Dd

4.2K 1.3K 362
                                    

BAB TERAKHIR


Jeffrey menegakan duduk dan menatap Cloudy serius. "Babe yang bersalah."

"Ada apa?" tanya Cloudy tenang. Sikap santainya membuat Jeffrey makin tegang.

"Babe..." Jeffrey menarik napas berat. "Memerkosa mami lo."

Air wajah Cloudy tidak lagi tenang. Dia berubah pias dan terkejut. Bibirnya terbuka kecil tanpa disadari. Jeffrey mengutuk perbuatannya dulu dan berpikir tidak butuh menutupi kenyataan tersebut. Cloudy berhak tahu kebejatannya dan alasan Safira membencinya. Jeffrey akan menerima amukan Cloudy atas semua kesalahannya. Jeffrey sudah menghancurkan keluarga kecil mereka sejak awal.

"Apa..." Cloudy berbicara pelan. Jeffrey menyimak dengan mata penuh penyesalan dan sedih. "Babe menyesal?"

"Ya," jawab Jeffrey.

Cloudy memaksakan senyum. "Itu sudah cukup. Asal Babe menyesal dan memperbaiki diri. Apapun perbuatan Babe di masa lalu, aku tetap bersyukur sudah dilahirkan."

"Kilo..." Jeffrey tidak sanggup menahan airmata yang lolos menuruni pipinya.

"Aku nggak marah, Be. Aku kaget dan agak kecewa. Nggak nyangka hubungan Mami dan Babe ribet banget," kata Cloudy begitu santai.

Jeffrey sulit percaya dia sedang bicara dengan anak di bawah umur. Cloudy mahir mengendalikan emosi. "Lo nggak apa-apa?"

Cloudy tersenyum, lalu berkata, "Aku berusaha baik-baik aja. Apa kalian pernah pacaran?"

"Nggak."

"Gimana Babe kenal Mami?"

"Dia adik kelas Babe pas SMA. Beda satu tahun."

Atmosfer dalam ruangan ini begitu berat. Bahkan dengan ekspresi penuh senyum pun, Jeffrey yakin Cloudy merasa sangat buruk. Tapi Jeffrey nggak yakin bisa melakukan sesuatu, kecuali berkata jujur.

"Apa Babe pernah cinta sama Mami?"

Jeffrey tersenyum kecil. "Ya."

"Aku ingat kita tinggal di rumah jelek di Menteng. Mami ngeluh soal taman depan yang jelek, terus Babe cabut semua rumput di situ dan disemen semua. Pas Mami pulang, Mami marah ke Babe karena bikin pekarangan rumah kita jadi gersang tanpa tanaman." Cloudy tertawa kecil. "Babe diem aja, Babe takut sama Mami."

"Enak aja." Jeffrey menggaruk tengkuk dengan canggung. "Babe nggak paham maunya Mami lo."

"Mami itu kayak Black hole. Misteri luar angkasa yang susah dipecahkan."

"Mengalahkan segitiga Bermuda," timpal Jeffrey.

"Mengalahkan kemampuan manusia menakar eksistensi kehidupan di luar galaksi kita."

"Bangor, lemes banget mulut lo ngomongin emak sendiri."

Cloudy tertawa. Jeffrey menatap Cloudy antisipasi. Puteranya punya bakat meledakan lab di pesantren, nggak heran kalau Cloudy tengah menyimpan amunisi unik untuk menembak jantungnya seketika.

"Boleh aku pindah ke sini, Be?" tanya Cloudy usai tertawa.

Baru dipikirkan, Cloudy sudah membuat jantungnya kena serangan. "Ntar Mami lo ngomel."

"Aku berhak menentukan di mana aku mau tinggal, Be. Jadi, kasih aku izin tinggal di sini."

"Kenapa tiba-tiba?"

Cloudy memandang televisi yang mati. Sorot matanya seolah tengah menjelajah dimensi berbeda. Bibirnya mengulas senyum tipis yang manis dan tulus. Dia pun berkata, "Aku mau Mami punya kesempatan hidup bahagia bersama pria lain. Kalo bukan Babe jodoh Mami, aku nggak boleh menghalangi Mami berkeluarga lagi."

"Ntong."

"Aku mau Mami berani memulai hubungan baru. Selama ada aku dekat Mami, Mami akan susah memilih calon suami dan pria belum tentu mau sama janda muda yang anaknya udah gede kayak aku." Cloudy menoleh pada Jeffrey dengan kemantapan dalam matanya. "Ayo kita kasih Mami kesempatan bahagia."

Jeffrey merasa dihujam. Puteranya tumbuh melebihi yang sanggup Jeffrey terima. Dia bangga sekaligus tersentak oleh ucapan Cloudy. "Apa hanya itu alasan lo pindah ke sini?" Jeffrey bertanya pelan dan tercekat.

"Ada lagi dong," jawab Cloudy ceria. "Babe butuh teman yang pas dan aku butuh pembimbing selama masa remaja. Kita saling melengkapi."

"Lo tau Babe nggak punya Alphard dan sopir. Lo nggak bisa diantar jemput sekolah."

"Ada ojol."

"Babe jarang masak."

"Kita bisa delivery."

"Babe nggak belanja barang branded."

"Apapun yang aku pake akan keliatan bermerk dan mahal."

Kampret! Pede banget. Jeffrey berdecak tapi sukar berkelit. Puteranya ganteng maksimal. Pas jaman sekolah, Jeffrey sering pakai barang dari Mangga Dua dan tetap ditebak orang barang mahal. Mungkin plus point memiliki pesona charming.

"Lo harus dapat nilai bagus."

"Kalo Babe butuh bukti, aku bisa kasih hasil mid test aku sekarang."

"Harus cuci baju sendiri."

"Siap."

"Bersih-bersih rumah, terutama kamar lo."

"Noted."

"Nggak ada video bokep."

Cloudy diam. Jeffrey mengangkat satu alis. Tumben lama jawab.

"Nggak di sini, kan? Oke deh."

"Apaan lo? Awas berani nonton begituan!"

Cloudy terbahak. "Nyantai, Be. Aku nggak mau merusak hapalan juz aku pake yang haram."

"Bagus."

"Aku kan mau ngasih Babe mahkota saat masuk surga nanti," kata Cloudy lagi.

Sial. Gue jadi pengen nangis. Jeffrey mendengkus dan membuang pandangan ke luar jendela. "Beresin barang-barang lo di rumah Mami. Kalo butuh bantuan, Babe bisa bantu angkut barang."

"Barang aku sedikit. Om Tante Anne dan Om Sudrajat bisa kok. Babe masak makanan enak aja buat aku. Pake soda gembira ya, Be."

Jeffrey memicing. "Soda gembira?"

"Di pesantren nggak ada. Di rumah dilarang Mami. Di sekolah, adanya bir pletok dan jus jeruk." Cloudy memberi tatapan penuh binar-binar. "Soda gembira, Be."

"Iya."

"Good job, Be. Nanti aku telpon Babe pas aku siap pindah. Aku ngomong dulu sama Mami."

Jeffrey mengangguk, tapi menghawatirkan sikap Cloudy. Dia kurang pengalaman mengasuh anak dan jarang bergaul dengan anak muda. Sikap Cloudy adalah hal yang terlalu mengherankan hingga rasanya mencurigakan.

Inikah rasanya membesarkan anak remaja?

TAMAT



WeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang