Empty

716 109 14
                                    

Kadang aku lupa, untuk apa aku hidup. Sering kali aku ingin menyerah, berhenti untuk bernapas. Mungkin, jika aku menyerah, semua beban ini akan berhenti.

Namun, setiap kali aku merencanakan itu, aku selalu gagal. Selalu ada hal yang membuatku kembali mengurungkan niat. Entah itu hal sederhana seperti sebuah pesan dari orang yang kunanti, atau melihat senyum adik-adik kecilku yang bermain.

"Kiara, kenapa belum pulang?"

Aku menoleh, lalu tersenyum kecil. "Sedang melihat bintang, mungkin ini kali terakhir aku bisa melihat bintang-bintang kecil itu."

"Maksudmu?"

"Mungkin saja, aku besok akan berada bersama mereka, terjebak di langit tanpa bisa ke mana-mana," jawabku sambil menoleh pada sosok manis berkuncir dua di sebelahku. "Kenapa kamu masih di sini?"

"Memastikan keadaanmu, sudah beberapa hari ini aku melihat wajahmu selalu murung. Ada apa?"

Tidak ingin menjawab, aku hanya menghela napas. "Pulanglah, aku akan baik-baik saja."

Dia masih tidak bergerak, matanya malah memandangiku lekat. "Tolong katakan padaku, besok aku masih bisa melihatmu."

Kubalas tatapan matanya. "Kita lihat besok saja, Indira. Aku tahu, aku masih akan tetap bisa melihatmu."

Gadis yang kupanggil Indira itu mengerutkan kening, lalu memeluk tubuhku erat. "Aku menyayangimu, jangan pergi."

×××

Lampu rumahku tampak gelap, meski dari luar aku bisa mendengar keributan di dalam sana. Kuhela napas, lagi dan lagi, entah sudah yang ke berapa kali. Hidupku yang sebenarnya baru saja akan dimulai.

"Kak Kiara!" sapa gadis kecil begitu aku masuk ke dalam rumah, ia memeluk kakiku erat. "Kenapa baru pulang?"

"Masih ada urusan tadi," jawabku sambil tersenyum, kuusap kepalanya, lalu menggandeng tangan gadis itu. "Mana Dewa dan Kak Kinanti?"

Belum sempat ia menjawab, mataku sudah dimanjakan dengan kondisi rumah yang sangat berantakan. Lagi, aku harus merapikan semuanya, tidak peduli betapa lelah tubuhku.

"Briana tidur di kamar, ya. Nanti Kakak nyusul," kataku berusaha tersenyum.

Gadis itu mengangguk, lalu berlari ke kamar, meninggalkanku sendiri. Pelan, aku jatuh terduduk. Sudah berapa lama aku melakukan semua ini? Mengerjakan semua hal yang mungkin tidak terbayang akan dikerjakan oleh gadis berumur delapan belas tahun.

Aku kehilangan waktu bermainku, sejak umurku masih sepuluh tahun. Ingatanku masih sangat jelas, ketika sebuah foto kutemukan di kamar orang tuaku kala itu. Bukti perselingkuhan Papa.

Sejak itu, masa kecilku terasa sangat buruk. Tidak ada hari tanpa pertengkaran antara kedua orang tuaku. Semua hanya tentang kesalahan-kesalahan Papa, dan bagaimana Ibu tidak mampu menerimanya.

Di depan mataku, aku melihat Ibu meminum obat anti depresi lebih dari dosis yang seharusnya, ia juga memotong habis foto-foto kebersamaannya dengan Papa, lalu membakar semuanya.

Harus apa aku saat itu? Menghakimi Papa? Atau melakukan hal yang sama dengan Ibu? Aku sendirian, tidak bisa melakukan apa pun, kehilangan arah, tanpa tahu apa yang sebaiknya aku pilih dan lakukan.

Waktu terus bergulir, akhirnya Papa kembali berpulang. Apa semuanya semakin baik setelah Papa tidak ada? Nyatanya itu malah menekanku dengan semakin keras.

Tok. Tok. Tok.

Kuhapus air mata yang mulai membasahi pipi setelah mengingat kejadian-kejadian yang sudah lewat tadi. Aku berdiri dan membuka pintu kamar.

GenreFest 2018: AngstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang