2

33 2 0
                                    



Dingin. Itu yang kurasakan enam tahun lewat. Dahulu ada kalanya aku merasa sangat bahagia meski hanya bersua via telepon dengan gio. Gio dia sahabatku sekaligus seseeorang yang sangat sepecial buatku. Dia punya ruang tersendiri yang takkan pernah tergantikan oleh siapapun. Dia, seseorang yang selalu ada kapanpun aku butuh. Meski aku butuh atau tidak dia selalu ada disisiku. Sampai aku mengenal seseorang yang harus mengubah seluruh hidupku. Itu kecerobohan ku. Aku yang bodoh. Aku yang melakukan kecerobohan itu. Ini kesalahanku. Seandainya semua berjalan semestinya tanpa aku harus melakukan kesalahan. Itu takkan pernah terjadi.

Seingat ku aku mengenal gio saat umurku 8 tahun. Dia pindahan dari kabupaten. Masa-masa yang begitu indah. Momen kebersamaan ku bersama gio lah yang paling kuingat. Tiada hari tanpa bermain dengannya. Aku menyukainya sejak saat itu. Dia genius. Kami berbagi pengetahuan yang menakjubkan. Bersaing di setiap mata pelajaran. Satu dua bergulir menentukan peringkat kami. Hanya kami berdua. Tidak ada yang boleh menggeser kami. Memiliki banyak kesamaan dan hobby yang sama. Menyukai satu sama lain apa adanya tanpa harus memberi tahu dalam kurun waktu yang sangat lama. Ibunya adalah guru matematika di sekolahku sekaligus wali kelas kami saat kami kelas lima. Begitu tegas tidak membedakan bahwa itu adalah gio ataupun aku. Semuanya sama. Tidak ada pembedaan. Benar-benar bijak dan kharismatik. Pernah suatu waktu aku dan gio ketahuan saling melempar jawaban saat pelajaran beliau, lima menit aman-aman saja. Beliau masih santai di singgasananya tanpa memperhatikan kami yang sedang mengoper gumpalan kertas. Aku duduk paling depan. Sementara gio saat itu 2 meja di sebelah kananku. Pada lemparan ketiga. Tiba-tiba sebuah spidol melayang menghantam kepalaku. Uh, itu sangat sakit untuk ukuran anak seusiaku. Aku mengelus pelan kepalaku. Kulihat gio di seberang kananku. Sudah meringis kesakitan duluan. Sebuah penghapus papan tulis melayang ke wajahnya. Bersyukurlah aku tidak mendapat senjata itu.

"Lila. Gio. Apa yang kalian lakukan?" Suara beliau memecah keheningan kelas.

Semua pandangan tertuju pada kami. Mendelik. Memicing. Dengan tawa yang tertahan. Aku melotot pada mereka. Dengan isyarat mata. Apa lihat-lihat? Kurang lebih begitu. Satu dua anak tetap fokus tanpa memperdulikan apa yang terjadi di sekitar mereka. Yah dua juara kelas yang superaktif membuat masalah lagi. Itu sudah biasa bagi beberapa teman yang pernah sekelas dengan kami. Tidak aneh, kami bintangnya. Bintang kelas, pembuat onar, pengacau, dan pemberi aura positif, super ceria, selalu menebarkan senyum setiap saat. Itulah deksripsi kehidupanku sebelumnya.

Gio berdiri menyahut.

"Maaf bu. Ini salah gio. Gio masih kurang faham dan bertanya pada lila. Tapi lila tidak memperdulikan gio. Itu sebabnya gio melempar kertas berkali-kali". Dengan gaya santai mengacak rambut seolah-olah itu hanyalah pertanyaan soal pelajaran seperti biasa.

"Benarkah lila?" Beliau bertanya padaku. Aku menoleh ke gio. Menaikkan alis. Apa yang harus kujawab? Sebelum aku sempat membuka mulutku. Gio sudah berjalan ke arah beliau dengan membawa lembar jawabannya.

"Yah benar bu. Lila tidak akan berkata jujur bu. Dia pasti akan mengatakan tidak. Memang gio yang meminta jawaban pada lila. Ini lembar jawaban gio bu. Gio akan berdiri seperti peraturan ibu" Gio melangkah keluar menuju pintu dengan memberi salam hormat.

"Silahkan, tanpa ibu harus menjelaskan lagi bukan? Contoh yang buruk. Dengarkan baik-baik, ibu melarang kelas apapun itu yang berbau contekan. Kalian tau sendiri akibatnya".

Gio melangkah keluar. Berdiri hormat dengan kepala menengadah menghadap tiang bendera. Senin yang terik. Itu tidak akan berhenti sebelum bel istirahat berbunyi. Masih tiga puluh menit waktu istirahat. Itu cukup lama. Dia bisa jadi kerupuk kalau lebih lama dari itu. Aku melanjutkan mengisi soal, padahal sudah jelas-jelas aku yang melemparkan kertas dua kali padanya. Yah baiklah pikirku. Tidak masalah, aku bisa balik membantunya lain waktu. Itu yang gio mau untukku. Jadi aku jangan merusak rencananya. Dia tahu senin ini terik dan aku tidak tahan berjemur lama-lama dibawah sinar matahari.Bersyukur sekali aku memiliki sahabat baik sepertinya.

"Lila, jangan mengulangi lagi. Kau tau akibatnya jika melakukannya lagi" Suara beliau memecah lamunanku.

"Yahhhh, tentu saja bu". Sahutku dengan senyum dikulum.

Aku bergegas ketika bel mulai berbunyi, menyerahkan lembar jawaban pertama sebelum murid yang lain berdiri. Tidak perduli tatapan murid-murid lain yang sinis memandangku karena mendahului mereka. Menyenggol sana sini. Aku tidak perduli. Aku ingin cepat-cepat keluar dan menyerahkan botol minumku untuk gio.

"Buru-buru sekali lila" Ibu gio menegurku.

"Tentu saja bu. Diluar terik sekali". Ucapku buru-buru sembari mencium tangan beliau.

Ibu gio hanya tersenyum melihatku. Aku segera bergegas. Berlari-lari kecil menuju lapangan sekolah. Gio sudah duduk dibawah pohon yang rimbun. Bersungut menaikkan kerah seragam sekolahnya. Melepas satu dua kancing bagian atas sembari mengibaskan beberapa daun jatuh yang dia ambil ke arah lehernya. Aku segera menghampirinya. Duduk menyerahkan botol minumku padanya. Dia mengambilnya. Meminum air yang kuberikan. Hening, hanya suara angin semilir dan tegukan air yang diminum gio yang terdengar.

"Maaf ya gio. Tadi aku hanya diam" Ucapku basa-basi memulai percakapan. Padahal aku tau sendiri dia sengaja memutus pertanyaan ibunya yang mengarah kepadaku.

"Untuk apa lila minta maaf. Aku kan tidak marah?" Sembari menyerahkan botol minumku kembali.

"Mmmmm, aku tau kau tidak marah, aku hanya ingin meminta maaf"

"Jangan terlalu sering meminta maaf lila. Kau kan tidak salah. Jadi santai saja. Satu lagi, kau harus menggantinya lain kali. Dilain kesempatan mungkin, mana tau jika aku terdesak. Itu hubungan timbal balik pertemanan kita" Ujarnya sembari tertawa kecil.

"Kau pikir kita sedang belajar ipa ya?" sembari melipat tangan ke dada.

"Yah bisa dikatakan begitu, Ipa kelas 4. Hubungan timbal balik. Simbiosis Mutualisme. Kau masih ingatkan?"

"Ohhhh kau menganggap persahabatan kita seperti itu ya? Jadi kita berteman hanya karena saling menguntungkan?"

"Hey hey laaaa. Kau tau aku hanya bercanda. Masa iya kau langsung marah"

"Habisnyaaa kau sih (sungutku).Tapi kau juga tau aku tidak bisa marah padamu?"

"Hahaha. Hampir saja, untung aku tidak meminta maaf. Kau masih ingatkan pelajaran hubungan timbal balik?" tanyanya

"Tentu saja aku ingat gio. Aku bukan pengidap alzhemeir. Tapi bye the way, kita memang simbiosis mutualisme. Dalam hal pelajaran tentunya. Tidak ada boleh yang menggeser kita".

"Jahat, tidak boleh berpikiran seperti itu la".

"Kan kau yang ngajarin giooooo"

"Kapan, gak pernah tuh!" Sembari berdiri meninggalkanku.

"Gio, awaas yaaaaaa" Teriakku yang melihat gio berlari-lari kecil meninggalkanku.

Aku mengacung-ngacungkan botol minumku padanya. Aku tahu tujuannya kemana. Warung kak is. Kemana lagi kalau bukan kesitu saat istirahat. Karena hanya itu satu-satunya kantin di sekolah dasar kami. Entah itu bisa disebut kantin atau tidak.

PulanglahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang