Bagian 19

885 83 5
                                    

"Kenapa om?" tanya Fadhil ingin tahu.

"Bi, bantu jawab dong. Gak mungkin kan aku terangkan asal-usul pesawat, percuma juga gak akan ngerti," ucap Adnan frustrasi.

"Adhil, dinamakan pesawat karena bisa mengantar kita pergi ke mana pun dalam waktu yang cepat. Pesawat, perjalanan satu waktu," terang Devan menatap Fadhil.

"Udah dijawab sama Mas Abi, Dek Adhil ngerti nggak?"tanya Adnan melirik Fadhil.

Fadhil meletakkan jari telunjuknya di dagu, seolah-olah tengah berfikir.

"Berarti pesawatnya bisa bawa Adhil jalan-jalan ya, Om" ucap Adhil dengan mata berbinar-binar.

"Pasti bisa dong. Memangnya kamu mau jalan-jalan kemana?" tanya Adnan lagi.

"Adhil mau ke kebun kurma, biar bisa makan kurma yang banyak," jawabnya dengan merentangkan kedua tangannya membentuk lingkaran besar.

Buah kurma adalah buah kesukaannya Fadhil, jadi setiap hari harus disediakan kurma khusus untuknya.

"Insya Allah, kapan-kapan kita ke sana sama-sama. Nanti Adhil bisa makan kurma yang banyak di sana," ucap Devan tersenyum sambil mengecup ubun-ubun Fadhil.

"Beneran, Mas Abi?" tanya Fadhil antusias.

Devan mengangguk, kemudian tersenyum.

"Bi, anak ini sangat cerdas. Kelak saat dia sudah dewasa, Eyang yakin dia akan menjadi orang yang sangat berguna bagi lingkungan sekitarnya," puji Ratri takjub.

"Aamiin" ucap Adnan dan Devan bersamaan.

Saking bahagianya membuat anak itu lupa dengan pertanyaan yang belum terjawab.

Ia terus berceloteh ria, kalau suatu saat bisa pergi ke kebun kurma.

*******
Hari sudah nampak gelap, ketika Adnan dan Fauzan pamit pulang.
Keduanya harus mengikuti kemauan Eyang untuk makan siang bersama dan juga berbagi cerita hingga petang.

Sebenarnya, mereka disuruh untuk menginap tapi ditolak dengan halus.
Bukan tidak mau, tapi mereka tidak mau meninggalkan Ayahnya di rumah sendirian. Alhasil lebih memilih untuk pulang daripada menginap.

Tak berselang lama dari kepergian kedua kakaknya , Indra menampakkan dirinya di rumah itu.
Membuat Fadhil yang tengah bermain dengan Mueza di ruang tengah tersentak kaget lantas menangis.

Mueza, siang tadi terpaksa diambil oleh Devan dari rumah Ayahnya. Karena Fadhil meminta Mueza agar dibawa.

Devan dan kedua Eyangnya yang baru saja menyelesaikan shalat magrib di musholla rumah samping ruang keluarga, segera berlari menghampiri.

Melihat Indra yang berdiri kaku tak jauh dari Fadhil membuat Devan mengerti. Devan menghampiri Fadhil, lantas menggendong anak itu.

"Cup...cup...cup. Kamu kenapa sayang? Buat Mas Abi kaget aja," tanya Devan mengusap punggung Fadhil.

Tangan Fadhil menunjuk Indra yang justru salah tingkah. Pasalnya dia sama sekali tidak tahu apa salahnya, hingga membuat anak digendongan Devan menangis.

"Itu, Om Indra. Temannya Mas Abi. Dia gak jahat kok," ucap Devan menenangkan Fadhil yang masih sesenggukan.

"Tapi, Om itu masuk gak salam dulu. Kata Mas Abi, kalau masuk rumah harus salam dulu biar setannya pergi," jawab Fadhil polos.

Mendengar itu membuat Devan dan Eyangnya tersenyum. Sedangkan Indra menggaruk kepalanya, salah tingkah.

"Dengarkan, Ndra. Anak kecil aja tahu,  masa kamu yang udah segede gitu gak tahu," ucap Devan tertawa.

"Iya, maaf. lain kali Om ngucap salam dulu, Adek manis mau kan maafin, Om Indra?
Anaknya siapa sih, Van? Gemes aku sama dia. Pinter banget, diajarin sama siapa?" Indra menyahuti.

"Iya dimaafkan kok sama Adhil. jangan diulangi lagi ya, Om," jawab Devan.

"Salam dulu sama, Om Indra," ucap Devan menurunkan Fadhil dari gendongan.

Fadhil berjalan ragu mendekati Indra, sesekali menoleh ke arah Devan. Devan mengangguk dan tersenyum. Fadhil menyalami Indra, lalu mencium punggung tangannya. Sebelum berbalik dan berlari ke arah Devan.

Indra menyalami Eyang Ratri dan Eyang Adi, yang berdiri tak jauh darinya.

"Duduk dulu, Ndra. Biar enak ngobrolnya," ucap Eyang Adi tersenyum ramah.

Kedua Eyang Devan memang sudah mengenal Indra sejak lama. Jadi, mereka sudah sangat akrab layaknya keluarga.

"Gimana kabarnya, Eyang?
Udah lama banget gak balik, betah banget di Jerman" tanya Indra tersenyum.

"Alhamdulillah kita baik, seperti yang kamu lihat. Eyangmu ini kalau diajak pulang rada susah, katanya enak di Jerman, bisa berduaan terus gak ada yang ganggu," ucap Adiatama terkekeh.

Membuat istrinya tersipu malu, meskipun sudah tua tapi keduanya masih tampak romantis.

"Duh, jadi iri kalau kaya gini. Van, kapan nikah?
Masa kalah sama Eyang?" tanya Indra lantas terbahak.

Membuat Eyang juga ikut terkekeh, melihat reaksi cucunya yang datar-datar aja.

"Nyindir diri sendiri,Ndra. Kamu aja duluan. Aku mah selow , lagian udah ada nih malaikat yang bisa bikin senyum tiap hari," ucap Devan datar tapi menusuk kalbu banget.

Indra yang tadi terbahak langsung kicep, niatnya ngebuly malah dia sendiri yang kena.

"Nggak bisa diajak bercanda banget Van, bikin aku seneng berpahala lho," jawab Indra.

"Udah nggak usah ngambek, udah kaya Fadhil aja kamu," sahut Devan menggendong Fadhil kemudian ikut duduk di sofa.

Mereka kembali larut dalam perbincangan seputar kegiatan mereka, hingga tak terasa adzan isya berkumandang.

Mereka bergegas mengambil wudhu kemudian memasuki musholla untuk melaksanakan shalat isya' berjamaah.

Kali ini, Fadhil ikut bergabung walau hanya sekadar mengikuti gerakan Devan.

Untuk jawaban "kenapa dinamakan pesawat" diatas murni hasil permainan logika author.

Jika ada kesalahan, mohon dimaafkan.

Mohon kritik dan saran dari readers untuk perbaikan di tulisan selanjutnya .

Terimakasih untuk readers yang sudah menyempatkan waktu membaca.

Salam dari Mas Abi juga keluarga Nugraha.

Author beserta keluarga Adiatama dan Nugraha mengucapkan
Selamat hari raya idul adha 1439 H

Ketika Takdir Memilih (Complete)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang