Realize

667 74 4
                                    

Di pojokkan kota aku terduduk lesu. Perlahan-lahan pemandangan di sekitar memburam. Rasa sakit seolah mencengkram dadaku. Merenggut satu per satu udara yang kini bertebaran. Lalu, cairan hangat itu perlahan mengalir. Suara isakkan tak bisa kuredam. Padahal pipi ini sudah kugigit kuat-kuat. Meskipun orang lain menoleh ke arahku, tapi tetap saja, mereka tak tahu apa yang kurasa. Mereka tak akan pernah tahu rasa sakit yang menghujam setelah aku mengangkat ponsel tadi.

Perlahan, langit yang sebelumnya mendung pun mengeluarkan gemuruh. Kemudian angin utara perlahan berembus. Hujan kesedihan pun turun. Padahal sudah sejauh ini aku pergi. Tapi tetap saja tak bisa melihatnya kembali. Hanya bisa menunduk penuh sesal di bawah payung.

Sementara orang-orang sudah mulai menyisi, aku yang bodoh masih tetap ada di sini, ditemani percikan air yang kian menderas. Sama seperti kehidupan kecilku. Harusnya aku sudah pergi dari tempat ini. Tapi tetap saja, dengan bodohnya aku masih menunggu. Padahal, air mata ini enggan memberikan jawaban. Tapi aku seolah masih bertanya dengan mengeluarkannya.

Hidup bisa selucu ini, atau lebih tepatnya bisa sebodoh ini. Rasanya duniaku penuh dengan air mata. Kehilangan kehangatannya kala mengalir. Digantikan dinginnya air hujan yang turun. Seolah berakhir begitu saja.

Aku bercanda, aku baik-baik saja.

Lagipula, kematian seseorang itu hal yang wajar, bukan?

***

"Chika, sadarlah!"

Suara seseorang menusuk telingaku berulang kali. Aku sadar dan seharusnya ia tak harus mengatakan hal itu. Jelas. Aku mendengar suaranya. Hanya saja ... aku enggan memberi respon. Hanya ingin terdiam dengan tubuh berjongkok sambil memandang kosong ke depan. Entah kenapa tubuhku rasanya lelah.

"Chika, sudah cuk—"

Aku baru menoleh, tapi cukup membuat ucapannya terpotong. Atau kata lainnya adalah tercekat—mungkin. Entahlah, kupikir aku hanya memberikan pandangan seperti biasanya. Ya, pasti ada yang salah dengan orang ini. Atau diriku.

"Hmm?" gumamanku tanpa sadar keluar. Padahal aku enggan sekali mengeluarkan suara saat ini. Hanya merepotkan dan membuat orang berpikir hal yang tak seharusnya tentangku. Mungkin sama seperti sosok di hadapanku sekarang.

Sok tahu.

"Chi...."

Sekarang, ia malah menggantung namaku saja. Raut wajahnya semakin suram menatapku. Padahal bukan aku yang mati di sini, tapi kenapa—

Tanpa sadar, pandanganku yang kosong terfokus pada sesuatu. Sebuah gundukan tanah basah tepat di hadapanku. Sebuah makam baru yang pada nisannya tertulis huruf kanji keluarga Akagi. Tentu saja aku mengenalnya sebab aku ada di sini, bukan? Tapi maaf, ya, aku baru ingat hal itu sekarang. Padahal, kalau tidak salah aku sudah berada di sini sejak tadi. Lucu, bukan?

"Chi...."

Orang itu bodoh, ya? Masih saja memanggil namaku. Padahal kalau mau bilang sesuatu tinggal katakan saja. Kalau memang mau sok tahu ya tinggal katakan. Menunda-nunda ucapan sepertinya tidak baik. Rasanya seperti ditusuk pisau berkarat perlahan-lahan. Juga, kalau ia keburu menyusul sosok di dalam makam ini bagai—

Grep....

"Chika, jangan seperti ini terus," ucapnya sambil mendekapku.

Entah kenapa dekapan itu membuat dadaku terasa sesak. Kini, malah napasku yang seolah direnggut. Juga, aku baru sadar kalau pandanganku masih saja buram. Padahal hujan sudah reda. Lagipula, aku pakai payung, kan?

GenreFest 2018: AngstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang