Sinar matahari mulai masuk di celah-celah ventilasi jendela kamar. Menerpa wajah ku yang masih kusut setelah tidur yang hanya beberapa jam. Mendapat kabar dari gio, sulit rasanya untukku memejamkan mata kembali dengan tenang dan terhanyut dalam tidurku. Hari yang paling kutunggu setelah sekian lama aku tak bertemu dengannya. Di tempat biasa. Di kota kelahiranku. Entah apa gerangan yang membawa dia pulang kembali. Apa kabarnya? Bagaimana keadaannya? Aku tidak pernah tahu itu kecuali jika ibunya yang bercerita perihal gio tanpa kutanyakan. Seperti tahu bahwa aku sangat merindukannya. Gio, mendengar namanya saja sudah membuat ku berdecak kegirangan. Gio, dia adalah salah satu genius yang tumbuh bersama denganku. Kami dewasa sebelum waktunya. Kami mempelajari problematika dewasa sebelum umur kami menginjaknya. Sama-sama menciptakan ruang tersendiri bagi kami berdua. Mempelajari ilmu pengetahuan sekolah menengah atas sebelum kami sempat memasuki sekolah menengah pertama. Berbagi pengetahuan. Apa yang kudapat hari ini atau apapun yang dia dapat esok harinya. Menyukai beberapa genre buku yang sama. Bisa hening saat berdua. Karena sibuk membaca buku favorit kami. Bertanya beririan. Berapa durasi yang kami habiskan untuk membaca empat ratus halaman. Apa yang kami dapat dari cepatnya kami membaca buku perjam seratus lima puluh halaman. Apa benar kami menangkapnya. Apa benar kami tidak berbohong?. Kemudian untuk membuktikannya. Dia akan menanyaiku secara acak dari halaman yang dia buka. Apa saja cerita pada halaman itu. Atau bagaimana ceritanya? Ada kesalahan ketikkah di halaman itu atau apa saja untuk mengasah kemampuan ku. Dan aku juga melakukan hal yang sama padanya. Dia kalah cepat dari durasi kami membaca. Dia tidak akan pernah mengalahkan ku untuk hal membaca ataupun mengingat kejadian secara rinci.
Pukul 7.15. alarm digitalku berbunyi nyaring. Untung saja hari ini hari liburku, jadi aku bisa lebih bersantai sedikit. Menggeser malas tubuhku. Menarik selimut kembali menutupi wajahku. Aku masih ingit terlelap. Masih ingin menggulung tubuh ku dengan selimut. Memikir kan enam tahun silam tanpa kehadiran gio. Bagaimana aku melewatinya? Gio tidak pernah tahu dan takkan pernah kuberitahu. Aku melarang keras ayah dan ibunya untuk memberi tahu. Aku tidak ingin dia merasa bersalah. Terbebani dengan bayang-bayang masalalu yang takkan pernah kembali lagi. Ini bukan salahnya. Ini salahku. Masih dikamar yang sama, di hari senin aku menginjakkan kaki pertama kalinya di Sekolah menengah atas tanpa ada gio disisiku.
*****
Tiga tahun silam. Sebelum menginjakkan kaki ku di bangku SMA. Aku dan gio masih berada di satu sekolah yang sama. Masa-masa remaja yang menyenangkan. Kami belajar bersama. Beberapa teman bahkan mengejek kami yang selalu berdua. Ada kalanya aku sendiri disaat dia sedang ke warnet ataupun bermain futsal dengan teman laki-laki sebayanya. Saat istirahat dia selalu menarik tanganku lebih dulu ke kantin. sebelum teman perempuan ku yang lain mengajakku. Aku ingin kau makan hari ini denganku la. Karena sepulang sekolah jadwalku penuh. Aku harus berlatih bermain futsal. Begitu katanya. Hanya itu alasan yang sering digunakannya ketika menarik lenganku tiba-tiba. Aku mendengus. Kebiasaan buruknya selalu membawa tanpa bertanya terlebih dahulu.
"Baiklah. Kau ingin makan apa? Tapi aku bawa bekal?" ujarku
"Kita makan bekalmu saja di pojok koridor sekolah. Aku akan pergi beli minum. Kau mau apa la? Soft drink?" tanyanya.
"Apa saja yang kau beli ku minum gi"
"Kalau begitu minuman berbeda hari ini. Duluanlah kesana. Aku akan menyusul nanti". Sembari berlari kecil melewati beberapa murid yang berjalan searah.
Aku berjalan santai menuju pojok koridor sekolah. Beberapa teman menggodaku. Menanyakan keberadaan gio. Aku hanya angkat bahu acuh tak acuh menanggapi candaan mereka. Sudah biasa. Setiap hari memang seperti itu. Padahal baru beranjak semester 2. Nama kami sudah tersebar di satu seantaro sekolah. Gio, Lila. Dua murid baru yang seperti couple goals. Yang benar saja. Pamor gio memang hebat. Dia cerdas. Tinggi. Ganteng dengan mata coklat dan hidung kecil mancung yang menarik dari wajahnya serta dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Dan aku, lebih kepada wajah china's dengan mata sipit korea, Hidung kecil standar, bibir tipis dan dua taring di sela senyumku serta satu lesung di pipi kananku. Aku tidak begitu ramah dengan orang yang tidak ku kenal. Berbeda dengan gio yang selalu menebar senyum kepada siapa saja. Tapi jangan salah, meskipun begitu bagi yang sudah mengenal dengan baik kepribadianku. Aku cukup ramah dan murah senyum. Terkadang sulit sekali untuk diam jika bersama teman-teman dekatku.
Aku duduk di bangku pinggiran koridor. Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh kebelakang. Tidak ada orang. Siapa sih yang mengerjaiku.
"Baaaaaaaaaaa" sebuah suara mengagetkan ku dari depan. Aku terperanjat. Hampir saja bekal makanku melayang.
"Ya ampun, kak haikal. Aku kaget tauuuk" ucapku ketus sembari meletakkan kotak bekalku ke samping. Kak haikal. Dia ketua osis dari kelas 8A. Kapten tim futsal sekolah kami.
"Gitu aja kaget. Bodyguard mu mana?" tanyanya
"Siapa? Aku gak punya bodyguard tuh!"
"Gio lah. Siapa lagi?" dengan bahu menaik dan dua belah tangan membentuk huruf T.
"Gio lagi beli minum kak? Kenapa? Ada perlu. Nanti aku sampein"
"Geser sedikit, aku ingin duduk. Aku tidak ada perlu dengan gio. Tapi denganmu"
"Ada apa kak?" tanyaku penasaran.
"Tidak ada sih, cuman mau ketemu aja. Gimana nilai praktik lapanganmu. Masih buruk? Kau ingat pertama kali kau praktik barengan dengan kelasku. Kau selalu diihukum. Saat mos kau yang paling empuk jadi sasaran" dengan tertawa lepas.
"Kenapa tiba-tiba membahas hal memalukan itu sih kak?"
"Memalukan kau bilang. Itu hal terlucu yang pernah kulihat"
"Hal itu memalukan buatku" sungutku pada kak haikal
"Itu gio. Tebak dia pasti berjalan menuju kemari. Dan pasti buat nyamperin lila" katanya lagi
"Tentu saja kak, kan tadi aku dah bilang"
"Oh iya ya? Kakak lupa. Udah lama temenan sama gio?"
"Tanya gio sendiri kak" jawabku setelah gio tiba dihadapan kami dan menyerah sebotol soft drink padaku.
"Eh haikal. Tumben. Ada apa?" gio tidak pernah memanggil orang yang lebih tua darinya dengan sebutan kakak atau abang jika satu sekolah.
"Nggak ada. Nemenin lila aja sambil nungguin kamu, katanya"
"Oh iya, maaf. Aku cuman beli dua" katanya sambil menunjuk minuman kami.
"Tidak masalah. Aku pergi dulu yaa" kata haikal sambil berdiri. "Jangan lupa gio. Sore ini kita latihan" Kataya berbalik sebelum hilang dari pandanganku dan gio.
Aku membuka bekal buatan ibu. Kuserahkan sepotong roti pada gio. Memakan dengan khidmat bersama gio. Hening. Sesekali ku teguk minumanku. Begitu juga dengan gio. Aku ingat gio bertanya padaku dengan mulut masih penuh mengunyah. Lila, katanya. Kita sampai tua begini terus yaa. Aku tertawa, kenapa tiba-tiba mengatakan hal itu. Aku gak mau kehilangan lila. Katanya lagi. Persahabatan kita lebih berharga dari apapun. Aku tertegun sejenak. Benar, dia hanya menyukaiku sebagai sahabatnya. Tidak lebih. Dia menyayangiku hanya sebatas sahabatnya. Mmmm tentu saja kataku. Aku juga tidak mau kehilangan gio, sebab aku sangat menyayangi gio. Aku juga sayang lila katanya. Kalau nanti lila punya pacar, katakan padaku ya. Atau ada yang lila sukai. Bilang juga ya. Jika dia menyakiti lila. Katakan juga padaku. Apapun itu, masalah apapun yang masih bisa lila ceritakan padaku. Bilang saja. Aku hanya mengangguk. Gio juga harus bilang apapun itu, kataku. Hari itu, mulai detik itu aku beranggapan jika gio memang hanya menganggapku sebagai sahabat yang sangat di sayanginya. Sisa istirahat aku habiskan bersama gio. Bercerita tentang masa kecil dan kejadian apa saja yang terjadi kemarin di rumah masing-masing.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pulanglah
RomanceKita menyukai satu sama lain dalam kurun waktu yang lama tanpa memberitahu. Kenyamanan. Sampai suatu waktu aku merusak segalanya karena kecerobohanku.