Heja: Garis Lurus

68 14 5
                                    

"hey nak. Bagaimana minumannya? Enak?"

Aku terperanjak terkejut oleh suara serak kering karna rokok khas yang kukenali seperempatjam yang lalu. Suara kakek pencari rebung.

Suara binatang hutan bambu, sapuan angina lembut, suhu udara yang sidikit panas kaki gunung kembali menyadarkan semua panca indraku. Pemandangan sekitar juga kembali aku kenali. Hutan bambu yang rapat di lereng timur Gunung Batu Korsi

"hah, eh i..ya kek, e..nak" jawabku.

Aku menjawab pertanyaan kakek itu dengan tersenggal dan asal jawab saja, lantaran otakku masih mencoba mencerna semua kejadian yang baru saja kualami barusan. Sensasi yang aneh dan menakutkan.

Setelah mencoba kukembalikan pikiran warasku, aku memandang kakek pencari rebung didepanku dengan penuh tanda tanya. Aku baru memperhatikan wajah kakek itu setelah pikiranku focus dan kesimpan tempat minum dari batok kelapa tempat ku meminum air rebusan pucuk pinus tadi, wajah itu sungguh teduh. Dan baru aku sadari senyum hangat tak pernah lepas dari bibir kemerahan karena sering nyeupah.

"nama aki siapa ?" tanyaku penasaran.

"aki biasa dipanggil Nulawas nak" jawab kakek itu dengan nada yang sangat bijaksana.

Nulawas ? Nulawas kan artinya "yang telah tua" bisiku dalam hati.

"aki tinggal dimana ?" lanjutku.

"aki tinggal di pondok reyod tepi sungai Cikahuripan"

"sungai yang di sisi barat gunung ini ? itu kan jauh sekali ki" jawabku kaget.

Tapi kakek ini tidak menjawab pertanyaanku itu. Dia hanya sibuk menyeruput air teh (sudahlah, kita anggap saja itu air teh).

Mendengar kakek itu aku sungguh terkejut saat mengetahui kakek tersebut tinggal di tepi sungai Cikahuripan, pasalnya butuh waktu empat hingga lima jam berjalan dengan ritme terbilan cepat dari tempat itu untuk tiba di tempat ini sementara melihat fisik kake itu aku tidak yakin beliau dapat berjalan secepat itu dengan medan gunung yang terkenal aga sulit didaki ini.

Aku melihat jam tangan di lengan kananku. Ini baru jam setengah tujuh pagi, tapi kakek ini sudah berada di hutan bambu ini (tanpa alas kaki yang kulihat), lalu dari jam berapa kake ini berangkat dari pondok reyodnya ?

Ah sudahlah, sungkin kakek ini sudah dari dini hari berangkat dari pondoknya.

Setelah menghabiskan air teh pemberian kakek pencari rebung-Nulawas dan melihat jam (tadi), aku berniat melanjutkan perjalananku yang sudah kesiangan untuk mencapai tempat biasaku menyendiri.

"ki, aku pamit dulu untuk melanjutkan perjalanan"

"iya silahkan nak, tapi cobalah untuk tidak menengok kebelakang disetiap perjalananmu." Ucap kakek itu sangat tegas tapi tidak lepas senyum hangat dari bibirnya.

Aku tidak ambil pusing dengangan peerkataan terakhir kakek itu. Pikiranku sudah dipenuhi kembali dengan kejadian aneh tadi. Lapangan rumput hijau yang indah, batu persegi datar halus yang ku duduki, ukiran ukiran yang sangat detail, suasana yang mendamaikan. Itu bukan mimpi.

Setelah berpamitan dan mengucap salam pada kakek itu, aku lantas berjalan meniti jalan setapak di hutan bambu untuk melanjutkan perjalananku yang masik satu jam lebih ini.

Setiap langkah sisa perjalanan, pikiranku masih berkerja mengartikan kejadian bersama kakek dan air seduhan pucuk daun pinus tadi. Dan yang terbayang adalah salah satu ukiran ditepi batu persegi yang aku duduki di'alam' lain itu. Ukiran salah satu simbol yang sangat aku kenal sekali sebagai senjata khas Tatar Sunda. Ukiran itu adalah simbol dari senjata Kujang. Tapi aku tidah bisa mengingat semua simbol di batu persegi itu, aku terlalu kaget saat itu. Bagaimana tidak, sesaat aku ada di hutan bamboo bersama kake Nulawas seketika itu aku sudah berpindah ke tempat yang benar benar asing bagiku tapi suasananya sangat dirindukan olehku.

The Story Of HyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang