Chapter 3

1.8K 270 38
                                    


Seperti biasa, Mark duduk di tempat yang menjadi favouritnya dan memetik senar-senar gitarnya. Sesekali menggumamkan sebuah lagu seirama dengan suara yang dihasilkan. Mata remaja itu terpejam, menikmati lembut belaian angin pantai. Rasanya begitu menangkan.

Diantara mata yang terpejam, ada sebuah bayangan yang melintas di pikirannya. Bayangan akan hari kemarin, ketika ia tidak sengaja bertemu dengan bocah aneh itu. Yang matanya dipenuhi oleh ketakutan ketika Mark mendekatinya dan malah berlari ketika Mark mengulurkan tangan untuk membantu. Entah kenapa tiba-tiba saja Mark terpikirkan akan kejadian kemarin.

Mark membuka mata. Tanpa menunggu aba-aba dari Mark, matanya dengan lancang menyusuri setiap sudut pantai. Seperti mencari sesuatu. Entah apa yang sedang ia cari. Tapi dalam hati, Mark berharap ia akan menemukan bocah aneh kemarin.

Kulit yang putih. Tubuhnya hampir sama tinggi dengan Mark tapi terlihat kurus. Mata sipit yang mirip bulan sabit. Wajah yang gugup bercampur ketakutan. Entah kenapa Mark ingin melihatnya lagi.

Kenapa tiba-tiba saja Mark mengharapkan kehadiran bocah aneh yang bahkan tidak Mark ketahui namanya?

Lee Jeno..

Nama yang kemarin disebut oleh nenek.

Apakah itu namanya?

.

.

.

Ini sudah hari ke-4, namun Mark belum juga menemukan sosok yang ia cari. Ia sudah menunggu ditempat biasa bahkan hingga matahari hampir terbenam, namun bocah itu tak kunjung muncul. Padahal Mark berharap sekali akan menemukan sosok itu dibalik batu besar yang tak jauh dari tempatnya duduk. Tempat dimana bocah itu biasa melihatnya. Ah, lebih tepatnya mengintip.

Mark tidak bodoh, ia cukup peka untuk merasakan kehadiran sosok selain dirinya untuk beberapa kali ketika berada di tempat ini. Sebut saja Mark ini terlalu percaya diri, namun nyatanya bocah itu memang mengintip Mark. Mata bulan sabitnya melengkung sempurna ketika Mark mulai memetik gitar dan menyenandungkan sebuah lagu. Bibir tipisnya yang terkadang terlihat pucat juga tersenyum.

Lantas kenapa Mark tak menyapa?

Mark malu. Jika mengingat masa lalunya, Mark merasa tak pantas menyapa malaikat semacam itu. Ia masih ingat ketika teman-teman lama mulai menjauh dan mencemooh Maraj yang mendadak jatuh miskin. Belum lagi ketika seluruh keluarganya meninggal dengan cara yang menyakitkan –bunuh diri-, tatapan benci mereka berubah menjadi jijik. Dan hal itu tentu saja memiliki pengaruh besar pada revolusi mentalnya.

Namun Mark bertekad, jika saja bocah itu muncul hari ini, ia akan menyapanya. Nenek bilang, Mark tidak seburuk yang orang lain katakan. Dan nenek juga bilang kalau bocah yang mungkin bernama Lee Jeno itu adalah anak yang sangat ramah. Jadi Mark benar-benar telah mengumpulkan keberanian.

Wush~

Angin berhembus sedikit kencang, membawa butiran pasir pantai halus terbang bahkan menyelinap dimatanya. Membuat Mark reflek memiringkan kepala ke samping dan memejamkan mata, hingga ia rasa pasir itu mulai berhenti berterbangan.

Dan luar biasanya, ketika ia membuka mata, ia melihat sosok itu. Sosok yang ia tunggu dan ia cari. Berdiri dibalik batu besar, seperti biasa. Matanya menutup rapat, sama seperti yang Mark lakukan. Tangan kurusnya menutup bagian mulut hingga hidungnya. Dan beberapa saat setelah bocah itu membuka mata, mata mereka bertemu.

Bocah itu terbelalak. Matanya mengerjap polos dan wajah putihnya memerah. Ia ingin sekali lari seperti yang ia lakukan saat pertama kali kepergok oleh sosok yang ia amati, namun kali ini tak bisa. Sosok Mark yang sedang menatap sambil tersenyum lebar seperti sihir yang melumpuhkan saraf.

Tak ingin melewatkan kesempatan, Mark bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati bocah yang mematung itu. Berdiri tepat disamping bocah yang masih mematung itu.

"Lee.. Jeno?"

Mata sipitnya terbelalak, menatap Mark tak percaya. Matanya pun berbinar.

"Kau.. mengenalku?"

"Jadi benar namamu Lee Jeno?"

Bocah itu dengan polosnya mengangguk, masih menatap Mark dengan tatapan kagum serta terkejut. Rasanya sulit mempercayai bahwa Mark mengetahui namanya. Ia memang belum mengenal Mark, namun ia tahu nama Mark dari desas-desus warga desa yang mengatakan bahwa cucu nenek Lee dari Seoul datang ke desa. Mereka bilang cucu nenek Lee sangat tampan, dan tentu saja membuat Jeno penasaran.

"Kenapa kau tak datang kesini untuk mengintipku beberapa hari ini?"

Mata sipit itu kembali terbelalak. Kali ini pupilnya bergerak tak tenang, ia panik.

Apakah selama ini Mark tahu kalau Jeno mengintip?

"Tidak! Aku bukan pengintip!"

Jeno mengutuk mulut yang seenaknya berucap tanpa bisa ia cegah. Padahal sudah tertangkap basah, tetapi masih saja mengelak.

Mark tersenyum geli. Ekspresi bocah dihadapannya ini lucu sekali.

"Benarkah? Memperhatikan orang dari dekat dan tak menyapa bukannya disebut dengan mengintip ya?"

Mark mendekatkan wajah pada Jeno, membuat wajah bocah itu memanas, kemudian menutup wajah dengan kedua tangan. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, dan itu bukan pertanda baik. Ia kemudian jatuh terduduk diatas pasir, masih dengan tangan yang menutupi muka.

Mark menajuhkan wajahnya dan tertawa sedikit keras.

Jeno sedikit tersentak mendengar tawa Mark. Ada setitik rasa lega dan bahagia mendengar tawa lepas itu. Ia tahu seperti apa masa lalu Mark, karena desas-desus yang beredar tak hanya tentang wajah tampan saja, melainkan juga masa lalunya. Tentang keluarganya yang bunuh diri. Ya maklum saja, di desa kecil dengan sedikit penduduk, gosip sekecil apapun akan cepat menyebar seperti angin.

"Murk..hyung?"

Mark mengehentikan tawanya. Suara Jeno berat, namun juga lembut saat memanggil namanya.

"Namaku Mark, bukan Murk"

Jeno mengabaikannya. Ia berdiri dari posisinya.

"Aku suka tertawanya Murk hyung, jadi hyung harus lebih sering tertawa ya"

Sedikit malu-malu memang, tapi setidaknya Jeno sudah mengatakannya. Tawa Mark sungguh membuat hatinya damai.

Sedangkan Mark terdiam. Jantungnya berdetak kencang.

"Ah, aku ke rumah nenekku beberapa hari kemarin makanya tak sempat kemari. Hyung, sudah hampir sore. Aku harus pulang, besok ayo bertemu lagi disini dan aku tidak akan lagi mengintipmu. Aku pulang dulu, annyeong Murk-hyung"

Jeno bergegap meninggalkan tempat, meninggalkan Mark yang masih membatu.

"Hei, Lee Jeno! Panggil saja aku Minhyung jika kau kesulitan mengeja nama inggrisku!"

Dan Jeno yang memiliki pendegaran tajam tentu saja mendengarnya. Ia berbalik dan mengaucungkan jempol pada Mark. Lalu mempercepat langkahnya untuk pulang ke rumah.

.

.

.

TBC~

Pendek-pendek dulu ya~~ hehehe

Maaf banget kalau slow update, mohon pengertiannya :3 :')

Kritik saran boleh lho yaaa~~

Soalnya ide author buat ff ini sedikit terbatas, jadi author butuh masukan dari kalian..hehehe

Jangan lupa jejaknya yaaa

Thankyou.

Someone To StayWhere stories live. Discover now