Dua

12 2 2
                                    

DUA

Aku merasa kalau kelasku ini benar-benar kelas buangan. Setelah aku disini selama sebulan, aku sudah berjalan-jalan ke ruang kelas lain dan ternyata ruang kelas mereka jauh lebih luas dari ruang kelasku, ditambah lagi anak-anak yang dianggap paling bandel dan menyebalkan ada di kelasku, tentu tak semuanya, setiap kelas biasanya punya karakter siswa seperti itu, tapi dikelasku adalah yang terbanyak. Mereka bahkan seakan sudah punya geng masing-masing.
Banyak yang mengatakan kalau masa SMA adalah masa-masa yang indah, tapi sejauh ini aku merasa biasa-biasa saja, tidak ada yang special menurutku. Mungkin yang membuat hidupku tidak terlalu terasa membosankan adalah karena dikelas, aku memiliki beberapa teman yang lumayan klop dengan ku. Ada yang namanya Tanti, yang sekarang menjadi teman sebangku ku. Dia lebih tinggi dariku, tingginya sekitar 167 cm dan aku cuma 158 cm. dia memiliki kulit kuning bersih, badannya proporsional, dia memakai jilbab dan dia adalah anak pendiam.
Ada juga Rizka, dia adalah gadis yang tangguh, rambutnya lurus, hitam dan sangat panjang, Rizka itu anak yang sangat cerewet tapi tegas. Dia juga teman sebangku ku. Karena ruang kelasku yang terlalu kecil, jadi 2 dari 4 deret bangku harus ditata masing-masing 3 bangku saling berdempetan. Aku duduk ditengah-tengah, sebelah kiriku adalah Tanti dan sebelah kanan adalah Rizka. Tanti sangat diam dan tenang, sedangkan Rizka sangat berisik, dia sering bertengkar denganku, tapi itu hanya pertengkaran yang menunjukkan keakraban kami saja. Mungkin itu sebabnya telingaku sebelah kanan kurang baik sensornya, mungkin karena terlalu sering diteriaki Rizka.
Ada lagi satu teman sekelasku yang sangat pendiam. Namanya Lidia, dia duduk di bangku ke dua tepat di belakangku. Aku tak terlalu mengenalnya, tapi aku terkesan saat dia maju ke depan kelas membaca puisi di pelajaran Bahasa Indonesia. Penghayatannya sungguh luar biasa, bahkan dia sampai menangis saat membaca puisi itu. Yah, dia lumayan menarik dijadikan teman.

***

Sudah pukul 6 pagi ketika aku baru membuka mata, dan hari ini adalah hari senin dan waktunya kelas X-5 menjadi petugas upacara. Dan aku kebagian membacakan Pembukaan UUD 1945, tentu saja aku tidak boleh terlambat, tidak!!! tidak untuk hari ini.
Aku bergegas menuju kamar mandi, pagi ini aku harus mandi dengan akselerasi tingkat tinggi, begitu juga dengan sarapan. Untungnya aku bukan maniak nasi seperti kakakku yang tak akan kuat kalau tidak sarapan nasi. Pagi ini cukup sebutir telur rebus hangat dan segelas susu Dancow putih hangat favoritku.
Tepat pukul 06:20 aku beranjak keluar dari rumah. Aku tak sempat melihat apakah semua buku untuk pelajaran hari ini terbawa semua atau tidak. Waktu yang kubutuhkan untuk sampai disekolah adalah 5 menit, aku pun bergegas mengendarai motor Honda Grand merah keluaran tahun 1996 milik ayahku.
Saat aku sampai di sekolah, teman-temanku sudah bersiap di posisi masing-masing. Aku bergegas menuju kelas dan kembali ke lapangan karena upacara bendera akan segera dimulai. Pagi ini sangat cerah, daun-daun bergoyang menimbulkan suara teduh ditengah suara para siswa berbisik-bisik ingin segera mengakhiri upacara bendera. Pagi ini angin bertiup santai, tidak seperti biasanya. Mungkin karena tanaman tebu di belakang sekolah sudah tumbuh tinggi jadi angina tak bisa langsung menerobos masuk ke lapangan sekolah, kalau saja tebu-tebu itu sudah ditebang, pasti angin akan menyerbu lapangan tanpa ampun, itu karena letak SMA ini ada di tengah-tengah persawahan yang berhektar-hktar luasnya. Yang jelas aku bersyukur pagi ini aku bisa menikmati hembusan lembut angin pagi yang menyegarkan, ah… pagi yang indah.
Rizka yang sejak tadi berdiri di sampingku dan bertugas sebagai protocol memegang tanganku erat-erat, dan tak lama kemudian dia jatuh. aku sangat kaget dan menahannya. Apa boleh buat, badan Rizka jauh lebih besar dariku dan tentu aku tak bisa menahan tubuhnya agar tidak jatuh ke tanah. Aku hamper saja ikut terseret ke tanah, tapi setidaknya aku berhasil menahan dengan kekuatan penuh, jadi tubuh Rizka tak harus terbentur keras ke tanah.
Dalam keadaan panic aku langsung berteriak dengan keras,
“Help!!! please help me”
Aku lupa kalau aku sedang menjadi petugas upacara, ah celaka kenapa aku berteriak dengan sangat kencang? Seketika semua mata melihat kearahku. Wali kelasku yang sejak tadi berdiri di samping barisan paduan suara di belakangku langsung bergegas menghampiri Rizka, di belakangnya ada 3 siswa petugas kesehatan berlari kearahku. Mereka membawa Rizka ke ruang UKS.
Baiklah cukup memikirkan nasib Rizka, sekarang masalahnya adalah siapa yang akan menjadi petugas protocol? Semua orang seakan berbicara hanya dengan tatapan mata dan ekspresi mereka, tanpa sepatah kata pun terucap seakan mereka kompak mengalihkan tugas itu padaku. Baiklah, ini akan baik-baik saja. aku mengisi dua posisi sekaligus.
Aku bersyukur upacara bendera kali ini berjalan lancar, setidaknya tak terlalu memalukan. Untuk standarku yang belum pernah sekalipun menjadi petugas upacara bendera kecuali menjadi tim paduan suara, bisa dikatakan kali ini aku sukses menjalankan tugasku.
Rizka sudah kembali ke kelas saat aku kembali dari kopsis bersama Tanti. Dia tampak sehat dan bahagia. Aku langsung menghampirinya sembari menjambak rambutnya untuk beberapa detik.
“Hai, kampret kenapa pingsanmu harus pas jadi petugas upacara sih?”
“Ya namanya pingsan mana bisa tak atur waktunya, Mo?”
“Ah, waktunya gak tepat tau, pakek pingsan di sampingku pula, aku tadi gak sengaja langsung triak sekenceng-kencengnya, malu ni maluuu diliatin orang-orang.”
“Hahahahaha, dasar bego’ yo upacara bendera ojo triak-triak Mo, dikosek kepala sekolah kamu.”
“Ah entah lah, lagian ngapain sih pake pingsan segala? Kenapa emang?”
“Aku tadi pagi lupa gak sarapan Mo, laper.”
Saat mendengar jawaban Rizka, seketika itu juga aku mencekiknya dengan lenganku, ya tentu saja tidak benar-benar ku cekik, hanya untuk melampiaskan kekesalanku saja. ditambah lagi, gaya Bahasa kami bisa dibilang kasar untuk ukuran anak perempuan, selain menggunakan “bahasa walikan” khas Malang, kami juga selalu menggunakan kata-kata kasar dan berbicara sangat keras, tapi aku sama sekali tidak terganggu karena menurutku itulah cara kami menunjukkan kedekatan kami. Aku merasa hidupku sebagai siswa SMA disini mulai asik. Gaya berteman yang tidak dibuat-buat dan sok manis ini membuatku nyaman. Walaupun banyak diantara teman sekelasku yang tidak menyukai sikapku ini, tapi aku tidak pernah peduli, toh aku sudah biasa dibenci banyak orang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 25, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SOLITUDE BREAKERWhere stories live. Discover now