Bagian 43

637 66 19
                                    

Anggap saja mulmed diatas itu Mas Abi yan sedang melakukan radioterapi.

"Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al Qur’an) dari Tuhanmu sebagai penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada (hati), dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.” 
 (QS. Yunus: 57)

Pagi kembali menyapa, memberi lembaran  kehidupan baru bagi setiap insan manusia.

Suasana pagi dirumah sakit masih tampak sepi, hanya terlihat  beberapa orang yang berlalu-lalang. Maklum saja, waktu masih menunjukkan pukul 04.00 pagi.

Tapi, Devan bahkan sudah terbangun dari tidurnya sejak satu jam yang  lalu. Kondisinya sudah lumayan membaik, meski begitu ia belum diizinkan untuk pulang.

Setelah menjalankan shalat tahajud, ia tak lantas kembali tidur. Pemuda itu sibuk dengan Al-Quran yang ada ditangannya. Membaca Al-Quran beserta dengan tafsirnya mampu membuat hatinya lebih tenang.

Berkali-kali ia meneteskan airmata, saat mendapati ayat yang mengusik batinnya. Salah satunya yang saat ini dibacanya yaitu tafsir dari Qs. Al-Imran: 139.

"Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman"

"Ampuni aku ya Rabb, karena tak pernah mampu untuk bersyukur. Jiwaku terlampau lemah hingga membuatku berputus asa dari rahmat-Mu" bisik Devan dalam hati.

Devan mengusap airmatanya, kemudian menutup mushaf yang dibacanya dan meletakkan diatas meja samping ranjangnya.

Saat terdengar suara adzan subuh, ia segera menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Dalam ruangan itu memang hanya ada Devan seorang diri. Faris sejak semalam pulang ke rumah bersama Adnan, serta Fadhil untuk beristirahat. Sedangkan, Pak Rizki berada di mushala sejak setengah jam yang lalu.

*****
Hari ini, hari pertama Devan akan menjalani radioterapi. Ia harus menjalani radioterapi lima kali dalam seminggu. Sebisa mungkin ia menyiapkan diri untuk pengobatan pertamanya. Karena selama ini, hanya mengandalkan obat pereda rasa sakit. Siap tidak siap ia harus siap, demi kesembuhannya sendiri.

Gugup, itu yang dirasakannya sekarang. Pasalnya, fikirannya sejak tadi terbayang dengan efek radioterapi yang akan dijalaninya.

Meski sudah berusaha untuk tenang tetap saja hatinya merasa gelisah. Keraguan juga ikut merayap masuk dalam relung hatinya.

Dr. Ray masuk diikuti oleh Faris, Adnan serta Fadhil. Fadhil bahkan langsung bersorak senang saat melihat Devan duduk bersandar pada bantal.

"Mas Abi, Adhil kangen," teriak Fadhil diambang pintu.

Membuat keempat orang dewasa disampingnya  terkekeh pelan, melihat kelakuan bocah  lima tahun itu.

"Mas juga kangen sama kamu, sini peluk dong kalau kangen," jawab Devan merentangkan tangannya sambil tersenyum.

Fadhil dibantu oleh Adnan naik ke ranjang , anak itu langsung memeluk tubuh Devan.

"Kalau Fadhil mau, kamu boleh panggil Ayah. Karena mulai sekarang, Mas Abi yang akan jadi Ayah untuk kamu," ucap Fadhil mengelus puncak kepala Fadhil.

"Beneran Mas Abi, Adhil boleh panggil Ayah," ucap Fadhil antusias.

Devan mengangguk mantap, ia bahagia  melihat Fadhil bahagia. Begitu juga dengan ketiga orang dewasa di sana yang ikut tersenyum.

"Hore, Adhil sekarang punya Ayah." Fadhil berteriak girang.

Membuat Devan berkaca-kaca mendengar penuturan bocah polos itu.

Dr. Ray berjalan mendekati Devan sambil  tersenyum.

"Om bangga sama kamu, karena kamu  mau memberikan kebahagiaan untuk orang lain.  Padahal, kamu sendiri jauh dari kata bahagia," ucap dr. Ray.

"Justru karena itu, aku ingin bisa memberikan kebahagiaan untuk orang lain. Devan hanya ingin berguna, disisa usia yang mungkin tidak seberapa lama," jawab Devan santai dengan senyum yang tak pudar dari bibirnya.

Membuat dr. Ray, Adnan juga Faris bungkam mendengar penuturan Devan.

"Van, kamu harus percaya kalau kamu bisa sembuh. Om kesini mau memberitahu, kalau kamu sudah bisa melakukan radioterapi sekarang. Apa kamu sudah siap?" tanya dr. Ray.

"Insya Allah," jawab Devan tenang.

Dr. Ray membawa Devan ke ruang radiasi untuk menjalankan radioterapi pertamanya.

Setelah berada di ruang radiasi, jantung pemuda itu berdebar kencang, raut cemas juga nampak dari wajah pucatnya.

"Nggak akan sakit kok, paling lama juga hanya  dua puluh menit. Jadi, kamu tidak perlu khawatir," dr. Ray menenangkan.

"Radioterapinya gak sakit, Om. Tapi efek sampingnya pasti sakit 'kan?" ucap Devan dengan raut yang tak terbaca.

Dr. Ray menghela nafas pelan, sebelum ia kembali berucap

"Van, jangan berfikir macam-macam. Karena apa yang kamu fikirkan bisa menjadi kenyataan. Yakin kalau kamu akan sembuh" dr. Ray berucap lembut .

Dr. Ray meminta Devan berbaring, kemudian  memberinya bantal. Selanjutnya,  dilakukan CT scan untuk
menentukan dibagian tubuh  mana yang  akan dilakukan radiasi. Setelah ditentukan jenis radiasi  yang akan dilakukan, dokter  memberi tanda   tubuh yang akan terkena paparan radiasi. Baru dokter melakukan radiasi pada kepala Devan.

Selama radiasi berlangsung, Devan tidak boleh bergerak. Agar radiasi yang dilakukan tepat sasaran. Radiasi dilakukan selama kurang-lebih
dua puluh menit.

Maafkan author yang baru sempat update, karena efek badmood.
Ceritanya makin abstrak , maklumin aja authornya lagi belajar. 
Banyak kesalahan mohon dimaafkan,
Terimakasih buat kalian yang  selalu setia sama tulisan abstrak author
Thanks for your voment,

Ketika Takdir Memilih (Complete)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang