Chapter 8

1.1K 145 14
                                    

Setengah jam berlalu, dan Jeno belum juga menampakkan diri. Leher Mark bahkan sudah pegal karena harus menoleh ke arah toilet berkali-kali. Berharapa menemukan Jeno yang sedang berjalan ke arahnya.

"Hei, nak"

Mark tersentak ketika seseorang menyentuh pundaknya dari belakang. Ia menoleh dan mendapati seorang pria paruh baya dengan seragam kebersihan sedang menatapnya.

"Paman siapa?" Mark bingung.

"Apa bocah dengan sweater putih bergambar beruang tadi itu temanmu? Yang pergi ke kamar mandi" petugas kebersihan itu bertanya pada Mark.

Mark mengangguk. Itu Jeno, malaikatnya.

"Benar, paman. Memang ada apa?"

"Lebih baik kau segera menyusulnya ke toilet"

Jawaban orang itu membuat perasaan Mark menjadi tidak nyaman. Ia tiba-tiba saja diselimuti rasa khwatir.

"Memang ada apa dengan temanku, paman?"

"Aku sempat mendengar suara rintihan dari dalam bilik toilet yang dia masuki, sepertinya dia tidak sedang baik-baik saja"

Mata Mark membelalak, dan sedetik kemudian ia mulai berdiri lalu berlari ke toilet. Meninggalkan si pemberi informasi tanpa mengucapkan terimakasih atau sejenisnya. Ia tahu paman itu pasti mengira dirinya tidak tau sopan santun, tapi keadaan Jeno jauh lebih penting.

Toilet terlihat sepi ketika Mark masuk. Membuat Mark bisa mendengar suara gemercik air dan nafas terengah dari dalam bilik toilet nomer dua yang tertutup rapat. Ia mendekatkan diri dan menempelkan telinga pada pintu, mencoba memastikan suara yang ia dengar. Dan benar saja, suara nafas terengah itu semakin jelas didengarnya.

Suara yang tidak asing di telinga Mark.

Itu suara Jeno.

"Jeno? Kau didalam?" tanya Mark sambil mengetuk pintunya pelan.

Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara nafas seperti tadi. Mark semakin khawatir, ia mengetuk pintu itu kembali.

"Jeno-ya, ini hyung! Kau baik-baik saja di dalam? Buka pintunya!" nada suara Mark bercampur antara rasa khawatir dan rasa tidak sabar. Ia benar-benar takut jika terjadi seuatu yang buruk pada Jeno.

KLEK

Pintu terbuka, dan Jeno muncul dibaliknya.

Bocah itu tersenyum, malaikat Mark masih tersenyum. Hanya saja senyumanya tetap tak mampu menutupi raut muka yang sedang menahan sakit. Wajahnya seputih kapas dengan keringat sebesar biji jagung.

"Jen! Kau sakit?" Mark mendekati Jeno dan merengkuh wajah bocah itu, manatap khawatir pada bocah yang saat ini terlihat begitu memprihatinkan.

Jeno menggeleng, mencoba memaksakan senyum pada Mark.

"Kau terlihat sangat tidak baik-baik saja, Jen. Kau sakit?" tanya Mark sekali lagi.

"Hyung.. aku ingin.. pulang" suara Jeno hampir terdengar seperti bisikan di telinga Mark.

Mark mengangguk cepat. Ia berjongkok di depan Jeno, berniat memberikan punggungnya sebagai tumpangan bagi Jeno. Mark mana tega membiarkan bocah itu berjalan sendiri dalam keadaan seperti itu.

"Hyung..tidak perlu. Aku itu berat.." tolak Jeno. Ia tidak ingin merepotkan Mark.

"Naik atau kita akan tetap disini sampai besok?"

Dan ancaman Mark berhasil membuat Jeno mulai memposisikan dirinya perlahan di punggung Mark.

.

Selama perjalanan menuju stasiun kereta, Mark tak hentinya mengkhawatirkan Jeno.

Bocah itu terus menerus menutup mata dan tarikan nafasnya terdengar begitu berat. Meski sesekali bergumam bahwa ia baik-baik saja, Mark rasa itu hanya kebohongan belaka. Sekedar duduk menunggu Mark membeli tiket saja bocah itu tak sanggup sehingga ia harus berbaring di kursi tunggu hingga mengundang tatapan prihatin orang yang berlalu-lalang.

Mana mungkin seperti itu bisa dikatakan baik-baik saja?

Sekarang di kereta pun, bocah itu terus menyandarkan kepala di pundak Mark dan tertidur. Nafasnya tetap berat seperti tadi, sungguh membuat Mark semakin khawatir serta bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi pada bocah itu.

Ketika berangkat Jeno terlihat begitu sehat, bahkan tadi ia mengahabiskan sebungkus ramyun dan dua tusuk hotdog, seharusnya ia punya banyak tenaga setelah makan sebanyak itu.

Tapi kenapa bocah itu malah seperti ini?

Apa makanan tadi beracun?

Itu konyol. Mark pasti akan bernasib sama seperti Jeno jika makanan tadi beracun.

Suara yang mengatakan bahwa mereka telah tiba di stasiun Mokpo tedengar dan kereta mereka berhenti sesaat setelahnya.

Mark mencoba mengguncang tubuh Jeno selembut mungkin agar tidak menambah penderitaan malaikatnya, namun Jeno hanya membuka mata sebentar dan kemudian kembali menutup mata. Itu artinya Mark harus kembali menggendong Jeno.

Punggung Mark rasanya begitu sakit karena terus menggendong Jeno sejak mereka di Seoul. Tapi sunggguh tidak masalah bagi Mark, Jeno saat ini jauh lebih penting dari punggungnya. Toh tubuh Jeno tidak berat, bahkan cenderung ringan.

Mark turun dari kereta dengan Jeno di punggungnya dan mulai berjalan menuju rumah, lebih tepatnya rumah Jeno. Beruntung jarak stasiun dan desa mereka cukup dekat, hanya butuh 15 menit jika berjalan kaki.

Rasa takut menghampiri Mark ketika ia tiba di halaman rumah Jeno. Disana ada ayah dan kakak Jeno, bahkan neneknya juga ada disana. Wajah mereka terlihat suram. Tatapan mereka ketika Mark berjalan mendekati mereka sungguh tak dapat diartikan.

"Jeno!" Taeyong –kakak Jeno- berlari menghampiri Mark dan mengambil alih tubuh Jeno, membopongnya masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh ayah Jeno yang terlihat begitu khawatir.

Neneknya menatap Mark sejenak sebelum akhirnya ikut masuk ke dalam rumah Jeno, dan tatapannya juga sulit diartikan. Mark menunduk dalam, tak berani membalas tatapan neneknya. Salah Mark mau menuruti permintaan Jeno untuk ke Seoul dan membuat Jeno sakit.

"Jeno-ya!"

Ia yang baru saja melangkahkan kakinya memasuki rumah Jeno dikagetkan oleh suara pekikan Taeyong dan ayah Jeno. Beberapa saat kemudian, suara erangan serta nafas yang memburu juga ikut terdengar. Ini pertama kali Mark masuk ke dalam rumah Jeno, dan ia tidak tahu dimana kamar Jeno, jadi ia hanya mengikuti sumber suara. Hingga ia menemukan kamar yang setengah terbuka dan ada orang-orang tadi dalamnya.

Namun tubuh Mark kaku seketika melihat pemandangan di depannya.

Jeno, malaikatnya, sedang meringkuk dan mengerang kesakitan sambil meremas dadanya sendiri. Wajah yang tadi sudah pucat semakin terlihat pucat. Dan bibirnya.. membiru?

Nafas Jeno memburu, wajahnya sarat akan kesakitan dan tubuhnya basah oleh keringat. Jangan lupakan mulut yang terus menerus mengeluarkan suara erangan, membuat orang disekitarnya berteriak panik.

"Jeno-ya.." lirih Mark tanpa bergerak seincipun dari tempatnya berdiri. Mark ketakutan, sungguh. Ini pertama kalinya ia melihat seseorang kesakitan seperti itu, dan terlebih yang ia lihat adalah malaikatnya sendiri. Hatinya seperti disambar petir.

Seseorang, tolong katakan pada Mark apa yang sedang terjadi pada malaikatnya.

.

.

.

TBC~

Udah tau kan sekarang Jeno kenapa? Hehehe

Jangan lupa tinggalkan jejak ya biar aku semangat terus buat nulis >_<

Maaf juga lama ga nyentuh lapak ini :(

Thankyou~

Someone To StayWhere stories live. Discover now