Rumah gio. Dengan nuansa classic, Warna putih diaplikasikan secara merata, mulai dari plafon, dinding, sofa, lemari bufet, sampai ke lantai. Pandanganku luas. Didesain sedemikian rupa oleh ibu gio. Rumah sederhana yang masih menggunakan kayu sebagai bahan utamanya. Dengan ornament-ornamen yang menghiasi setiap dinding rumahnya. Serta halaman yg cukup luas di depan rumahnya. Kamar gio terletak paling ujung setelah dapur terpisah beberapa meter dari bagian rumah. Itu permintaan gio saat kelas 4. Ingin membangun seperti sebuah basecamp dalam lingkungan rumah. Tempat kami ngumpul, kerja kelompok, ataupun mengerjakan PR dari sekolah.
Gio masuk lebih dulu.
"Ibuuuk. Ada lila nih" teriak gio dari ruang tengah.
"Lila ya?" ibu bergegas menghampiriku dan meninggalkan pekerjaan dapurnya.
Memelekku dengan hangat. Aku menyambut pelukan ibu. Memberinya sun di pipi kanan dan kiri. Mencium keningku. Memang kebiasaannya. Beliau mengelus rambutku.
"Si cantik, udah lama gak kerumah ibu" Sembari melepaskan pelukannya.
"Iya, lila juga bu, rindu ibu, masakan ibu, bapak, noval".
Noval itu adik gio. Masih berumur lima tahun.
"Duh lila, banyak yang lila rindukan ya?"
"Iyaaa bu, bapak mana bu. Noval mana?
"Bapak ya di kantor dinas. Noval tidur tuh dikamar. Yuk kita makan dulu. Ibu sudah selesai masak nih".
Kami menuju meja makan bersama. Meletakkan tasku di sembarang tempat. Sudah biasa. Seperti rumahku sendiri. Melewati meja makan menuju kamar gio terlebih dahulu.
"Gi..." panggilku sembari mengetuk pintunya.
"Bentar, lagi ganti baju nih. Kenapa? Mau liat la?" tanyanya dibalik pintu.
"Ihh gak ah. Ngapain?"
"Mana tau kan kau mau liat. Gak usah deh la. Nanti naksir pulak"
"Ihhh. Udah sering liat kali. Jadi biasa aja"
"Kapan? Lila sering ngintipin aku ya? Ih parah otakmu yaa".
"Apaan sih. Orang gak pernah. Buruan keluar, ibu nyuruh makan nih".
"Iya iya, duluan gih".
Aku berlalu dari depan kamarnya. Kembali menemui ibu yang sudah duduk menunggu di meja makan.
"Hari ini sekolah cepat pulang ya bu?"
"Iyaa, ada rapat guru tadi, jadi sekolah di pulangin lebih awal"
"Pantesan"
"Pantesan apa?"
"Pantesan ibu udah ada di rumah"
"Iya, biar bisa masakin kamu la".
"Ayo makan, kita tinggalin aja gio". Sembari menaruh sesendok nasi ke piringku.
"Iya bu, lila udah laper nih. Pulang sekolah tadi emang gk makan di rumah. Soalnya mau makan masakan ibu"
"Mmmm pinter kamu yaa. Izin gak sama bunda kesini"
"Yaa izinlah bu"
"Mana tau kan?"
"Nggaklah bu. Lila bilang kok"
"Iya iya ibu tau. Mmmm iya lila, kemarin gio cerita. Katanya ada perempuan di kelas kalian yang ditaksirnya"
"Hah? Siapa bu?". Aku tersedak.
"Minum. Ini minum dulu. Emang gio gak cerita?"
"Gak tuh bu. Lila gak tau"
"Yah ibu kirain kamu tau, makanya ibu nanya kamu. Ibu nasehatin dia. Jangan naksir-naksiran dulu. Sekolah dulu yang bener. Terus dia bilang, iyaa bu. Gio kan cuman suka. Ntah itu suka bukunya. Rambutnya, atau sepatunya. Katanya gitu. Ibu bilang, ngaco kamu"
"Terus gio jawab apa bu?" aku kurang antusias. Tapi aku tetap bertanya saat itu demi menghargai cerita ibu sahabatku yang sangat ku hormati.
"Terus dia bilang. Nanti gio kasih tau, kalau gio sudah kerja. Yaa ibu ketawalah. Hoalah masih lama lagi". Ibu ketawa. Aku juga tertawa dengan dibuat-buat.
Hssssttt, ibu mengisyaratkan jari telunjuknya kebibir. Aku segera paham. Yang diomongin sedang menuju kemari. Tepat di belakang. Menyentuh kepalaku. Ehhh penora lagi makan ya?. Yang dimaksudnya penora itu adalah aku. Peri omnivora. Pemakan segala. Entahlah kadang dia memanggilku peri kecil, peri cantik, peri coklat, peri buku. Yang selalu diawali dengan kata peri. Entah itu bermaksud ejekan, pujian, atau bujukan. Aku tidak tau. Aku mengangguk. Malas meladeni omongannya, karena saat itu aku memang sedang menikmati masakan ibu gio, dengan sedikit iringan tak sedap bahwa gio menyukai seseorang. Meskipun itu kesannya terlihat bercanda bagi ibu gio. Aku tetap merasa seperti ada yang retak di dalam bagian diriku. Gio duduk disampingku. Mengambil nasi dan ikut makan dengan sekali-kali mengangguku.
Selesai makan. Aku membereskan tempat makan ku dan yang lainnya, membersihkan meja, dan mencuci piring. Meskipun ibu gio sudah melarangku berkali-kali agar tidak perlu melakukannya. Aku tetap melakukannya. Karena begitulah aku. Apa yang diajarkan bundaku dan bagaimana rutinitasku. Aku tidak enak hati jika melihat orang tua sedang bekerja sedang aku duduk santai melihatnya. Seperti yang gio lakukan saat ini. Menonton tv di ruang tengah. Wajar saja, dia kan laki-laki.
Aku menyusul gio setelah selesai dengan pekerjaanku dibelakang. Ibu gio membawakan cemilan pada kami dan beberapa minuman dingin yang ia buat sendiri. Padahal aku sendiri masih kenyang. Tapi, ku lihat gio tetap saja mengunyah. Entahlah, mungkin perutnya punya kapasitas lima kali lipat dari kapasitas perutku sendiri. Dia tertawa terbahak-bahak saat aku mengungkapkan apa yang ada di kepalaku. Sisa hari itu aku habiskan dirumah gio. Bermain catur. Kami berdua suka catur. Tapi aku tidak pernah bisa mengalahkan gio. Strateginya benar-benar sulit dibaca, handal, seperti tuannya. Berkali-kali aku meminta permainan ulang. Tapi sebanyak apapun aku mengulang. Aku tidak pernah bisa mengalahkannya. Aku ingat. Hanya satu kali dia pernah kecolongan. Kalah telak. Saat kami kelas 6 SD. Itu saja, tahun-tahun selanjutnya aku tidak pernah menang lagi.
Kami juga suka badminton. Waktu kami kecil kami bilangnya main raket. Kami bisa tapi tidak begitu pandai. Itu bakat turunan, ayahku dan ayahnya sama-sama pemain badminton kecamatan sampai kabupaten. Tapi ayahku vakum setelah aku kelas 2 SMP, ayah mengalami komplikasi pada penyakit batu ginjalnya. Ayah terpaksa mengikuti terapi shinse selama satu tahun karena ayah tidak ingin melakukan operasi. Dan Alhamdulillah ayah pulih dengan baik.
Gio juga suka bermain gitar. Aku bisa sedikit-sedikit. Acoustic nya benar-benar menyentuh. Remaja 14 tahun yang masih labil-labilnya. Sangat berkharisma ketika memetik senar gitar. Saat itu sedang trend nya lagu-lagu peterpan yang sekarang berganti nama menjadi Noah. Gio paling suka memainkan intro lagu semua tentang kita dari peterpan. Dan aku benar-benar suka mendengarnya. Sangat-sangat suka. Aku suka caranya memainkan gitar. Bernyanyi, meskipun suaranya tidak begitu bagus, tapi itu cukup memukau buatku, aku suka caranya tersenyum, aku suka cara dia berbicara padaku. Aku suka semuanya. Aku suka semua hal yang berkaitan dengannya. Itulah gio, sahabatku. Iya. Sahabatku yang paling ku sayang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pulanglah
RomanceKita menyukai satu sama lain dalam kurun waktu yang lama tanpa memberitahu. Kenyamanan. Sampai suatu waktu aku merusak segalanya karena kecerobohanku.