Satu : Teman baru?

32 3 0
                                    

Hanna memasuki ruang kelasnya. Gadis itu meniup debu yang menempel di mejanya, menaruh tas dan duduk dibangku. Hanna memilih kursi dan meja paling belakang dan tersudut dikelasnya, ia bukan tidak serius belajar, tapi duduk didepan baginya sangat menyiksa.

Sudah tiga hari sejak Anna pindah ke Garuda High School, sekolah swasta yang cukup populer di kota Bandung, tapi tidak ada satu pun yang tertarik untuk berteman dengan seorang gadis yang memiliki Phobia dan tidak pernah tersenyum.

"Aku ingin punya teman, tapi aku benci berteman, Cih." Hanna berdecih, ia kesal dengan dirinya sendiri.

Hanna mengeluarkan ponselnya, dan mengetik sebuah pesan.

To: Andoque
Bang. Ann nggak mau punya teman.

Satu detik. Satu menit. Lima menit. Handphone Hanna bergetar dan buru-buru Hanna membaca pesan itu.

From: Andoque
Yaudah, hadiahnya hangus.

"Cih, Abang sialan, sabar Hanna sabar, orang sabar disayang Tuhan." Hanna bergumam pelan, mungkin hanya dia dan Tuhan yang bisa mendengar.

Hanna masih betah duduk ditempatnya, bel masuk masih 15 menit lagi, masih lama pikirnya, Gadis itu mendongak, melihat ada teman kelasnya mendekat, lupa nama wanita itu, Hanna gemetar, dia takut ada seseorang yang menyakitinya.

"Hai Hanna, boleh aku duduk disini, aku Geana Aprilia, mungkin kamu lupa namaku." Terdengar sapaan manis dari lawan bicaranya dan mulai duduk disebelah Hanna, Hanna refleks menggeser pelan kursinya.

"Emm.. Hai, Namaku Han-Hanna." Gadis itu gugup, dia tidak tahu harus bicara apa, mulunya kelu.

"Hahaha, santai saja Hanna, aku tahu Phobia yang kamu derita, jadi kurasa kita hanya perlu berteman, kamu bisa jadi teman baikku, Hanna."

Ah iya, Hanna tahu orang ini -atau bisa Hanna sebut teman barunya, seorang ketua kelas, pintar dan menarik, wajahnya putih bersih tanpa jerawat, Wanita sempurna, pikir Hanna.

"Kita berteman , Ge-Geana." Hanna menjawab pelan, tapi Geana bisa mendengar gumaman Hanna, wanita itu tersenyum hangat.

***

"Jadi Hanna, kenapa kamu tidak mau tersenyum?." Geana bertanya pada Hanna sambil memakan sosis bakar yang dibelinya sendiri di kantin tadi, Hanna tidak mau pergi ke kantin, 'aku tidak suka disana, disana penuh orang dan sesak, Geana.' Dan Lia hanya ber-oh ria sambil pergi membeli makanan untuk mengganjal perutnya.

"Aku hanya tidak terbiasa melakukannya. Karena tidak ada yang menginginkanku tersenyum. Semesta mungkin benci padaku, Geana."

"Semesta tidak seegois itu, Hanna."

"Semesta emang egois, Geana. Tapi tidak padamu, hanya kepadaku, seorang Gadis rapuh yang tidak diinginkan semesta."

"Kamu salah, Hanna."

"Aku benar, Geana."

"Kamu hanya tidak terbiasa tersenyum, tersenyum kepadaku saja, aku tidak akan memberi tahu semesta, Hanna." Geana tersenyum tulus.

"Aku tidak akan melakukannya. Mamaku selingkuh dan merebut suami orang, aku anak dari seorang pelacur, sejak umur 13 tahun aku tidak mau tersenyum, karena kupikir tersenyum dan bahagia berarti menertawakan Mamaku, aku tidak mau itu, aku sayang Mamaku, Geana."

Hening. Geana tersentak, ia tidak tahu kalo gadis yang tidak suka tersenyum, selalu membawa bekal, tidak suka keramaian, selalu membaca buku, dan duduk dipojok kelas adalah gadis yang sangat rapuh.

Hanna melirik Geana sekilas. "Mungkin kalo kamu  berubah pikiran untuk berteman denganku, tak apa. Aku yakin kalo kamu tidak mau berteman dengan anak seorang pelacur." Hanna menunduk, ia takut melihat wajah jijik Geana dan meninggalkannya.

Hanna masih menunduk, tapi ia belum merasa Geana meninggalkannya, Hanna mendongak, ia terkejut saat melihat wajah Geana disertai senyum tulusnya, mata Geana berkaca-kaca dan satu titikdan dua titik air matanya mulai lolos tanpa aba-aba. Bulir air mata Hanna juga tampak mulai jatuh tanpa izin darinya.

"Kenapa kamu masih disini, Geana?" Hanna tersentak,  ia menangis dalam diam sambil menutup muka dengan tangan putih pucatnya sendiri.

"Apa kamu lupa? Aku kan temanmu, Hanna?"

"Kamu tidak pergi seperti yang lain?"

"Sudah kubilang aku temanmu, teman tidak meninggalkan kan?" Hanna merasa bahagia, ia memiliki teman yang tulus, Geana memegang tangan Hanna, tangannya bergetar dan buru-buru Hanna melepaskannya.

"Aku memiliki Haphephobia, Geana."

"Maaf, Hanna. Aku lupa akan hal itu. Tenang saja kita bakal menghilangkan rasa takut itu, bukannya Haphephobia bisa hilang dengan kebahagiaan?"

Hanna dan Geana mulai berbincang, walaupun Hanna masih merasa sedikit canggung tapi ia bisa merasakan pertemanan tulus dari Geana.

Hanna [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang