Enggan

10.5K 1.5K 62
                                    

Safira mengaduk pasta dalam piring. Nafsunya lenyap. Sekarang sudah pukul delapan, nyaris nggak mungkin Safira punya kesempatan bertemu Cloudy di rumah. Mereka―dia dan Daniel―masih menyantap makan malam di daerah Tebet. Cukup jauh untuk pulang cepat sampai di rumahnya yang berada di Simprug. Meski sama-sama Jakarta Selatan, kemacetan adalah kendala utama selain jarak.

Safira sungguh ingin bertemu Baby Kilonya.

"Kamu nggak makan?" Suara Daniel menyentak Safira. "Kamu mau makan yang lain? Atau nggak enak badan?"

"Bukan keduanya." Safira menggeleng. Dia ingin jujur mengatakan ingin pulang saat ini juga. Tapi Daniel akan curiga. Safira yang dikenal Daniel bukan sosok yang senang berlama-lama di rumah.

"Ada yang kamu pikirkan?" Tanya Daniel lagi.

Safira mengangkat pandangannya pada sepasang mata lembut Daniel. Harusnya dia membuat ini mudah. Cukup katakan dia punya seorang anak. Anak kandung. Remaja yang hampir tujuh belas tahun. Sangat sederhana.

Tapi Safira takut. Susah membayangkan kedekatannya bersama Daniel selama tiga tahun hancur. Di sisi lain, Safira nggak bisa menutupi fakta keberadaan Cloudy dan masa lalunya.

Safira membuka mulut, lalu menutup lagi. Ada ganjalan besar dalam benaknya. Dia butuh berdiskusi dengan Kinanti. Mungkin ada cara lebih bijak menyampaikan semuanya.

"Aku dapat beberapa tawaran iklan dan..." Safira mengalihkan pandangan, "butuh saran Mama soal itu."

"Baik. Kamu kelihatannya nggak bisa menikmati makan malam kita karena urusan pekerjaan. Aku paham. Kalau begitu, ayo pulang. Bicarakan semuanya dengan Tante Kinanti. Setelah kamu lebih santai, kita bisa atur kencan lagi," kata Daniel.

Inilah yang membebani Safira menjalin kasih bersama Daniel. Pria ini terlalu baik dan pengertian. Bahkan setelah Safira pernah meninggalkannya dulu, Daniel tetap kembali dan menawarkan hati. Perempuan mana yang sanggup untuk melepaskannya.

"Makasih."

"Bukan masalah. Ayo pulang."

・・・

Cloudy membuka halaman terakhir sebuah buku. Hanya buku tulis biasa berwarna merah kotak-kotak. Kertasnya kecokelatan termakan usia. Satu alasannya menyimpan buku itu terdapat di lembar terakhir.

Jemari Cloudy mengelus halaman itu pelan. Menikmati sensasi kasat mata yang hadir di ujung jemari.

Sudah satu tahun lebih Uyut meninggal. Sudah satu tahun lebih pula keberadaan Cloudy seolah dilupakan. Dititipkan di pesantren sejak masuk SMA tanpa sanak berkunjung, kecuali Lebaran rasanya menyedihkan.

"Dia anak di luar nikah."

"Nasabnya ikut ibunya. Kelak nisannya akan mencantumkan nama ibu kandungnya, bukan bapaknya."

"Bukan salahnya terlahir begitu."

"Tetap kelakuan orangtuanya zina. Apa mau kau tercemar dosa keluarga itu?"

"Sekolah di pesantren hanya alibi. Dia dibuang. Tak ditengok."

"Mungkin orangtuanya berharap dia lenyap. Keterlaluan. Mau apa keluarganya?"

"Mereka bilang orangtuamu berzina dan terpaksa menikah karena kau terlanjur ada."

Cloudy merapatkan mata hingga alisnya berkerut. Ingatannya masih kental betapa dia dipandang sebelah mata selama di pesantren. Bukan masalah jika dia direndahkan. Tatapan kasihan dari segelintir orang di sana yang mematikan simpul sarafnya.

Mengapa orang-orang yang bukan keluarganya mempedulikannya? Mengasihaninya?

Lebih baik mereka mencelanya. Itu terasa lebih benar.

"Cloudy Bramantyo. Itu ... namamu?" Pertanyaan seorang kawan dalam kelas sepuluh yang mengawali segalanya. Cloudy nggak tahu apa masalah pada namanya. Itu namanya sejak lahir.

Lalu kalimat itu datang.

"Cloudy Bramantyo Bin Safira Ainun Purwadji. Mengapa Bin dalam namamu mencantumkan nama ibumu? Safira itu nama ibumu, kan?"

Setelah itu, Cloudy mengetahuinya. Dia nggak sama dengan mereka. Dia terlahir dari sebuah tindakan yang nggak sepantasnya dilakukan orangtua. Cloudy adalah contoh buruk dari penyimpangan.

"Ustad, apa aku berdosa karena..." Sore itu, Cloudy menguatkan tekad bertanya akan nasibnya pada seorang guru. "Karena aku anak zina?"

Cloudy ingat wajah ustad itu memucat. Mungkin baru kali itu seorang murid bertanya tanpa kesantunan. Tapi Cloudy takut. Dia mempelajari ilmu agama. Dikenalkan akan dosa dan neraka, pahala dan surga, serta alam sesudah kematian.

"Kamu lahir tanpa dosa. Nggak ada bayi yang lahir membawa dosa orangtuanya. Jangan menghawatirkan dosa orangtuamu, cukup ibadah dan tawakal pada Allah. Biar kekuasaan-Nya yang menakar dosa dan pahala kamu. Doakan orangtuamu agar diampuni dosa-dosanya sama Allah."

Lagi, Cloudy membelai lembut halaman terakhir buku itu. Karena dalam buku itu, kenangannya bersama Uyut tersimpan. Kenangan Lebaran terakhir mereka sebelum Uyut sakit lalu meninggalkan Cloudy sendiri.

Benar-benar sendiri.

Airmata Cloudy jatuh setetes. Dia merindukan Uyut. Rindu bagaimana Uyut mengelus bahunya, memuji hasil ulangannya, mengomel kalau sarapannya nggak habis. Dari semua itu, Cloudy rindu ucapan Uyut.

"Apa yang sering dilupakan orang adalah rasa syukur. Kamu harus selalu ingat bersyukur. Nggak semua anak seberuntung kamu, punya orangtua, bisa sekolah, dan makan tidur cukup."

Bagaimana Cloudy bisa bersyukur kini, setelah dia tahu kenyataan bahwa Mami dan...

Tok, tok, tok.

Cloudy bergegas menutup bukunya ke dalam tas. Kemudian berlari ke atas kasur. Selimut ditarik hingga membungkus badan hingga kepala.

・・・

Safira segera turun begitu sedan Daniel berhenti di depan gerbang rumahnya. Dia berkilah butuh segera bicara dengan Kinanti. Bahkan Safira berlari dari gerbang sampai ke dalam rumah, hanya demi Kilo.

Kakinya berhenti di depan pintu kamar Cloudy. Pintu yang sama dengan kamarnya dan Kinanti. Tapi getaran yang berasal dari balik pintu itu mendebarkan. Karena di sana, di balik pintu, ada anaknya. Kesayangannya.

Tangan Safira bergerak menuju kenop, lalu menggantung di udara. Cloudy butuh privasi. Safira nggak bisa masuk tanpa mengetuk pintu. Cloudy bisa saja tersinggung. Maka Safira mengepalkan tangan naik sampai sejajar wajah, barulah mengetuk.

Tok, tok, tok.

Nggak ada tanggapan. Safira beranikan diri membuka pintu. Ruangan terang memudahkan Safira memindai sekeliling.

Cloudy ada. Terbungkus selimut. Mungkin dia terlambat. Cloudy sudah tertidur. Safira menghela napas panjang, usahanya kurang banyak. Malam ini dia belum bisa menunaikan tugas seorang ibu.

Yang bisa dilakukan Safira hanya menutup pintu pelan. Membiarkan Cloudy terlelap dengan tenang malam ini.

・・・

Begitu pintu tertutup, kelopak mata Cloudy terbuka. Warna bawah matanya memerah. Dia menyadari kondisinya setelah menangis tadi akan tampak mencurigakan bagi Safira. Itu sebabnya Cloudy memilih berpura-pura tidur.

Tapi Cloudy merasa nggak puas. Safira hanya melongok sebentar kamarnya lalu pergi. Apa dia nggak merindukan Cloudy? Mereka berpisah begitu lama, terbentang jarak dan nyaris tanpa komunikasi.

Apa dia nggak berharga?

Apa karena Cloudy anak yang nggak diharapkan?

Cloudy kembali menutup mata. Dia butuh tidur. Sekolah esok hari akan lebih baik daripada terus terjebak dalam rumah seperti seminggu yang lalu.

###

22/10/2018

Babang Kilo datang lageee...
Buat fans Abdul, tolong sabar nunggu si sok ganteng nongol hahaha

Ada kebayang visual Kilo kayak apa? Gw sempat mikir Park Jihoon Wanna One, model cowok manis yg gemesin gitu. Tapi Kilo tuh tinggi kurus 😅

WeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang