyuman tulus tanpa banyak meladeni pertanyaan mereka. Sempat beberapa waktu aku ingin menjawab pertanyaan itu, "karna gunung, alam yang hijau damai itu adalah rumah bagi ku. Tempat ku berkeluh kesah tentang permasalahan-permasalahan dalam hidupku pada alam yang ikhlas mendengarkan tanpa harap berbalik keluk kesah kadaku" namun ku urungkan kembali niatan itu dan aku kembali menjawab dengan senyuman yang manis semampuku.

Ini pagi yang ke 100 atau mungkin lebih aku melewati jalan setapak dilereng gunung ini. Selalu ada yang berbeda setiap kali aku ada disini, cerita-cerita baru. Seperti waktu beberapa minggu yang lalu saat aku mendaki gunung pagi hari, dipinggir jalan setapak yang terdapat tanah seluas tiga kali tiga meter aku berjumpa dengan seorang kakek yang sedang duduk sembari meminum sesuatu dihutan bambu disalah satu lereng gunung.

"sedang apa Ki ?" tanyaku

"eh nak, aki sedang istirahan.. habis mencari rebung" jawab si kakek "sini, kamu mau minun dan bersistirahan dulu ?"

"boleh deh ki, lumbayan cape juga jalan dari bawah, fyuhh" jawabku

Aku disuguhi air panas dengan beberapa helai daun yang aku kenali, itu daun pinus. Aga aneh rasanya melihat teh (bila bisa disebut demikian) yang terbuat dari daun pinus. Melihat aku bengong memperhatikan cairan dengan daun pinus itu, si kakek tertawa dengan kelakuan aku yang seperti anak kecil.

"ini memang daun pinus nak, aki mengambilnya saat dihutan pinus diatas. Kamu tau tidak kenapa harus daun pinus ?" Tanya kakek itu

"memangnya kenapa ?" jawabku

"aroma daun pinus yang diseduh dengan air panas itu dapat menenangkan perasaan. Walaupun rasanya aga sedikit pahit, tapi dari pahit itu mengajarkan kita untuk terus mengingat akan pahitnya kehidupan. Dari itu kita diajarkan ajar tidak berprilaku sombong dan berprilaku tidak menyenangkan terhadap orang lain" jelas kakek itu sembari menyeruput air seduhan daun pinus. "kamu harus belajar dari pohon pinus nak, pucuk daunnya yang bagi sebagian orang merugikan dapat dijadikan sebagai obat sakit perut, mag dan rematik oleh sebagian orang lainnya. Juga getahnya pula dia bisa menerangi jalan kita. Batangnya yang kokoh tinggi menjulang, dapat dijadikan pondasi bangunan untuk kita. Namun dia tetap tidak sombong dengan itu dan tidak pula mengharap imbalan. Dari alam dunia berasal, dan oleh alam juga semuanya dapat berakhir. Namun itu semua bukan kemauan alam sendiri, tapi oleh karena prilaku manusia yang sudah tidak menghiraukan kerusakan" Lanjutnya penuh penjelasan.

"hmm.. kalo boleh saya tau, dari mana aki tau manfaat itu semua ?" tanggapku bertanya. Kakek tersebut hanya tersenyum "sudah menyicipi tehnya ?"

Saking keasikan aku mendengarkan kakek itu berbicara, aku sampai lupa mencicipi teh ku ini (lagi - lagi). Saat aku mendekatkan cangkir dari batok kelapa yang berisi air teh itu, seketika aku merasakan aroma yang baru. Aroma yang membuatku tenang, aroma yang...ini bukan hutan bambu tadi.

Seketika aku celingukan melihat sekeliling. Benar, ini bukan hutan bambu tempatku menyeruput seduhan pucuk daun pinus pemberian kakek tua tadi.

Sekarang aku sedang duduk bersila diatas sebuah batu persegi yang permukaannya rata seperti dipahat oleh ahli. Tepian batu itu juga terdapat ukiran ukiran indah dan jelas batu itu bukan batu alam yang kebetulan ada ditengah tengah lapangan rumput hijau terawat. Tempat ini indah sekali dan aku...

The Story Of HyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang