Should Be Not Too Hurt

572 72 2
                                    

"Ve, itu lantainya masih kotor, sapu lagi sana!"

Gadis berkuncir satu yang disebut namanya mengalihkan pandangan dari buku pelajaran, beberapa lipatan muncul di dahinya. "Sebelah mana, ma? Tadi perasaan Vey nyapu udah bersih semua."

Mamanya berkacak pinggang dengan pandangan tidak suka. "Ck, kalau mama bilang masih kotor, ya masih kotor. Udah sana sapu ulang semuanya, cepetan!"

Veya sedikit tersentak mendengar nada bicara mamanya yang sedikit lebih tinggi. Padahal, ia sudah biasa mendengar mamanya berbicara dengan nada itu, tapi tetap saja ia selalu takut dan menundukkan kepala.

"Iya ma," ucapnya pelan seraya beranjak setelah menutup buku pelajarannya.

Dalam jarak yang tak seberapa, Veya masih bisa mendengar mamanya bergumam dengan sebal.

"Punya anak cewek kok gini banget. Bukannya bantuin, yang ada malah nyusahin."

Veya hanya mengembuskan napas mendengarnya. Tak apa, sudah biasa, sabar, mama sayang kamu Veya, semangat!

Veya sempat melirik sebentar ke arah mamanya yang kini menonton televisi dengan santai di sofa sebelum bergegas mengambil sapu dan kembali membersihkan seisi rumah.

***

Dentingan sendok dan piring beradu di atas meja makan. Tiga orang yang mengelilinginya tampak khidmat menikmati hidangan sederhana yang tersaji, hening. Sebelum satu-satunya laki-laki di meja itu angkat suara dengan santai, berusaha membakar keheningan yang ada.

"Papa pulang kapan, ma?"

Wanita yang tampak paling dewasa menjawab sebelum sesuap nasi beserta lauk-pauknya di atas sendok masuk ke dalam mulutnya. "Katanya sih lusa. Emang kenapa, bang? Tumben nanyain papa."

Laki-laki itu tidak langsung menjawab karena mulutnya masih sibuk menenggak segelas air. Ia memandang mamanya dari balik gelas kaca, menelan air, meletakkan gelas, lalu menjawab, "Ya gak papa sih."

Mamanya menggumamkan "Oh" pelan sebelum kembali fokus dengan makanannya. Laki-laki itu kemudian melirik gadis yang beberapa tahun lebih muda di sebelahnya. Entah perasaannya saja atau bagaimana, tetapi gadis itu terlihat lebih pendiam dari biasanya. Bukan berarti gadis itu tidak terbiasa seperti ini, hanya saja ... ah entahlah, laki-laki itu tak bisa mendeskripsikannya.

Tiba-tiba seringaian jahil muncul di bibir pemuda itu, telapak kakinya bergerak menekan telapak kaki gadis di sebelahnya hingga gadis itu sedikit terlonjak kaget. Mata gadis itu memicing, tak tinggal diam, ia balas menendang tulang kering pemuda tengil di sampingnya.

Pemuda itu meringis kesakitan. "Tulang lo, lo ganti sama besi, Ve? Keras banget gila."

Veya menjulurkan lidahnya ke arah kakak laki-lakinya. "Idih, baru gitu doang. Lemah lo, bang."

Tiba-tiba mamanya meletakkan sendok dengan kasar tepat setelah Veya menyelesaikan kalimatnya. Kedua kakak beradik itu sontak terlonjak kaget bersamaan.

"Ve, kalau ngomong sama abang itu yang sopan! Ga boleh pake lo-gue kayak tadi!"

Veya menunduk takut. "Iya ma, maaf," cicitnya.

Sang kakak memandang adiknya sedikit prihatin, dalam hatinya terbersit setitik rasa kasihan dan sesal. Tapi hal itu tak membuatnya urung melontarkan kalimat berbisik, berniat menggoda adik perempuannya. "Rasain lo."

Veya hanya memandangnya tajam lalu bangkit berdiri membawa piring bekas makanan yang telah kosong.

"Cuci piringnya Ve, kamu itu cewek."

GenreFest 2018: AngstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang