Ace

816 78 6
                                    

Harusnya, aku buru-buru keluar dari ruang kelas dan tak perlu memedulikan anak laki-laki fakultas sebelah yang tiba-tiba datang ke kelas untuk meminta waktuku sekejap. Anak itu ternyata orang yang tempo hari aku pinjami totebag saat kami berdua menaiki bis. Waktu itu, ia kelihatan repot sekali membawa buku dan kertas-kertas sertifikat kepanitiaan di dalam sebuah kantung plastik yang bahkan aku pun sangat tidak nyaman melihatnya.

"Maaf membutuhkan waktu lama untuk mengembalikannya," ucapnya dengan nada sesal. "Semua orang di fakultasmu sepertinya tahu siapa itu Ace, tapi tetap saja sulit untuk bisa bertemu langsung denganmu."

"Bukankah sudah kukatakan kalau tidak usah dikembalikan?" tanyaku yang masih duduk di kursi, belum selesai memasukkan barang bawaanku ke dalam tas.

"Memang," katanya, "tapi aku tidak bisa menerima tas ini begitu saja. Ini milikmu."

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sembari tersenyum miring. "Baiklah. Terserah kau saja," ucapku yang kemudian buru-buru memasukkan barang-barang ke dalam tas.

"Kau buru-buru, ya?" tanyanya, menyadari gerak-gerikku.

"Iya."

"Ah," sesalnya. "Padahal aku masih ingin mengobrol," ucapnya lirih, seakan sedang bermonolog.

"Lima menit-"

"Huh?"

Aku menghela napas. Sepertinya anak ini mengira bahwa aku punya lima menit untuk mengobrol dengannya.

"Lima menit lagi bisku tiba di halte," terangku yang kali ini berhasil menyelesaikan kalimat.

"Oh, baiklah. Sepertinya hari ini bukan waktu yang tepat untuk berbincang-bincang. Lagi pula, kita akan bertemu lagi hari ini, kalau kau tidak melarikan diri," ucapnya saat aku berdiri dari kursi. Aku tidak tahu apa maksud perkataannya. "Ngomong-ngomong, terima kasih lagi untuk kemarin."

Aku hanya mengangguk beberapa kali, kemudian hendak berlalu keluar kelas.

"Aslan."

Dia berhasil membuatku berhenti.

"Namaku Aslan, Ace. Kau belum menanyakan namaku sejak kemarin."

"Hm, Aslan," jawabku sekenanya sembari mengangguk sekilas, kemudian melenggang pergi lagi.

"Sekarang kita sudah jadi teman, 'kan?" tanyanya saat aku berada di pintu.

"Hah?" tanyaku keheranan.

Untuk apa juga dia perlu berteman dengan perempuan dingin sepertiiu.

Dia tersenyum simpul. "Hati-hati di jalan Ace."

"Terserah kau," ucapku datar.

Aku mendengarnya tergelak saat aku telah berhasil keluar dari ruang kelas. Gelak tawa itu tiba-tiba saja tak terdengar lagi setelah di atas sana, petir tiba-tiba menggelegar hebat.

"Tidak, jangan sekarang."

Dalam sekejap, aku berlari sekuat tenaga di koridor universitas, kemudian berlari menuruni tangga untuk sampai ke lantai satu. Sayangnya, ketika aku sudah berhasil mencapai pintu keluar, hujan sudah turun.

"Tidak, tidak, jangan sekarang, kumohon."

Aku menghela napas kasar sembari mengeluarkan ponsel untuk memeriksa prakiraan cuaca. Hujan diprediksi baru akan berhenti sekitar satu setengah jam lagi dan aku tidak mungkin menunggu selama itu. Bisa-bisa, aku gagal pergi ke tempat Ibu hari ini.

Aku tidak mungkin memanggil taksi atau supir kemari. Jika aku melakukan salah satu di antara keduanya, entah wanita itu atau Ayah yang akan terus membahas kelakuanku hari ini saat makan malam.

GenreFest 2018: AngstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang