Hari itu di Bulan Desember

17 4 0
                                    

Tepat hari dimana usiamu bertambah dan jatah hidupmu berkurang, aku menyiapkan sepercik kejutan kecil dengan tersipu malu. Entah, apa yang kulakukan itu salah ataukah benar. Hanya ku sajikan kue kecil dengan lilin merah yang membangunkan gelombang api. Tiada rencana pasti karna ku terlalu malu untuk memberikan kejutan kecil itu. Kotak biru ku ikat bersama pita abu, dengan scrapbook ,jam tangan coklat, dan baju abu yang kumasukkan. Sangat sederhana, namun ku ingin membuatnya bermakna.
    
Kau tau, mengapa kuberi kau jam tangan itu? Karna menjadi sebuah jam tangan itu adalah bagian dari mimpi konyolku terhadapmu. Aku ingin menjadi jam tangan yang selalu melingkar pada tanganmu, yang kau perhatikan setiap waktu, yang kau perbaiki ketika salah, yang kau anggap penting untuk melengkapi harimu. Meski ku tau, itu belum saatnya untuk menjadi sebuah jam tangan. Namun dengan jam yang kuberi, ku harap kau mampu membaca bisikan hatiku tentang air hujan yang jatuh bersama rindu yang kadang kunikmatinya bersama kopi hangat dan angin sendu yang menggoyangkan setiap daun di halamanku.
    
Selamat ulang tahun kekasihku, semoga setiap langkahmu Tuhan berkati dengan kebahagiaan dan keselamatan. Aku harap, segala yang kau semogakan akan menjadi kenyataan. Arfan, di hari yang istimewa ini sebenarnya aku ingin bercengkrama di teras biru kala itu, hanya aku dan kamu. Namun, hati ini terlalu malu untuk mengutarakannya. Kau bersama temanmu, dan aku bersama temanku. Kita  hanya saling tatap satu sama lain. Tersenyum malu untuk saling menyapa, hingga tersadar waktu bertemu kita tlah berakhir. Hari itu kau mengantarku pulang dan harus pergi lagi untuk melakukan pendidikanmu di sebuah universitas swasta ternama di Bandung. Ingin rasanya aku menyatakan segala yang ingin kuungkapkan, namun bibir ini terus bungkam hanya menikmati kepergian mobil hitam yang melaju semakin jauh. Akhir kata kala itu adalah "nanti ku telfon ya." katamu di sebuah pesan singkat saat beberapa langkah ku tutup gerbang rumahku setelah kepergianmu.

Hai jarak, kita bertemu lagi.
Hai penantian, mari kita bersahabat hingga rindu datang menyelesaikan urusannya.

Sebuah Langkah SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang