Monochrease

2.3K 246 20
                                    

Siswa itu memandangi pohon sakura di depan sekolahnya tanpa minat, untuk kesekian kalinya, sakura hanya berwarna kelabu di matanya.

Ia mulai berjalan masuk ke dalam sekolah. Kalau dipikir-pikir, itu juga mulai ia sadari di musim semi tiga tahun lalu, berawal dari sebuah kecelakaan, yang lambat laun merenggut pandangannya. Tidak buta, siswa itu masih seratus persen bisa melihat, tapi apa yang ia lihat, dari hari ke hari, akan kehilangan warnanya. Cowok itu mengambil sepatu sekolah, memandangi rak kayu yang sebelumnya dipolitur mengilat, sekarang berwarna cokelat keabuan.

Tangannya mengepal, ia tidak dapat memastikan, suatu saat ia sudah melupakan warna cokelat rak itu. Tiga tahun lalu, setelah mengalami kecelakaan dan mulai masuk kembali pada semester baru, ia baru menyadari bahwa dari hari ke hari, warna kulit dan warna seragam teman-temannya memudar. Lalu suatu hari, warna-warna itu hilang, ia melihat teman-temannya berwarna keabuan, berenang di kolam biru yang jernih.

Kelainan itu membuat sebagian warna yang ia lihat perlahan memudar menjadi kelabu. Kemudian, semua menjadi tambah parah di tahun kedua, jika disuruh mengingat-ingat, ia tidak bisa lagi mengingat kejadian apa di tahun kedua.

Cowok itu berjalan dari lobi, menyusuri koridor dan naik ke atas.

Pada tahun kedua, ia tidak yakin apakah ingatannya benar atau tidak. Namun, ia seperti seorang siswa baru, ia lupa menggarap PR, lupa nama gurunya, dan asing dengan nama teman-temannya yang berwarna keabuan. Orang tuanya berinisiatif memberikan diari, hanya di sana kenangannya tersimpan, di mana dia mulai berkenalan lagi dengan teman-temannya, di mana dia baru saja menyadari bahwa dia memiliki kelainan berupa sebagian warna abu yang ia lihat.

Kontrol pemeriksaan berikutnya, diputuskan bahwa ia mengidap Monochrease. Kecelakaan yang membentur kepala membuatnya melihat warna yang semakin luntur menuju hitam putih, dalam taraf lanjut, itu ternyata berefek pada memorinya—kelainan itu membuatnya memiliki memori jangka pendek, ia akan lupa dalam waktu tujuh hari kemudian, atau saat warna orang-orang yang berinteraksi dengannya menjadi hitam putih murni.

Diari adalah otak keduanya, dan sejak saat itu, ia memutuskan bahwa hidup dengan memiliki teman dan kenangan adalah sesuatu yang sia-sia.

Semua menjadi lebih sia-sia ketika suatu hari, ia juga mulai melihat gejala itu pada ibu dan ayahnya, warna kulit mereka memudar seperti foto yang mengalami desaturasi—luntur perlahan. Itu membuatnya mengacaukan sarapan pagi, dan sebelum warna orang tuanya berubah menjadi abu, sebelum ia benar-benar lupa bahwa ia memiliki orang tua, ayah dan ibunya sepakat untuk menyewakan apartemen.

Sejak saat itu, sampai hari ini, siswa itu merasa bahwa ada hal lain lagi yang tidak berguna setelah hidup dengan teman dan kenangan, yakni, hidup itu sendiri.

Cowok itu duduk, memandangi meja kayunya, yang juga mengalami desaturasi menjadi keabuan. Jika hidup berbentuk seperti sebuah manusia, ia akan menonjok muka kehidupan, yang telah menyuruhnya hidup hanya untuk melupakan warna dan orang-orang penting di sekitarnya.

Keparat sialan itu bernama kehidupan.

Mengapa ya, kelainan itu tak merenggut hidupnya sekalian? Bukankah rasanya percuma saja, mengoleksi orang-orang dan kenang-kenangan hanya untuk dibuang di tujuh hari kemudian?

Lalu, hari ini, saat homeroom* dimulai, siswa itu sedikit terkejut dengan seorang siswi yang baru saja masuk. Ia lupa namanya, karena siswi itu hanya bisa masuk saat hari pertama semester lalu dimulai, kemudian ia tidak masuk sampai musim semi semester baru.

Cowok itu baru saja kepikiran kalau dia harus segera menulis ini di diari. Ia memang tidak berinteraksi dengan orang-orang, sehingga itu membuatnya tidak melihat warna abu, atau belum. Sekarang, saat ia melihat bunga sakura sudah berwarna keabuan, rak dan mejanya yang perlahan luntur, ia tidak dapat memprediksi, kapan saja warna dan kenangan tentang itu akan hilang.

GenreFest 2018: AngstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang