Chapter 9

1K 111 17
                                    

Mark tidak suka rumah sakit. Dan berada di lorong sepi bersama orang-orang yang sedang dilanda kepanikan membuat Mark menjadi berjuta kali lebih membenci tempat ini. Kakak Jeno berjalan mondar-mandir di depan pintu ICU, tempat Jeno dibawa masuk tadi. Ayah Jeno duduk di kursi dengan nenek Mark yang menenangkan di sampingnya.

Mark?

Bocah itu tertunduk dalam disebelah neneknya. Bocah itu tenggelam dalam pikirannya.

"Minhyung-ah" neneknya memanggil, namun tak ada jawaban.

"Minhyung-ah" dan panggilan kedua neneknya berhasil membuat Mark mendongakkan kepala dan menoleh pada neneknya. Ia baru menyadari bahwa saat ini bukan hanya nenek yang sedang menatapnya, melainkan ayah dan kakak Jeno juga menatapnya. Tatapan mereka seolah meminta penjelasan.

"Aku minta maaf" lirih Mark, ia kembali menunduk dalam. Mati-matian ia menahan air mata yang mulai memenuhi kelopak mata.

"Minhyung-ah, bisa kau ceritakan apa yang terjadi sebenarnya?" suara ayah Jeno terdengar begitu lembut di telinga Mark, membuat Mark teringat akan mendiang sang ayah.

"Maafkan aku, paman" hanya itu yang bisa Mark ucapkan. Ia takut jika ayah Jeno akan marah padanya.

"Tak apa, Minhyung. Paman tidak akan marah asal kau menjelaskan semua dengan jujur"

Kelembutan ayah Jeno membuat Mark mulai mengangkat kepala, menatap ayah Jeno dan mulai bercerita.

"Sejak beberapa hari yang lalu, Jeno merengek padaku untuk menaminya pergi ke Seoul-"

"Seoul? Kalian pergi ke Seoul?" suara Taeyong menginterupsi cerita Mark, nadanya terdengar begitu terkejut. Lelaki itu menatap Mark dengan tatapan marah. Dan ketika sang ayah memberikan tatapan pada Taeyong seolah mengatakan –diam dan dengarkan saja-, lelaki itu terdiam.

"Awalnya aku menolak, karena aku benci pada kenangan yang ada di Seoul. Tapi Jeno bilang ia belum pernah melihat Sungai Han, dan bilang ia tidak ingin menjadi satu-satunya orang Korea Selatan yang meninggal tanpa sekalipun berkunjung ke Sungai Han. Jadi aku menurutinya. Maafkan aku, aku salah paman"

Mark berhenti bercerita. Ia sungguh merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada Jeno. Jika saja ia tak menuruti permintaan Jeno, bocah itu tak akan sakit seperti ini.

Ayah Jeno mengangguk mengerti. Ia tersenyum lembut dan mengusap rambut Mark dengan sayang.

"Tak apa, sayang. Kau sudah menjadi teman yang baik bagi Jeno, tak perlu merasa bersalah"

Akhirnya Mark tahu darimana sifat Jeno yang seperti malaikat berasal, ternyata menurun dari sang ayah. Lelaki itu terlalu baik untuk ukuran seorang ayah yang anaknya hampir saja mati karena Mark.

KLEK

Pintu ruang ICU terbuka, seorang dokter keluar dari dalam dan wajahnya terlihat serius.

"Kibum-ah, bagaimana keadaan putraku?" ayah Jeno segera berjalan mengahampiri dokter yang ia panggil dengan Kibum tadi.

"Apa Jeno baru saja melakukan aktivitas yang berat?" dokter itu bertanya dengan nada serius.

Mark terdiam dan kemudain teringat akan sesuatu.

"Jeno memintaku mengajarinya bermain basket, dan aku menurutinya" sahut Mark tiba-tiba, membuat semua orang beralih menatapnya.

Dokter itu menghela nafas.

"Hyung, bukankah sudah kubilang untuk tidak membiarkannya melakukan aktivitas yang terlalu berat? Itu sama saja dengan membunuhnya"

Semua orang terdiam termasuk Mark. Mendengar ucapan sang dokter, Mark semakin merasa bersalah. Ia merutuki diri sendiri yang dengan bodohnya hampir membunuh Jeno.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 19, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Someone To StayWhere stories live. Discover now