Boneka Manusia

973 114 7
                                    

"KEMBALIKAN!" pekik gadis itu dengan air mata berderai. "Kembalikan kakakku! Kembalikan tangan hangatnya! Kembalikan senyuman lembutnya!" Suaranya bergetar, memekik, pecah. Bercampur-baur dengan tangis dan sedu-sedan.

Histeria gadis itu tidak dapat dimengerti oleh pemuda yang sedang berdiri di hadapannya.

Tentu saja gadis itu kehilangan kakak kandung yang sangat dia sayangi. Kakak laki-laki semata wayang yang tergeletak di lantai itu baru saja dihabisi nyawanya oleh pemuda yang masih menggenggam pistol di satu tangan dan pisau di tangan yang lain.

Bukan salah lelaki itu, dia hanya bertindak sesuai pemahamannya untuk mencegah ada penyusup masuk ke kamar tempat adik perempuannya dirawat. Bukan salah dirinya juga, karena dia terlatih untuk membunuh siapa saja yang merintangi jalannya.

Namun, apapun yang mereka lakukan tidak akan bisa mengembalikan lelaki itu ke kondisi semula. Karena itu pemuda yang berdiri di hadapannya tidak memahami segala tumpahan emosi gadis itu.

"Percuma," ujar pemuda itu setelah jeritan gadis di hadapannya perlahan berubah jadi isak-tangis kelelahan. "Dia sudah mati, tidak ada lagi yang bisa kulakukan."

"Kalau ... Kalau begitu, siapa yang akan hidup bersama Marie mulai sekarang?" tanya gadis itu di tengah sedunya. "Marie tak mau mati ... Tapi Marie tak bisa hidup tanpa orang lain."

Pemuda itu baru akan bertanya lagi ketika deru mesin perang yang terbang mendekat mulai terdengar. Segera saja dia melompat menerjang ke arah gadis yang masih memeluk tubuh tak bernyawa kakak lelakinya. Sebelum gadis itu sempat protes, pinggangnya keburu diraih dan ditarik pergi. Walau meronta, tangan dan kaki kurusnya hanya bisa pasrah membiarkan pemuda itu membawanya.

"Hei! Di mana bunker terdekat?" tanya pemuda itu, ketika berhenti untuk mengambil nafas di persimpangan lorong.

"Marie tidak tahu. Tapi kalau Kakak pasti...."

Tanpa menunggu jawaban gadis itu, pemuda yang membawanya kembali berlari mengikuti insting dan pengamatan yang dia miliki.

Suara deru mesin terbang terdengar makin bergemuruh di luar sana. Tak lama kemudian disusul suara suitan panjang. Tepat sebelum suitan panjang itu berubah menjadi suara ledakan yang memekakkan telinga, pemuda yang membawa gadis itu sudah melemparkan diri bersama gadis yang dibawanya ke dalam sebuah ruangan mungil berpintu baja. Angin ledakan membuat pintu setebal dua puluh centimeter itu terbanting menutup.

Di tengah riuhnya suara ledakan dan runtuhan bangunan beton, bahkan pekikan ketakutan Marie sudah tidak terdengar lagi.

***

"PLAKKK!!!"

Suara nyaring tamparan terdengar hingga keluar ruangan.

"Dasar kau ini memang ... tak punya hati!" maki pelaku penamparan dengan nafas memburu. Matanya membeliak pada lawan bicaranya.

"Terus terang, aku agak bingung dengan ungkapan itu," timpal Kai, pemuda yang jadi korban penamparan kalem, tanpa mempedulikan bekas merah di pipi pucatnya. "Apa kaitan ada atau tidaknya organ hatiku, dengan apa yang baru saja kusampaikan padamu?"

Sebelum situasi berkembang menjadi semakin runyam, Jay—yang saat itu mendapat posisi sebagai ketua sementara tim mereka, menarik Kai keluar dari ruangan. Dengan isyarat tangan, Jay juga meminta rekan mereka yang lain untuk menahan Kou yang masih tampak emosi.

"Gini, ya..." Jay memulai, setelah mereka agak jauh dari ruangan. "Aku bisa memahami logika dinginmu, Kai ... tapi tolong dilihat juga waktu dan tempatnya. Anak itu perasaannya sedang sensitif karena Rob tidak juga kembali, tapi kamu malah...."

GenreFest 2018: AngstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang