Surat waktu itu

8.2K 2.2K 227
                                    

Peringatan!
Ranjau masih bertebaran. Silakan meninggalkan cerita ini jika tidak berkenan. Gangguan akibat ranjau tidak ditanggung oleh penulis, melainkan oleh pembaca. Terima kasih atas perhatiannya.

Cloudy mesti menerima kenyataan Safira masih takut terlihat di depan khalayak sebagai Maminya. Menyebalkan, jelas. Tapi jauh di dalam hati, Cloudy merasa terbuang. Di satu sisi Mami begitu protektif pada Cloudy. Di sisi lain, Mami seolah ingin mengenyahkan keberadaannya. Yang mana yang bisa dipercaya Cloudy dari sosok Safira sebenarnya?

(Vote!)

Cloudy menoleh lagi, menunggu Safira. Belum terlambat kalau-kalau Mami mau turun dan melihat-lihat sekolahnya. Tadi Mami panik, jadi nggak salah dong Cloudy berharap Mami akan memeriksa sekolah. Demi dirinya.

"Kenapa nggak masuk?" Tanya Safira yang menyadari Cloudy belum beranjak dari kursi. Sejak tadi dia sibuk mengirim WhatsApp kepada resepsionis klinik tempatnya bekerja. Ada seorang ibu yang akan melahirkan di sana, sementara bidan yang bertugas hari itu masih dalam perjalanan dari Surabaya. Mereka butuh seseorang yang memahami situasi si ibu. Ditinjau dari lokasi, Safira adalah dokter yang tinggal paling dekat dari klinik. Dia akan praktik ke sana hari ini, sebelum syuting variety show nanti sore. Jika dia segera ke sana, hanya butuh sepuluh menit dari sekolah Cloudy.

"Mami nggak mau turun?" Tanya Cloudy. Harapannya secuil merekah. (Vote ya!) "Ada menu bir pletok di kantin. Enak banget, Mi."

Safira masih berkutat dengan ponsel. "Nggak bisa, Kilo. Mami harus kerja." Safira berpaling pada Cloudy. "Kita ketemu nanti malam. Mami akan bawain kamu pizza."

Kekanakan, pikir Cloudy. Dia nggak butuh diberikan iming-iming makanan agar mau sekolah. Cloudy hanya mau perhatian Mami. Tapi tetap saja, tawaran Safira menggoda Cloudy. Dia akan punya waktu makan malam bersama Mami, bukan cuma bersama Oma yang kaku.

"Oke," kata Cloudy. "Assalamualaikum, Mi." Cloudy meraih tangan Safira, lalu mengecup punggung tangan itu. Safira mengelus rambut Cloudy.

(Vote dulu!)

Begitu Cloudy turun mobil, Safira meminta Sudrajat the driver menginjak gas ke klinik. Di samping Sudrajat, Anwar terlelap pulas tanpa tahu ada drama apa di belakang kursinya.

・・・

Cloudy menyusuri koridor sekolah malas-malasan. Mood-nya jatuh bangun karena Mami dan Babe. Susah sekali jadi seperti anak lain. Dapat perhatian kedua orangtua.

Letta.

Cloudy baru ingat surat yang dia dapat dari dalam tas. Cewek itu sama sekali nggak menunjukkan gejala menyukainya, tapi suratnya datang duluan. Apa begitu gaya cewek sekarang, Cloudy nggak tahu. Votenya jangan lupa. Cloudy terus melangkah di belakang Letta, memerhatikan visual Letta. Ujung-ujungnya Cloudy menyerah. Semua cewek b aja baginya. Yang paling zuppeer hanya Mami Dokter Safira.

Mata Cloudy membesar. Dia ingat satu pepatah, perbuatan baik menyemai sepuluh kali buah kebaikan. (udah vote?) Jika Cloudy berbuat sangat baik, maka dia akan mendapat sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, sangat BAIIIIK!

Oke, ini waktunya berbuat kebaikan.

"Pagi, Letta," sapa Cloudy.

Letta berhenti berjalan. Dia menoleh pada Cloudy. Matanya hanya bertahan dua detik menatap Cloudy, lantas berkelana ke segala arah. Kemudian kembali lagi ke Cloudy. "Hai," sapa balik Letta ragu-ragu.

Cloudy memasang senyum lebar, menutupi ketololan yang hinggap. Biasanya cowok basa-basi apa ke cewek?

"Udah sarapan?" Tanya Cloudy.

WeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang