Epilog (2)

674 48 22
                                    

Sejatinya perpisahan bukan akhir dari segalanya. Hanya saja, rasa kehilangan yang mengiringi mampu merenggut seluruh jiwa dan menenggelamkan dalam lautan luka tak ber-dasar.

Suasana kediaman Adiatama begitu sepi, tak ada lagi canda dan tawa yang terdengar. Hanya isak tangis pilu menyayat hati yang mewarnai.

Setiap hari, Fadhil  mencari keberadaan Ayahnya. Karena sejak seminggu terakhir tak pernah lagi ia temui. Ia merindukan dekap hangat sang Ayah.

"Ayah, Ayah di mana? Adhil angen," tutur Fadhil serak.

Sejak Devan meninggal, Fadhil menghabiskan waktunya untuk menangis. Mencari keberadaan Ayah yang selama ini menemaninya bermain.

Pertanyaan demi pertanyaan tentang keberadaan Devan, sering terlontar dari bibir bocah lima tahun itu. Membuat orang dewasa di sekitarnya kehabisan kata untuk menjawab.

Sore itu, Fadhil kembali menanyakan keberadaan Ayahnya.  Pertanyaan sepele tapi bisa membungkam bibir orang di sekitarnya.

"Om Nan, Ayah kok gak pernah pulang? Adhil kangen sama Ayah," tanya Fadhil.

Adnan justru diam membisu, ia tak tahu harus menjawab apa. Fadhil masih terlalu kecil untuk mengerti arti kehilangan. Meski sudah dijelaskan berulang kali, Fadhil tetap saja menanyakan pertanyaan yang sama.

Didekapnya tubuh mungil itu dengan erat, bahkan tanpa permisi air mata mengalir begitu saja dari sudut matanya.

"Bi, Mas harus menjawab apa?
Fadhil selalu menanyakan keberadaanmu," bisik Adnan dalam hati.

"Om Nan, kenapa nangis? Adhil 'kan cuma mau ketemu Ayah," ucapnya polos.

Adnan menghapus kasar air matanya, ia berusaha untuk tersenyum.

"Ayahnya Adhil sudah bahagia di surga. Adhil 'kan masih punya Om Nan, Om Zan, Opa Adi, Opa Rizki, Om Davin, sama Om Indra juga," jawab Adnan serak menahan tangis.

"Adhil mau Ayah. Ayah jahat udah ninggalin Adhil, kenapa Ayah gak ajak Adhil pergi ke surga? Adhil nakal ya, Om? Makanya Ayah pergi gak ajak  Adhil." Fadhil menjerit.

Adnan kehabisan kata-kata.  bagaimana caranya menjelaskan kepada Fadhil perihal Devan.

Mendengar jeritan Fadhil, Fauzan serta Davin yang berada di ruang tengah segera berlari ke kamar milik Fadhil.

"Adhil mau nyusul Ayah ke surga. boleh 'kan, Om?" tanya Fadhil penuh harap.

Fauzan dan Davin terpaku diambang pintu, mendengar penuturan bocah lima tahun itu.  Sedangkan, Adnan menunduk dalam dengan air mata yang semakin deras mengalir.

Davin melangkah mendekati Fadhil, ia berjongkok agar dapat mensejajarkan diri dengan malaikat kecil itu.

"Adhil. Kalau kamu pinjam mainannya Dava, terus mainannya diambil lagi, gimana?" tanya Davin tersenyum lembut.

"Adhil kembalikan ke Dava, 'kan mainannya bukan punya aku," jawabnya cepat.

"Begitu juga dengan Ayahnya Adhil,  sekarang udah bahagia di surganya Allah. Allah lebih sayang sama Ayah, dan mengambilnya dari kita semua.  Adhil juga sayang 'kan?"

Fadhil mengangguk mantap, dengan mata yang berbinar cerah.

"Sekarang Ayah udah gak  kesakitan lagi, Adhil gak mau lihat Ayah sakit 'kan?

" Beneran, Om? Adhil gak mau lihat Ayah sakit," jawab Fadhil.

Davin mengangguk, ia mencoba tersenyum untuk menghalau air mata yang juga siap tumpah.

"Adhil ingat gak? Waktu Ayah bilang kalau kamu harus kuat meski kamu ditinggal sendiri. Ayah gak pernah ninggalin Adhil, karena dia selalu ada disini." Davin menunjuk dada Fadhil.

"Jadi Ayah gak akan pulang lagi, Om?
Gak bisa nemenin Adhil main lagi, ngajarin naik sepeda, bacain cerita?" Fadhil menunduk lesu.

Davin meraih tubuh mungil itu dalam dekapannya.  Ia saja masih belum bisa mengikhlaskan Devan, tapi justru meminta Fadhil untuk melepaskan Ayahnya.

Siang telah berganti malam, sejak tadi  Fadhil rewel dan menangis memanggil Ayahnya. Suhu tubuh anak itu bahkan mencapai 40°C. Membuat semua orang cemas dengan kondisinya.

Fadhil pasti sangat merindukan Ayahnya, hingga membuatnya jatuh sakit seperti ini. Walau bagaimanapun, Fadhil tetaplah anak kecil yang belum mampu memahami, apalagi jika harus menanggung rasa kehilangan.

Fadhil meminta Davin mengantar ke kamar Devan,  ia ingin tidur di sana.

Fadhil mengambil baju koko putih yang biasa digunakan Devan untuk shalat di masjid,  yang diletakkan di atas meja samping ranjang.  Lengkap dengan sajadah juga peci milik Ayahnya. Diciumnya koko itu, lalu didekap dengan erat.

"Adhil kangen Ayah. Adhil mau salat lagi bareng Ayah," ucap Adhil berlinang air mata. 

Davin  yang menyaksikan adegan itu, ikut terisak di tempatnya. Koko itu, koko kesayangan Devan. Hadiah pertama yang diterima dari Davin.

Davin masih ingat dengan  jelas, bagaimana bahagianya Devan kala itu. Ia juga ingat perbincangannya dengan sahabatnya itu beberapa waktu lalu. Ketika Devan bertanya 'siapa yang akan merasakan kehilangan, jika aku pergi?'

Ia baru mengerti maksud ucapan Devan,  sebelumnya bahkan tak pernah terbayangkan akan kehilangan sosok yang sangat berpengaruh dalam hidupnya.

"Adhil, shalat sama Om Davin ya. Setelah shalat, kita berdoa untuk Ayah." Davin mengecup ubun-ubun Fadhil.

Fadhil mengambil wudhu dibantu oleh Davin, setelah berwudhu keduanya mengerjakan shalat isya bersama.

"Ya Allah, Adhil titip Ayah. Tolong jaga  Ayah, bilang ke Ayah kalau Adhil kangen"

Davin mengaminkan doa Fadhil, ia berbalik lantas memeluk tubuh mungil itu dalam dekapannya.

Kehilangan, hampir semua orang pernah merasakannya. Ada yang terpuruk, ada yang tetap tegar dalam menghadapinya, bahkan ada yang benar-benar hancur karenanya.

Satu hal yang harus diingat, semua yang kita miliki saat ini hanya titipan. Sewaktu-waktu kita bisa saja kehilangannya, saat sang pemilik mengambil kembali haknya.

Pantaskah kita mengguggat takdir? Atas rasa kehilangan yang dirasakan.
Sementara, apa yang hilang dari kita bukanlah milik kita.

Mengikhlaskan adalah obat terbaik  atas rasa kehilangan. Tak bisa dipungkiri,  ada rasa sesak yang menghimpit dada. Namun, ketika bisa ikhlas semua yang terlihat sulit justru terasa mudah.

Terima kasih atas kebersamaan kalian dalam setiap part yang masih berantakan  dan jauh dari kata mengesankan ini.

Sekali lagi, terima kasih untuk kalian semua.

Sekalian mau ngasih tahu, kalau judul cerita ini sengaja diubah.
Dari sebelumnya "Devandra" berubah menjadi "Ketika Takdir Memilih".

Selamat malam dan sampai jumpa

Ketika Takdir Memilih (Complete)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang