Chapter 1

3.4K 307 35
                                    

Mark suka ketenangan. Itu sebabnya ia lebih memilih untuk pindah ke Mokpo bersama sang nenek daripada tinggal di Seoul seorang diri dengan teman-teman yang menurut Mark berisik. Bukan berisik dalam hal yang menyenangkan, tapi berisik mereka merupakan penghinaan bagi Mark.

"Mark, bagaimana rasanya menjadi miskin?"

"Bagaimana bisa konglomerat sepertimu jatuh miskin hanya dalam hitungan detik?"

"Hey, Mark! Kau sebatang kara sekarang, jadi jangan banyak tingkah!"

"Mark.."

"Mark.."

"Mark.."

Setiap namanya dipanggil pasti akan berujung pada penghinaan.

Mark kaya, ia putra bungsu dari keluarga konglomerat. Ia juga bukan sebatang kara, ia punya Ayah, Ibu dan kakak.

Tapi itu dulu, sebelum Tuhan merenggut semua dari Mark. Merenggut mereka yang menjadi poros kebahagiaan Mark. Perusahaan sang ayah yang selama belasan tahun berjalan dengan lancar dan menghasilkan banyak uang, tiba-tiba saja bangkrut dan mereka jatuh miskin. Mark tidak pernah tau apa sebabnya, kedua orangtua dan kakaknya bilang ia masih terlalu muda untuk mengerti.

Tidak masalah jika mereka miskin, bahkan Mark juga tidak mengeluh ketika ia harus pindah kerumah atap kecil dengan harga sewa super murah. Ia juga dengan senang hati bekerja part-time di swalayan terdekat untuk biaya sekolah, yang entah sial atau beruntungnya adalah sekolah elit dengan biaya yang menurut Mark luar biasa mahal, tentu saja jika dihitung berdasarkan keadaannya saat ini.

Sedih?

Tentu saja.

Tapi Mark bersyukur dan bahagia karena masih memiliki keluarga lengkap.

Sayangnya, lagi-lagi Tuhan merebut lagi kebahagiaan Mark.

Malam ketika ia pulang dari kerja paruh waktu, ia menemukan sang ayah dan ibu tertidur di lantai dengan mulut penuh busa dan wajah seputih kapas. Mark menyentuh mereka, mencoba membangunkan, namun tubuh mereka begitu kaku dan dingin. Ia tidak ingin mempercayai bahwa kedua orangtuanya telah pergi, hingga tetangga yang mendengar teriakan Mark memanggil ambulan dan kedua orangtua mereka dinyatakan meninggal. Mereka tak bisa lagi diselamatkan setelah meminum sebotol kecil racun sianida.

Mark terpukul, terlebih lagi  kakaknya, Johnny. Johnny, yang biasa menjadi orang yang paling kuat benar-benar sangat frustasi karena kepergian orangtua mereka yang menurutnya menggenaskan. Kakaknya yang frustasi pada akhirnya memilih menceburkan diri ke Sungai Han yang saat itu sebagian telah membeku karena rendahnya suhu musim dingin.

Mark kehilangan.

Dan ia juga ditinggalkan.

Ayah, Ibu, dan juga Kakanya.

Orang yang Mark pikir menyayanginya dan tidak akan pernah meninggalkan Mark sendiri, justru malah pergi begitu saja. Tanpa salam maupun pelukan perpisahan, meninggalkan Mark begitu saja seolah tak ada rasa peduli.

Jika saja Mark sama bodoh dengan mereka, tentu Mark sudah akan membunuh dirinya sendiri. Menabrakkan diri ke kereta, menjatuhkan diri dari gedung yang tinggi, atau mungkin menceburkan diri ke Sungai Han sama seperti yang kakaknya lakukan. Tapi Mark tidak sebodoh itu, Mark tidak ingin menjadi sama bodohnya dengan mereka. Sebab itu Mark lebih memilih mengikuti sang nenek, pergi jauh dari ibu kota dan mencoba hidup tenang di tempat yang baru.

Baru seminggu ia pindah kesini, Mark sudah merasa nyaman. Pantai yang tak jauh dari rumah neneknya selalu menjadi tempat favourite Mark. Duduk di bawah tebing yang menjulang di bibir pantai sambil memetik gitar peninggalan kakaknya merupakan kegiatan favourite Mark. Ia belum siap untuk kembali ke sekolah, dan ia masih membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Menghapus segala kenangan buruk yang bersarang di otaknya.

Mark menghentikan petikan pada gitarnya dan melirik pada jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sudah hampir sore, sepertinya Mark harus kembali sebelum neneknya menjadi panik dan berkeliling kampung untuk mencari Mark seperti beberapa waktu yang lalu.

Ia baru saja akan beranjak dari tempat sebelum sebuah suara gedebuk yang entah dari mana mengalihkan perhatiannya. Mark menoleh, dan tepat saat itu ia melihat seorang bocah laki-laki yang hampir seumuran Mark jatuh terduduk dibalik batu yang cukup besar. Sepertinya bocah itu baru saja terjugkal.

Mark segera berdiri dan menghampiri bocah itu.

"Kau baik-baik aja?" Mark mengulurkan tangan.

Bocah itu mendongak sambil mengelus pantatnya yang terasa sakit akibat terjatuh tadi. Tapi bukannya menerima uluran tangan Mark, bocah itu justru terdiam menatap Mark. Mata sipit bocah itu membelalak dan pipi putihnya memerah.

Mark mengernyit, sepertinya bocah itu terjatuh keras sekali hingga membuat wajahnya memerah.

"Hei, kau baik-baik saja kan?" tanya Mark sekali lagi.

Bocah itu tersadar, kemudian mengangguk cepat menjawab pertanyaan Mark. Mark berpikir mungkin bocah itu akan menerima uluran tangannya dan segera berdiri, tapi Mark salah. Bocah itu justru berdiri sendiri dengan wajah yang tiba-tiba saja berubah panik. Pipinya juga semakin memerah.

"A-aku tidak ber-bermaksud mengintipmu.. sungguh" ucap bocah itu dengan terbata.

Mark mengernyit lagi, lalu menarik tangan yang terulur dengan kecewa. Ia menatap bocah itu bingung.

"Apa sih yang sedang kau bicarakan?" Mark sungguh tidak mengerti.

"Aku ti-tidak mengintipmu, sung-sungguh" itu kalimat terakhirnya sebelum berjalan dengan terburu-buru menginggalkan Mark.

Mark terdiam. Menggaruk belakang kepala yang tidak gatal.

Apa tadi Mark mengatakan sesuatu yang bisa membuat orang berlari ketakutan?

.

.

.

TBC~

Jangan lupa jejaknya yaaaa~

Kritik saran juga dipersilahkan :3

Next chapternya tergantung jejak yang kalian tinggalkan..hehe

Thankyou.

Someone To StayWhere stories live. Discover now